01 | Rendezvous

Beginne am Anfang
                                    

Tidak peduli sekeras apapun usaha Zevo untuk membujukku agar beristirahat dahulu, aku bersikeras tidak mau melewatkan satu detik pun dari waktuku di London. "Lo punya sebulan, gue cuma sepuluh hari," adalah tamengku setiap Zevo menyuruhku tidur.

Sepuluh hari di London setelah sepuluh tahun berpisah. Aku bahkan tidak yakin waktu yang singkat itu cukup untuk mengobati rasa rinduku pada kota ini. Tidak ada yang tahu kapan aku bisa kembali lagi.

"Tadi juga sudah tidur di mobil." Aku meminum secangir teh hangat hingga tidak tersisa lalu mengecek ponselnya. "Sudah jam sepuluh nih. Ayo survei, Zev! Katanya masih ada satu tempat yang harus dicek pertama dulu. Galeri kan?"

Zevo, yang masih duduk di kursi, menahan lenganku. "Sebentar. Yang kerja kan gue, Nia. Lo cuma liburan. Jangan sampai terbebani gini."

Dikarenakan namaku dan Zevo sangat mirip. Jadi keluarga besar kami memberikan nama panggilan yang berbeda. Zevo untuk Zevonio dan Vania atau Nia untukku. Hanya mereka yang memanggilku ini. Aku dan Zevo tidak pernah satu kelas yang sama setiap bersekolah jadi tidak terlalu masalah dengan panggilan "Zev". (Ya, kami bahkan saling memanggil Zev.)

"No!" Aku menepis tangan Zevo dan membuat tanda silang menggunakan jari telunjukku. "Tidak ada kata beban apabila menyangkut segala aktivitas di London. Lagi pula sebelum ke galerinya—yang juga favorit gue—nanti kita bakal lewat beberapa tempat terkenal di London. Jadi santai aja sama kayak liburan."

"Oke, deh. Gue ikut lo aja." Zevo menyerah dan sadar bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan seorang Zevania Sylvianna yang sudah mabuk London. "Bang, saya duluan, ya. Mau survei tempat dulu." Dia membungkukkan badan dan berpamitan pada rekan kru film yang masih melahap sarapan dengan santai.

Sungguh berbeda denganku yang tampak buru-buru dikejar waktu. Padahal benar yang dibilang Zevo, aku di sini untuk liburan bukan bekerja.

Kami keluar dari hotel di daerah Lambeth yang terletak di pusat kota London. Pihak rumah produksi sengaja memilih tempat ini karena lokasinya yang berdekatan dengan beberapa landmark London yang tentunya akan menjadi latar lokasi syuting. Itu daya tarik filmnya.

Sebenarnya aku berharap mereka memilih hotel di daerah Islington.

Tidak. Fokus, Zevania.

"Tempatnya jauh gak dari sini?" tanya Zevo

"Lumayan kalau jalan kaki," jawabku dengan jujur seraya fokus pada layar ponsel yang menampilkan google maps. "Tapi gak bakal—"

"Iya, iya. Ayo jalan." Zevo mendorong pelan punggungku menuruni tangga lobi hotel. "Ke arah mana?"

"Sana." Aku menunjuk ke arah kiri kami setelah menyebrang. Jujur saja aku tidak pandai membaca google maps kalau di Bogor atau Jakarta, tapi khusus London aku adalah ahlinya.

Zevo dan aku berjalan berdampingan menyusuri trotoar kota London. Tidak ada yang spesial dari jalanan ini, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum selebar yang kubisa. Kuhirup udara musim panas London dalam-dalam, menikmati terpaan sinar matahari yang menyelinap di balik gumpalan awan di langit biru London. Tidak terlalu panas, tidak pula mendung. Aku suka udara London yang seperti ini.

"Indahnya musim panas di London." Aku ingin merutuki diriku sendiri setelah mengatakan hal cheesy itu dengan mata terpejam dan tangan membentang, seakan-akan aku berada di sebuah film romcom berlatar di London yang aku sering tonton demi melihat latarnya.

Notting Hill. About Time. Last Christmas. Love Actually.

"Lebay," komentar Zevo tapi aku tidak peduli. Dia berada beberapa langkah di belakangku. "Oh, iya kemarin lo pulang sebelum musim panas, ya?"

Journal: The LessonsWo Geschichten leben. Entdecke jetzt