5.

23 3 0
                                    


TRAUMA

Part 5. Mendadak Sakit bag 1

Kaos kaki, jaket, celana panjang, masker hidung dan selimut tebal. Benda-benda tersebut tak juga membuat tubuh menggigilku menjadi hangat. Ditambah bersin-bersin dan hidung tidak kunjung kering, padahal sepulang kerja akupun juga minum obat flu. Bukan tambah reda, sepertinya virus flu semakin memberontak marah.

Kuraih lembaran-lembaran tisu, menggantikan tisu yang di hidung. Kemudian, melemparkan tisu kotor ke dalam tempat sampah kecil yang tak jauh dari ranjang. Cairan bening yang seperti air sedikit kental, berhasil menyiksaku. Kalau tak kugunakan cara seperti itu, ingus bandel keluar tanpa hambatan.

Dengan mata yang terpejam dan tubuh di balik selimut, aku mengingat-ingat kembali. Minuman apa yang tadi aku masukkan ke dalam mulut. Karena aku sadar diri, memiliki daya imun yang payah. Menjaga makanan dan minuman suatu kewajiban meski terkadang lidah ingin mencicipi. Terutama minuman yang berunsur es. Oleh karenanya, bila es krim atau es-es yang lain favorit orang, minuman itu menjadi musuh bebuyutanku.

Aku mengurutkan dari pagi. Sarapan hanya dengan smoothies berbahan dasar alpokat dan stroberi. Sama sekali tidak ada es atau tambahan bahan lainnya kecuali susu kental manis. Makan siangpun, aku bekal. Sesuai ingatan, hari ini makanan dan minumannya aman. Bahkan aku hanya minum air mineral dari merk yang terkenal yang sudah mendunia itu. 

"Sudah ratusan kali ibu selalu ingatkan kamu untuk cukup istirahat," suara daun pintu menggeser. Aku merasakan ibu masuk ke dalam kamar. "Apa susahnya coba?"

Aku mengintip dari celah bulu mata.

"Bangun, makan dulu kolak rotinya," perintah ibu yang tak bisa aku bantah.

Berat. Aku melakukan yang disuruh. Duduk bersandar di kepala ranjang. Aku tak nafsu makan meski yang ibu bawa adalah kolak roti, favorit. Aku hanya ingin memejamkan mata, meski belum merasakan kantuk.

Di atas kasur, ibu menaruh mangkoknya.

"Kalo sampai besok masih panas dan flu belum reda, ibu akan bawa kamu ke dokter," kembali ibu menyuarakan ultimatum. Meskipun aku sudah berumur 29 tahun, baginya, aku ini masih anak kecil. Bisa jadi bayi, yang apa-apa masih harus diladeni, diperintah dan dijejali sesuatu yang kiranya aku tak mengerti.

"Veb ingat pesan ibu. Veb juga menjaga kesehatan. Makanan juga terjaga. Nggak tahu ini badan. Payah," aku sendiri tak mau kalah berdebat. Yang aku katakan benar. "Dan ke dokter, Veb rasa nggak usahlah, Bu. Minum obat flu juga bakalan reda besok."

"Tidak. Kamu harus ke dokter. Ibu capek merawat orang sakit," dengan tegas ibu menolak. Alih-alih menyejukkan, omongannya malah menyakitkan telinga.

Mataku terpejam. Bukan bertindak tak sopan pada ibu. Kepalaku justru bertambah pening. Bukan sakit yang semakin parah, aku tidak mau ke dokter. Anti kalau harus masuk ruangan kebanggannya orang-orang bersnelli. Belum lagi obat yang diberikan. Banyak dan besar-besar. Kalian tahu? Terakhir ke dokter aku 2 tahun yang lalu. Tipes kambuh. Dokter memberikan aku surat untuk istirahat total selama seminggu dari aktivitas kantor. Makanan yang boleh terbatas. Obat yang diberikan berjibun. Mana beberapa dengan kapsul besar. Benar tersiksa. Setiap waktunya minum obat, harus kugerus dulu. Pahit, wlek. Aku membayangkan ingin muntah jadinya.

Kalian pasti bertanya, kenapa minum obat sesusah itu? Bukankah pakai air dan pisang beres? Oh iya, itu bagi mereka yang bisa. Aku tidak bisa menelan obat. Yang ada air apa pisangnya masuk duluan, obat akan nyangkut di tenggorokan dalam. Payahkan aku?

