"Seinget Ririn, Ririn pergi sama Dimas di hari itu. Terus kita pergi ke.. Apa ya bun? Kayak rawa-rawa apa tambak gitu. Terus abis gitu, Ririn jatoh ke dalamnya. Terus, Ririn kakinya ke iket sama tanaman di dalam air itu. Terus Ririn nggak inget apa-apa." Cerita Ririn.

"Makanya kalo main hati-hati ya. Untung kamu masih dikasih kesempatan hidup."

"Bun,"

"Kenapa?"

"Dimas nggak kesini?"

"Kesini kok."

"Kapan bun?"

"3 hari yang lalu."

"Kalo Kak Ian?"

"Sama kayak Dimas."

"Nggak kesini lagi bun?"

"Nggak."

"Kenapa emang bun? Sibuk sama UN ya Kak Ian?"

"Mungkin. Bunda nggak tau."

"Sms-in Kak Ian sama Dimas dong bun. Ririn kangen sama mereka."

"Bunda nggak ada pulsa, nak."

"Ah bunda."

"Beneran deh."

"Ririn kapan boleh pulang?"

"Mungkin besok kalo nggak lusa."

"Ini selang yang di hidung Ririn boleh Ririn lepas nggak?"

"Boleh. Sini bunda bantu lepasin."

***

3 hari kemudian.

"Bun, Ririn berangkat sekolah ya." pamit Ririn.

"Hati-hati ya." kata bunda.

Ririn sudah mulai kembali sekolah. Ini hari pertamanya kembali sekolah. Ia hari ini berangkat sendiri. Lebih pagi, biar nggak jadi pandangan teman-teman dan kakak-kakak kelasnya. Sesampainya di gerbang, ia melihat Ian.

"Kak Ian!" teriak Ririn.

Ian yang merasa ada yang memanggilnya, menoleh mencari asal suara. Ian berpikir ia mendengar suara Ririn. Mungkin itu khayalannya saja.

"Kak Ian, kenapa nggak noleh sih dipanggil?" tanya Ririn yang sudah ada di sebelah Ian.

"Lho, kamu udah sembuh? Dianter siapa?"

"Udah kak. Jalan tadi kesini. Aku dirumah bunda. Kak Ian kenapa nggak jengukin aku sih?"

"Maaf Rin. Aku sibuk. Bentar lagi kan UN."

"Hmm, sibuk ya? Maaf deh. Masuk yuk kak." ajak Ririn.

"Kamu duluan aja. Aku masih nungguin temenku nih."

"Kak Ian nunggu siapa? Aku temenin ya?"

"Nggak usah. Sana masuk. Aku sendiri aja juga nggak papa."

"Kakak kenapa sih?"

"Nggak papa. Sana udah."

Saat Ririn mau menjawab, Dimas datang. Dimas seperti biasanya mengendarai sepeda BMX-nya.

"Pagi Kak Ian." katanya tanpa berhenti dulu. Ia terus mengayuh sepedanya ke tempat parkir sepeda. Ririn bingung kenapa ia tidak disapa seperti biasanya oleh Dimas.

Ririn segera menghampiri Dimas. Dimas tau ada Ririn disitu, tapi ia tetap diam saja. Entah kenapa, kata-kata Bundanya Ririn terlintas di pikirannya.

"Dim?"

"Hm?"

"Kok nggak nyapa aku sih?"

"Penting ya? Oh iya lupa. Udah sehat ya? Selamat datang kembali ke sekolah." Lalu Dimas masuk ke gedung sekolah meninggalkan Ririn.

"Dim!" Teriak Ririn. "Dimas berhenti dong! Aku manggil nih!"

Dimas tetap keukeuh dengan jalannya. Ia tak mempedulikan Ririn sama sekali. Ririn semakin bingung dengan Dimas dan Ian.

"Mereka kenapa sih pagi ini aneh banget? Ada yang salah sama aku? Kenapa sih? Kok mereka berubah sih? Ada yang nggak beres nih kayaknya. Aku harus cari tahu."

Ririn memasuki kelasnya yang hanya ada Dimas. Keadaannya lumayan bikin kikuk sih. Suruh siapa Dimas nyuekin Ririn. Tak lama kemudian, gedung sekolah mulai lumayan ramai. 30 menit lagi pelajaran akan segera dimulai. Ririn mulai bercakap-cakap dengan teman-teman perempuannya. Jauh di belakang sana, sepasang mata memperhatikan Ririn daritadi. Mata milik Dimas. Sebenarnya Dimas ingin sekali ngobrol dengan Ririn seperti biasanya. Tapi Dimas takut dengan Bunda Ririn. Ia juga takut Ririn sakit lagi. Makanya daritadi ia hanya diam saja. Tak berapa lama, bel tanda masuk berbunyi. Semua teman-teman Ririn siap di tempatnya masing-masing. Ririn juga siap dengan harinya. Ia melupakan masalah Dimas dan Ian yang aneh.

—————————————————————————————————————————————————

Broken HomeWhere stories live. Discover now