1. Putus Cinta

18 5 1
                                    

1. Putus Cinta

PRANG!

Suara wajan dengan ukuran sedang yang terlempar jatuh ke tanah. Lalu diisi oleh cetakan foto-foto, buket bunga tulip merah dan album berbentuk love.

Gesekan tangkai korek memercik
api kecil namun bersebaran kemana-mana setelah dilempar ke dalam wajan. Api itu melahap benda-benda yang omong kosong bagi si pemilik.

Si pemilik itu menatap titik pembakaran. Ia memanyunkan bibir lalu tertunduk pasrah. Disisi lain ia tak tega membakar semua itu, tapi gadis itu terlanjur sakit hati melihat pemberian matan kekasih.

"Berlin!" Seorang wanita itu menghampiri putrinya yang berada
di halaman belakang. "Kamu sedang apa? Asapnya sampai masuk ke rumah, Berlin!"

Gadis itu berbalik badan dengan keadaan matanya memerah hingga hidungnya berair. "Bunda,"

Gadis itu memeluk sang bunda lalu terisak pelan. Wanita itu mengelus rambut putrinya, "Kamu kenapa, nak?"

"Maaf bunda. Aku belum pernah cerita sebelumnya." Gadis itu berucap penuh penyesalan.

"Ada apa? Kenapa kamu bakar barang-barang kamu?"

"A-aku putus sama—"

"Apa? Kamu pacaran?!"

"Bunda dengerin aku dulu."

Wanita itu berusaha meredam emosinya. "Jelaskan,"

"Aku nerima dia sebagai pacar dari sepuluh bulan lalu. Aku sempat nolak dia, bunda. Tapi dia terus ngebantuin aku hal apapun di sekolah. Aku tidak enak menolaknya, jadilah aku mau menjalin hubungan dengan dia,"

Wanita itu terkejut mendengar pengakuan dari putrinya,
"Jadi, yang suka mengambil tugas-tugas kamu saat tidak masuk
itu pacarmu?"

Gadis itu menggaruk-garuk kepala, "I-iya bunda. Aku minta maaf kalau bilangnya dia teman aku. Memang aku anggap dia teman,"

"Berlina, kalau cuma teman apa tujuanmu menangisinya? Kenapa sekarang kamu terlihat seperti orang lemah?" Wanita itu memegang kedua bahu putrinya.

"Bunda tau sendiri, usaha dia ke aku agak berlebihan. Sedihnya karena dia selingkuh." Sangat disayangkan

Wanita itu menggerutu, "Laki-laki tidak tahu diri."

Lalu bertanya, "Siapa namanya?"

"Tapi bunda cukup tau aja." Berlin takut melihat wajah bunda yang tak bersahabat.

"Siapa?"

"Agha,"

"Ohh, Aghaza?" Berlin hanya mengangguk.

"Lupakan, anggap dia hanya sahabat sementara. Yang membantumu dari sepuluh bulan yang lalu." Wanita itu berucap dengan tenang lalu ia mengusap air mata yang tersisa di wajah putrinya.

"Kalau dia sudah menjauhi mu, jangan merasa sendiri saat ditinggal. Bunda lebih lama dari kamu, tapi bunda ada untukmu." Lewat ucapan, wanita itu menyalurkan kasih sayang untuk putri satu-satunya.

"Iya bunda. Maafin Berlin ya, sudah berbohong tentang ini." Keduanya tersenyum tanpa ada kemarahan lagi.

***

Berlin mendengkur dari balik selimut. Setengah sadar ia bisa mendengar suara seperti berbisik halus. Lalu ia langsung membuka mata dan menghempaskan selimut yang menyelimuti tubuh. Berlin turun
dari kasur untuk menyalakan lampu. Setelah seisi ruangan terang ia tak menemukan apapun, hanya suara kipas angin dan pendingin ruangan yang nyala.

Berlin tak kembali tidur, ia keluar kamar menghampiri kamar bundanya.

Bunda Berlin yang terbaring di kasur merasa silau dengan cahaya disudut pintu. Melihat putrinya sedang mengintip, wanita itu menghampirinya.

Abang Mantan!Where stories live. Discover now