07 | Tidak Apa-apa

5 2 1
                                    

Pertemuan kami di kantin FISIP yang tidak terduga menjadi alasan kuat mengapa dua minggu ini aku dan Jana tidak saling bertukar kabar. Komunikasi kami sangat buruk. Lucunya setiap Sabtu dia selalu menelepon atau menungguku di depan gedung Fakultas Teknik hanya untuk bertanya apakah aku ingin menonton wayang orang bersamanya di Sriwedari. Kalian tentu paham mengapa aku menolak.

Semakin aku menghindar, Jana semakin gencar berusaha. Meski tidak lagi mengirimkan pesan, kehadirannya di depan gedung FT selalu menggangguku. Seperti hari ini dia berdiri di sana dengan motornya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Gedung A dapat melihatnya dari atas sini. Hera menyenggol bahuku, "Dah ditunggu aja tuh, Na." Aku masih terdiam.

"Gila ya, udah ditolak masih aja. Effort nya patut diacungi jempol sih, tapi kayak gitu ke semuanya. Duh yang sabar ya, Na."

Hera merangkul pundakku saat kami menyentuh lantai dasar. Ia bergegas ke parkiran motor, sedangkan aku berjalan keluar area FT lewat mini pom bensin. Jana mengejar, memelankan motornya saat jarak kami kurang dari setengah meter.

"Aku anterin yuk," katanya.

Aku masih bergeming sambil terus melanjutkan langkah.

"Udah pesen gojek."

"Cancel aja."

"Udah sampai, Bapaknya." Aku berhenti ketika kendaraan dengan pengemudi mengenakan jaket hijau mendekat.

"Hati-hati ya, Pak. Udah saya foto plat nomornya." Jana sialan, bisa-bisanya dia berlagak orang paling peduli sedunia. Dasar gemini.

Aku tidak bisa menghilangkan pikiran tentang laki-laki itu. Bohong jika aku tidak rindu. Tapi harga diriku rasanya lebih penting daripada harus menjadi perempuan cabang dari laki-laki tidak jelas yang tidak tahu apa yang dia inginkan. Menurutku laki-laki harus punya prinsip.

Sekarang hari Sabtu, sesampainya di kos tadi aku segera membersihkan diri dan bersiap menonton film yang sudah tidak sabar ingin aku tonton dari Kamis lalu. Tapi rasanya ada yang kurang kalau tidak ada camilan.

Aku berencana berjalan kaki ke Indomaret untuk membeli beberapa camilan dan kopi. Di parkiran Indomaret aku mendapati motor yang sangat familiar, aku ingat betul itu motor Jana. Semakin mendekat aku sadar sosok yang duduk sambil merokok di bangku depan yang disediakan. Dia mengobrol dengan seseorang.

Malas bertemu orang itu, aku memutar langkah. Memilih untuk pesan lewat aplikasi saja. Bukan GeEr, tapi sudah pasti orang itu akan mengajak ngobrol dan aku malas untuk berpura-pura ingin berbicara dengannya.

"Jalan kaki aja, Mbak." Jana tiba-tiba berjalan di sampingku.

"Kirain siapa anjir, tiba-tiba banget?" jawabku reflek.

"Kemana aja?" tanyanya. Padahal baru dua jam lalu dia menungguiku di depan FT.

"Nggak kemana-mana."

"Boleh ngomong sebentar enggak?" Jana memohon.

"Ngomongin apa?" tantang ku.

"Kita."

Champagne Problems [END]Where stories live. Discover now