1.

60 5 2
                                    

TRAUMA

Part 1. Dukun

Pacaran lama, kemudian mengikat janji. Membuat teman-teman tambah iri dengan hubungan kami. Aku pernah memimpikan hal itu. Kebahagiaan yang akan tampak sempurna.

Namun ternyata hanya khayalan kosong. Bisa dibilang hanya mimpi disiang bolong. Sampai akhirnya aku ditampar oleh kesadaran. Dipaksa untuk bangun dan membuka mata ketika undangan pernikahan bersampul hijau army mendarat di rumah.

Bukan. Ini bukan pernikahanku. Melainkan pernikahan orang yang sempat menempati relung hati terdalam selama bertahun-tahun.

Ternyata, kami tidaklah berjodoh.

"Bengong aja, sana bantu adikmu menyiapkan baju yang nanti dipakai," kedatangan Bulek Ipah mengagetkanku.

Aku sedang menghadiri persiapan 7 bulanan kehamilan Tasya. Satu-satunya sepupu, yang komunikasinya paling dekat intens. Meski jarak umur kami terpaut 10 tahun lebih tua diriku.

"Harus ya? Aku yang repot lagi?" tanyaku meski dongkol, namun tetap bangkit mengiyakan perintahnya dari tempat lamunan yang membawa pada kenangan lama barusan.

Rasanya aku terlambat datang. Persiapan acara juga hampir rampung. Dekor minimalis untuk siraman dan pecah kelapa gading, berdiri cantik. Khas sekali orang jawa.

"Biar nanti kamu pengalaman waktu acara hamil 7 bulanan. Nggak kaget," ujarnya seraya mengekor di belakangku.

"Aamiin sajalah," aku menimpali seadanya seraya memutar bola mata. Bukan lagi jengah, hatiku benar-benar tawar sekarang. Bahkan mendekati hampar. Amin yang terucap hanya terasa di bibir. Sedikitpun tak menggetarkan batin.

Pikirku, bagaimana bisa hamil coba? Menikah saja jauh dari keinginan batin saat ini. Pengalaman buruk membuatku melahirkan pemikiran pesimis bisa menemukan lelaki yang seperti mauku. Yang ada aku akan mengulang kesalahan yang sama lagi. Jatuh pada pesakitan yang tidak menampakkan luka, namun sungguh sangat sakit.

"Jangan putus asa, pada waktu yang tepat, kamu akan bertemu dengan yang tepat juga."

Aku berhenti dari mengayunkan kaki. Hati kembali sepecless mendengarkan ujaran Bulek Ipah yang entah keberapa kali. Meski demikian, efeknya tetap sama. Membuat udara sekitar wajah memanas. Kelopak mata jadi mengembun. Krisis kepercayaan akan hadirnya pasanganlah yang saat ini mendiami ruang hampa.

Jangan-jangan, jangan nangis. Aku harus kuat.

Berulangkali aku harus keras menyemangati diri.

"Brandalan kok cengeng," olok Tasya, tanganku dia tarik ke dalam kamarnya. Menjauh dari ibunya.ss " Bantuin aku beresin baju untuk ganti, Mbak," dia tidak meminta, lebih tepatnya menyuruh.

"Siap, boss," jawabku menyanggupi.

Meski ibu dan anak sama-sama berhasil membuat dongkol, namun kesibukan yang mereka berikan bisa mengalihkan pikiran dari lamunan rasa sakit. Aku sendiri juga heran. Bertahun-tahun sudah berlalu, hatiku belum mau diajak sembuh. Sulit sekali rupanya memaafkan dan menerima takdir.

"Tujuh pakaian?" aku seperti bertanya pada diriku. Lebih tepatnya keheranan. Ribet sekali rupanya.

"Iya, Mbak. Apa-apa kudu 7," bukan yang shock, wajah Tasya malah sumringah. "Inilah uniknya tradisi orang Jawa, meski ribet, namun terasa sakral."

Dari sorot matanya, aku bisa membaca Tasya kelelahan dalam menyiapkan acara 7 bulanan. Namun aku juga melihat dia enjoy dan bahagia sumringah.

"Semua akan kamu pakai? Tidak membayangkan gerahnya kaya giman."

"Ya nggaklah, cuman dibuat salin-salin sampai menemukan yang pas. Aku juga nggak tahu kenapa. Nanti deh kamu lihat sendiri."

Aku mengangguk. Tak mendebat. Aku percaya pada Tasya, itu anak juga sama tak mengertinya dengan aku.

TRAUMAWhere stories live. Discover now