"Ini habiskan dulu kolak rotinya. Belum makankan tadi?"

Aku membuka mata lagi, menatap mangkok yang atasnya masih mengepulkan asap. Melihatnya saja perutku mendadak bertambah diaduk-aduk. Sial.

"Tolong taruh di meja belajar saja, Bu. Biar dingin dulu," pintaku untuk menyingkirkan penyebab mualnya.

Ibu membantu. Mangkoknya ditaruh di atas meja belajar.

"Terima kasih."

"Jangan lupa nanti diminum. Ibu nggak akan tanggung jawab kalau jantung kamu nggak kuat akibat efek obat."

"Iya, siap laksanakan."

Jangan kaget. Ibu memang seperti itu orangnya. Ceplas-ceplos gaya berucap. Yang belum terbiasa pasti akan sakit hati ketika mendengar. Meski ada banyak kekurangan, aku salut. Beliau merupakan ibu yang kuat, hebat dan tepat, seperti memiliki cctv yang akan memantau kami, para keluarga jika  Aku yang terus membohonginya sejak awal untuk mengisi perut sebelum minum obat, akhirnya ibu tahu dan membawakan aku kolak roti kesukaan.

***

Dua hari sudah berlalu, aku kembali mengalami hal yang sama. Tipes menyerang. Kali ini tidak parah. Aku hanya dapat ijin istirahat total cukup 2 hari. Besok sudah mulai kembali ke kantor.

Badanku sudah mulai enakan. Meski lidah masih mengalami hal yang wajar, pahit terhadap makanan. Membuat nafsu makan semakin tak ada.

"Paket!" Teriak kurir.

"Paket?" ulangku menirukan kurirnya. Aku pikir itu untuk tetangga rumah.

"Paket!" suaranya kembali menggaung ke dalam.

"Bentar!" Ibu tergopoh keluar.

Tak lama kemudian, ibu masuk dengan menenteng membawa paper bag makanan dari cafe yang rumayan terkenal dan makanannya mahal.

"Ibu pesan ojol? Wuiiihhhh, kemajuan ibuku," aku bersorak mengecenginya. Bukan apa, ibu salah satu orang yang gaptek gatged. Hp pimtar yang dimiliki hanya digunakan untuk telephone dan pesan singkat saja.

"Ibu kira kamu."

"Hah? Nggak kok. Veb tanggal tua."

"Lah terus? Punya siapa ini?"

"Masa kurirnya salah alamat ya? Jangan dimakan dulu deh, Bu. Siapa tahu nanti, balik lagi."

"Ibu kira kamu yang order. Ibu sudah mau negur kamu," ujarnya kemudian pergi kembali ke belakang.

Paper bag warna putih dengan logi bagus. Packagingnya aja mewah. Pantas mahal.

Aku penasaran dengan isi. Hidung yang membau sepertinya enak.

OMG! Aku ngiler. Benar-benar ngiler. Roti toast dengan isian daging 2 box. Incipin dikit dosa tidak? Eh jangan-jangan.

Sebelum gelap iman, aku menutup kembali. Dan untuk mengalihkan pikiran ilarku, aku menggambil handphone. Berselancar ke google. Mencari apapun yang bisa dicari.

Kling

Pak Joe [Maaf, saya tidak tahu kesukaan kamu yang mana]

Saking terkejut, tak sengaja handphone terlempar ke karpet yang aku duduki.

Aku menimang-nimang. Tidak percaya mendapat pesan dari Pak Joe. Mungkin salah kirim. Diabaikan saja, meski itu terlihat mustahil. Tanda terbaca pasti juga sudah Pak Jo lihat.

Kling

Aku menggambil handphone. Kembali mendapati pesan Pak Joe

Pak Joe [Saya ijinkan kalo besok ingin nambah cuti untuk istirahat. Semoga suka dengan makanannya]

Hah! Aku tidak mimpikan mendapati pesan Pak Joe? Atau jangan-jangan ini mimpi?

"Au!" Aku mengaduh setelah menampar pipi untuk membuktikan mimpi apa nyata. Ini benar nyata.

Aku kembali ke ruang tamu. Mengambil foto paper bag dan mengirimkannya ke Pak Joe.

Pak Joe [Yang bapak maksud ini? Apa salah kirim?]

Aku menegaskan. Mungkin saja salah kirim.

*****

TRAUMAWhere stories live. Discover now