"Tenang aja. Kalau emang udah takdirnya lo idup lama. Ampe dilindes truk pun, lo gaakan mati, Sol," jawab Ice tanpa beban.

Solar menatap datar Ice. Suara berita sudah terganti dengan iklan. Bisa-bisanya."Aih, bukan itu point-nya."

Ice terkekeh kecil. "Udahlah. Mending lo ikut ngumpul di taman belakang. Semua saudara kita ada di sana." Setelah mengatakan amanah dari Gempa, Ice langsung beranjak lebih dahulu menuju taman belakang.

Solar hanya mengoral matanya malas sebelum mematikan televisi dan langsung menyusul Ice.

Sesampainya di taman. Ia langsung di sambut dengan tanaman hijau segar yang tertanam di setiap sudut taman. Terdapat lampu tanam yang menghiasi setiap pojok. Saat malam tiba, taman itu akan menjadi sangat indah. Di sebelah kanan, terdapat tujuh kursi yang mengelilingi dua meja kecil. Di sanalah saudaranya berada.

"Nah, gini 'kan, enak. Dari pada sendiri kayak tadi. Nanti diganggu hantu," ucap Taufan saat mendapati Solar yang sedang berjalan ke arahnya.

"Iya, iya. Kalian lagi bahas apa?" Solar mengambil posisi duduk di sebelah Ice.

"Random. Sekarang udah gak ada. Lo ada topik kagak?" celetuk Blaze yang sedang bermain UNO dengan Taufan dan Thorn. "Mampus lo, bang. Cangkul delapan, kan."

"Nyeh," cibir Taufan. Walau kesal, ia tetap mengambil delapan kartu.

"Ada. Meteor jatuh dua minggu lalu-"

"Skip," potong Halilintar menatap datar Solar yang terlihat kesal. Ia menyeruput kopi buatan Gempa dengan santai.

"Yeuu, padahal bagusan gini. Sesekali bahas yang bermanfaat, kek. Biar wawasan luas."

"Si paling wawasan luas. Topik yang ringan aja, deh. Kita 'kan lagi refreshing."

"Oke. Kalian tau gak orang yang namanya Halilintar? Wajahnya kayak monyet," canda Solar.

"Hah? bang Hali monyet?" Thorn yang sedang melihat-lihat tanaman berceletuk bingung.

"Haha! Monyet apa, Sol? Peliharaan atau liar?" Blaze ikut-ikutan. Tak melihat Halilintar yang terdiam menahan amarah.

Taufan hanya diam. Canggung. Ia mulai merasakan hawa yang tak enak.

Ice? Ia sedang berjalan-jalan di alam mimpi.

"Mungkin liar? Monyet peliharaan 'kan, kerawat semua. Manja. Monyet liar kuat-kuat. Sama kayak bang Hali."

"Udah-udah, Blaze, Solar. Gak baik ngejelekin orang. Apalagi abang sendiri," lerai Gempa tegas.

"Kan, main-main, Ka-"

"Oh, main-main?" Halilintar menggertakkan jari-jemari kekarnya. Berdiri dari kursi. Menatap tajam Solar dan Blaze secara bergantian. Aura gelap yang dikeluarkan Halilintar membuat siapapun yang merasakannya gemetar. "Nih, main-main!"

Duagh!

Plak!

~Metallosphaera~

Malam harinya.

Ruangan itu di penuhi bau obat-obatan. Terdapat banyak barang elektronik yang sudah maju. Berbagai jenis tabung dengan warna larutan yang berbeda menghiasi setiap meja putih. Terdapat beberapa orang berjas putih yang sedang fokus dengan beberapa objek. Mereka memakai semacam pelindung untuk menghindari cipratan larutan.

Salah satu dari mereka adalah profesor Kokoci yang sempat menjadi narasumber siang tadi. Ia terlihat sedang mencampurkan dua larutan aneh sampai cairan itu berubah warna menjadi biru. Di ketahui satu dari dua ramuan itu adalah larutan yang berisi bakteri pemakan batu meteorit.

Profesor Kokoci sudah menemukan beberapa kandungan aneh di dalam meteorit itu. Tetapi sejauh ini, ia masih belum mengetahui jenis dari kandungannya. Kokoci sudah mengamati selama dua minggu. Namun yang ia temukan hanya bakteri mikrob pemakan batuan.

Satu-satunya untuk mengetahui kandungan itu berbahaya atau tidak adalah menyuntikkan larutan yang sudah ia racik kepada manusia. Beruntung di tempat mereka, disediakan manusia yang mendapat hukuman mati akibat dosa yang diperbuat. Dengan peluang itu, atasannya mengambil beberapa tahanan untuk dijadikan manusia eksperimen.

Kokoci beranjak dari duduk dengan suntikan yang sudah siap di jemarinya. Ia mendekati salah satu tahanan yang di rantai di ujung ruangan. Terlihat tahanan itu memberontak hebat. Mulut yang terlakban menggeram takut.

Dengan mudah Kokoci menyuntikkan larutan di lengan orang itu. Setelah menunggu sekitar tiga menit, tak ada reaksi. Tak terlihat perbedaan juga pada tahanan itu. Hingga membuat Kokoci menyimpulkan jika meteorit itu tidak membahayakan manusia. Namun pikirannya segera ia tepis ketika melihat tahanan itu kejang-kejang. Kulit dan matanya memutih.  Kukunya menjadi tajam. Urat-uratnya terlihat jelas.

Kokoci mendekati orang itu. Menatap  lekat. Perubahannya seperti mayat hidup. Pergerakannya semakin ganas seperti monster. Tak puas hanya melihat. Tangannya terulur untuk membuka lakban yang menutupi mulutnya. Kokoci berniat untuk menanyakan apa yang orang itu rasakan. Namun pria paruh baya itu terlonjak kaget akibat digigit secara tiba-tiba.

Kokoci menggeram kesakitan sampai menarik perhatian para profesor lain. Dirinya memegang erat bekas gigitan seraya menatapnya. "Dalam sekali. Sampai mengeluarkan darah."

"Pak? Apa Bapak tidak apa-apa?" tanya salah satu profesor yang seumuran dengannya dengan raut wajah khawatir.

"Tidak apa. Hanya digigit manusia eksperimen itu." Kokoci menunjuk tahanan yang sudah berubah total.

"...apa benar tidak apa-apa? Sepertinya dia bukan manusia lagi," tanya profesor wanita ragu.

"Tidak apa-ap-" Kokoci tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran diserang kejang-kejang yang sangat hebat. Profesor yang lain panik. Salah satu dari mereka menelepon bantuan.

"Pak? Bapak kenapa?"

Kokoci tak lagi kejang-kejang. Namun tubuhnya menjadi kaku. Pucat. Matanya menjadi putih. Urat-uratnya terlihat jelas. Ia berdiri sampai terdengar suara gemeretak. Tanpa aba-aba, Kokoci menggigit salah satu profesor yang ada di sana.

TBC

Selamat datang di cerita thriller keduaku! Vibes masih sama seperti Murder Mystery-PBH

MetallospaeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang