6.

23 4 0
                                    

TRAUMA

Part 6. Mendadak Sakit bag 2

Tak lama balasan dari Pak Joe masuk gawai lagi.

Pak Joe [Syukurlah. Saya tidak salah kirim alamat.]

Aku mengucek bola mata. Tidak gatal. Aku ingin memastikan mataku masih sehat dan yang aku baca bukan sekedar halusinasi.

Benar. Yang kita baca tidak salah. Eits, tunggu sebentar. Mungkin Pak Joe yang salah kirim. Seperti itu saja ya, aku tidak mau mengotori pikiran dan membuat hati bergejolak. Aku ingin mendamaikan keduanya. Kasihan, mereka terlalu lelah jika harus menyembuhkan luka disaat yang diharapkan tak sesuai.

Pak Joe [Jangan lupa dimakan, Veb]

Aku meringis. Pesannya begitu banget. Pak Joe seperti cenayang. Ngerti saja pikiran dan batin tengah berkasak-kusuk menggibahin maksudnya.

Ya sudahlah, kita menyerah saja ya. Percaya saja, itu memang untuk aku.

Seketika, senyumku mekar tak bisa ditahan.

Tapi hanya sesaat. Alarmku terus uing-uing kencang sekali memperingatkan.

Pak Joe [Terima kasih. Harusnya bapak tidak repot-repot. Saya jadi tidak enak.]

Balasanku mengutarakan apa yang kini aku rasakan. Sungkan dan merasa dispesialkan. Oh tidak. Jangan dibawa happy. Perhatian Pak Joe sebagai hanya sebatas atasan.

Pak Joe [Saya tidak direpotkan sama sekali.]

Balasan yang tidak mau didebat. Seperti sikapnya selama ini di kantor.

Aku mengelus dada. Suka-suka dia sajalah. Semoga yang dia lakukan tidak menyebar di telinga karyawan. Aku jadi takut. Apalagi, teman seruangan akhir-akhir ini selalu menjadikan aku dan Pak Joe bahan ghibahan mereka. Takut bagaimana kalau ghibahan ini semakin menyebar luas seantero kantor. Aku tidak ingin. Aku tidak mau menonjol. Menjadi pegawai yang tidak dikenal salah satu bentuk kenyamanan. Jangan sampai ya, gosipnya sekejap menerbangkan namanku. Pada dasarnya, kali ini aku menolak bentuk apapun perhatian Pak Joe.

Asyik menyelami pikiranku, nada dering menyadarkan bila ada panggilan masuk. Nama kontak dari Pak Joe terpampang di layar.

Aku menggambil nafas dalam. Melemparkan benda kotak itu ke tengah ranjang. Tak berani menerima panggilan Pak Joe.

Panggilan berhenti, akupun lega. Dada plong. Namun detik berikutnya panggilan berdering lagi.

Kuintip dengan mencondongkan badan.

"Gusti..." sungguh aku prustasi, Pak Joe kembali memanggil. Aku berniat mengabaikan. Sepertinya Pak Joe tidak kurang akal. Pesan singkat masuk.

Pak Joe [ANGKAT VEBRINDA!]

Mata yang menangkap huruf capslock, menjadikan nyaliku menciut. Akupun menggeser tanda hijau. Ingat! Aku melakukan karena terpaksa. Masih menghargai Pak Joe sebagai atasanku.

"Kamu sengaja mengabaikan panggilan GM?" Pak Joe dengan suara dingin memperingatkanku. Aku ralat. Mungkin dia sedang mengancamku atas nama jabatannya.

Ini nich yang membuatku selalu menghindar berkomunikasi dengan Pak Joe. Dia lelaki yang suka mengintimidasi pegawai dengan memanfaatkan jabatannya di kantor.

"Tidak. Saya tadi masih di kamar mandi, Pak," ide itu yang muncul di benak untuk menyelamatkan dari amukan Pak Joe. "Ada apa ya Pak Joe telephone saya?" aku menanyakan maksud dan tujuannya. Semua harus jelas. Alasannya sebagai senjataku. Mungkin saja, berita Pak Joe meneleponku nanti tersebar. Sedia payung sebelum hujan.

"Saya..." Pak Joe menggantungkan kalimatnya, sementara aku diam menunggu lanjutannya.

Tanpa sadar, aku menggigit kuku jemari. Kebiasaan akhir-akhir ini. Dari seberang sana, terdengar deru nafas Pak Joe. Hingga 1 menit lamanya. Tak ada lanjutan obrolannya.

Apa mungkin Pak Joe lupa sedang menghubungiku? Atau mungkin tadi tangannya latah, memencet nomorku.

"Hallo, Pak Joe masih di situ?" aku yang akhirnya memulai pembicaraan.

"Ssssttt, five minute again please," bisiknya.

"Oh, ok." Sekarang aku mengerti. Rupanya sedang ada yang Pak Joe kerjakan di sana.

Sembari menunggu, aku tinggal berbaring. Mataku menatap atap rumah yang belum di plafon. Sawang yang menggantung di genthing tertiup angin. Gerakan lincahnya seperti membisikan minta untuk segera dibersihkan.

Pandanganku masih fokus ke atap genthing. Ternyata tak hanya tempat tidurku. Ruang keluarga dan kamar belakangpun juga sama. Mungkin, aku akan sisihkan waktu senggang libur nanti untuk membersihkan rumah.

"Hmmmm," bukan aku, Pak Joe yang berdehm. "Besok kamu masih boleh istirahat 1 hari lagi. Saya tidak mau, memaksakan karyawan masuk kerja saat dia masih sakit."

"Hah?"

"Sudah jelaskan info dari saya?"

"Tapi saya sudah sehat, Pak. Sudah nggak panas dan flu lagi."

"Tuntaskan dulu kesembuhan kamu. Jangan sampai karena kamu masuk justru membawa virus dan menularkan pada teman-teman kamu. Mengerti?"

"Bapak ki..."

"Saya ada kerjaan yang lebih penting ketimbang mendengarkan protes kamu."

Tuuut... Tuuut

Aku memelototi handphone. Ibarat aku memelototi kelakuan Pak Joe yang seenak pusarnya. Untung aku sudah kebal. Meski di kantor jarang terlibat langsung, setidaknya aku memiliki pondasi pengetahuan soal tindak-tanduk pimpinan satu itu.

Pesan masuk lagi dan lagi menampilkan nama kontaknya.

Pak Joe [Sepulang kantor, saya akan mampir ke rumah kamu!]

Kalau niat Pak Joe ingin membuat aku dongkol, dia berhasil. Nyatanya, mematikan sambungan telephone secara sepihak membuatku sebal. Ditambah dengan pesannya yang menambah gemes ingin menggigit orang itu.

Mau apa coba dia datang ke rumah?

*****

Dikit aja dulu ya 😉

TRAUMAWhere stories live. Discover now