[1] May I Have an Angel Shot?

145 18 1
                                    

APA hal ternekat yang pernah kalian lakukan?

Beberapa orang menjawab sesuatu yang sederhana. Makan sea food walau punya alergi. Mewarnai rambut memakai shade paling terang. Sementara sebagian orang memilih pengalaman lebih ekstrem. Solo trip ke tempat asing tanpa pendamping. Bungee jumping demi melawan fobia ketinggian.

Kegiatan apa pun yang dilakukan, kenekatan akan selalu mengundang gejolak emosi. Antusiasme. Adrenalin. Was-was. Takut. Semuanya karena satu hal: ketidakpastian.

Namun, ketidakpastian pula yang menantangku terus melangkah.

Seperti yang kulakukan kala mengunjungi bar milik sahabatku, Pine.

Di sana, aku mengajak orang tak dikenal menikah denganku.

*

"Kamu enggak apa-apa? Ada yang bisa kubantu, pesan taksi, misalnya?"

Gadis di sampingku, gemetaran, menggeleng pelan. "Ibu-ibuku akan menjemput, lewat pintu belakang."

"That's good, biar aku antar kalau ibumu sampai. Kita tunggu Pine kasih kabar dari bar. Kita belum bisa keluar sebelum situasinya aman."

Kejadian setengah jam lalu terasa bak potongan film-film yang kutonton bersama Jazz. Seorang pria membelikan minuman kendati gadis di sampingnya menolak. Ketika sang gadis lengah, pria itu diam-diam menaburkan bubuk mencurigakan yang, barangkali bisa kalian tebak, akan berujung pada peristiwa buruk.

"Gosh, people these days." Aku, yang menyaksikan semuanya setelah keluar toilet, menyambar gelas berisi bir dari meja terdekat. Sebelum pria itu mendorong gelas berisi bubuk itu ke arah sang gadis, kubanting gelas keras-keras hingga retak dan isinya tumpah.

Pine, yang melayani pengunjung di ujung meja, menoleh ke arahku.

"Kenapa birku enggak dingin?" Teriakanku serta-merta mengejutkan orang-orang di sekitar bar. "Rasanya jadi kurang enak. Aku mau ganti."

"Ya Tuhanku, B-" Menangkap lirikan mataku ke arah si gadis, Pine menahan kata-kata yang hendak keluar. Seketika, dia mengikuti skenarioku. "Maaf, maaf. Biar saya ganti dengan bir baru."

"Bukan bir, aku pesan Angel Shot* saja. Neat." Kemudian, kugeser gelas si pria sampai tumpah. Wajahnya memerah. Dia nyaris membentakku, tetapi urung kala menyadari perhatian sejumlah pengunjung terpusat pada kami.

Sadar punya kesempatan melarikan diri, gadis di sampingku beranjak dari kursi menuju toilet. Aku dan Pine bertukar pandang lewat lirikan singkat, lalu aku menyusul sekitar dua menit kemudian.

Dentingan ponsel dari arah sang gadis membawaku kembali ke toilet. "Ibuku sudah sampai."

Tak lama berselang, missed called dari Pine masuk ke ponselku; tanda situasi di luar aman terkendali.

Pintu belakang alias jalan keluar darurat syukurnya dekat dari toilet. Kubimbing gadis berambut hitam sebahu itu sampai keluar sambil memastikan tak ada barang tertinggal. Di dekat perempatan, sebuah SUV menunggu; serta-merta mengirim kelegaan dari sosok di sampingku.

"Sekali lagi, terima kasih," ucap sang gadis. "Aku tak bisa membayangkan nasibku kalau kamu terlambat beberapa detik atau malah tak muncul. Pria itu terus menguntitku sejak masuk bar dan enggan meninggalkanku meski aku bilang sedang menunggu seseorang."

"It's okay, you're safe now. Lain kali, hati-hati kalau mampir sendiri ke bar." Kutepuk pelan bahunya. "The drink's on me if you already ordered."

Mata gadis itu berkaca-kaca. "Boleh aku tahu siapa namamu? Aku Cherry."

"Bryony, panggil saja Bri."

"Bri," dia menggumamkannya pelan. "Senang bertemu denganmu. Aku berutang budi sama kamu."

And So We Were Accidentally MarriedTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon