01 | Crisis of Confidence

2.4K 284 33
                                    

Sebelum kalian bertanya-tanya, dua part pertama dalam cerita ini sudah pernah dipost sebelumnya di lapak Short Story. Kuputuskan menjadikannya cerita utuh karena aku udah jatuh cinta sama chemistry Noah dan Ru sejak pertama kali ditulis. Semoga kalian juga... Enjoy!

***

2 tahun lalu...

Kalian pasti pernah mengalami ini seenggaknya sekali seumur hidup.

Menjadi pengamat, penonton, atau apa pun istilahnya. Selagi pemeran utama melakukan bagiannya, kita justru bertanya-tanya dalam hati, 'kapan giliranku dimulai?'.

Perkenalkan, namanya Jenaya Vanilla Hadid. Bahkan namanya merupakan penggabungan rempah mahal dan nama keluarga terkenal di Hollywood. Sejak awal kedatangannya di perusahaan ini, Vani -nama pendeknya- sudah menawan banyak hati, entah itu rekan kerja, bawahan, sampai atasan. Sebagai sesama wanita, aku mendefinisikan Vani sebagai salah satu orang yang punya paras biasa-biasa saja, tapi memikat. Mungkin pesonanya sebagian besar terletak pada inner beauty. Tahu, 'kan maksudku?

Pasti kalian mikir kalau aku iri? Wah, enggak sama sekali!

Sebut aja aku pengagum, itu lebih cocok buatku.

Bayangin aja. Dia bilang jarang pakai skincare, sedangkan kulitnya terawat. Dia bilang enggak suka make up, yang penting rapi. Menurutku, orang-orang yang cuek bebek perihal penampilan punya privilese. Kepercayaan diri tinggi atau memiliki modal cukup untuk terlihat menarik. Vani sih dua-duanya. Ditambah, otak Vani itu, lho. Dia lulusan salah satu universitas tertua di Indonesia yang dengan kata lain... aset penting bagi perusahaan.

Oh, bukan hanya itu. Vani juga punya kepribadian yang menyenangkan. Dia dewasa, ramah, dan rendah hati. Paket komplit, bukan?

"Vaniii!" Rengekkanku pasti terdengar lebih dulu sebelum aku muncul di mejanya siang ini. "Vani! Vani! Vani!" Bukan hanya mengekor ke mana-mana, tanganku juga usil memegangi bagian belakang blouse Vani. "Ngopi bentar, yuk!"

"Mau nungguin sepuluh menit?" Vani menunjuk tumpukan dokumen dalam pelukannya. "Nganter ini doang ke ruangan GM, abis itu kita ngopi."

Tentu saja aku mengangguk antusias. Selama kepergian Vani, aku duduk anteng di mejanya sambil menyusun isi staples menjadi sebuah balok utuh. Bosan dengan isi staples, leherku terulur untuk melihat sekeliling.

Sepi. Pasti penghuni departemen ini lagi di kantin semua.

"Ruwi, ya?"

Aku sontak berdiri begitu mendengar Pak Haikal -Manajer Produksi- menyebut namaku. "Pak," sapaku sambil setengah membungkuk. "Iya, saya Ruwi." Sebetulnya aku lebih suka dipanggil dengan nama kecilku. Berhubung enggak semua departemen kenal aku seperti mereka kenal Vani, jadi mereka memanggilku dengan nama depan.

Ruwi, kependekan dari Ruwika Gianni Miller. Papaku cuma menyiapkan nama latin untuk anak laki-laki, sehingga mama dengan senang hati memilih nama yang lebih Indonesia.

Pak Haikal tersenyum samar. Niat awalku buat kembali duduk batal gara-gara Pak Haikal enggak beranjak dari meja Vani. Malah, beliau justru berdiri sambil menumpukan tangannya di meja, tangan satunya dimasukkan ke saku celana. Gayanya keren betul.

"Nggak makan siang, Pak?" tanyaku basa-basi.

"Tadinya mau ngajak Vani, tapi ditolak terus."

Posisiku serba salah. Sudah jadi rahasia umum kalau Pak Haikal naksir Vani. Begitu pun dengan Amran dari divisi pemasaran, Fauzan dari divisi penjualan, Wira, Septian, Kairo, dll. Semuanya direspon baik oleh Vani.

"Kamu tahu kenapa dia nggak mau makan bareng saya?" Pak Haikal menunjuk dirinya sendiri.

Aku melirik tempat sampah di bawah meja Vani, lalu menunjuk wadah bekas makanan yang teronggok di sana. "Tadi pesan online bareng saya. Mungkin dia udah kenyang. Coba lain kali, deh, Pak." Bibirku cengengesan untuk menutupi rasa bersalah.

MAIN LEADDove le storie prendono vita. Scoprilo ora