O7

2 0 0
                                    

Terkutuklah setan yang menggiring nafsu kami ke dalam jurang, layaknya domba peternakan.”

***

Setelah memenangkan Salsabila hingga tertidur, saya baru menyetir melanjutkan perjalanan sambil memperhatikan nya sesekali melalui spion tengah. Dia tidur nyenyak di jok belakang; kening saya tidak berhenti berkerut, padahal cuma terbayang kalimat: siapa yang Salsabila sukai, tapi kepala saya sudah penuh. Rasanya otak saya keriting seketika, persis benang kusut.

Tiba di depan rumahnya, Salsabila malah merengek. Dia tidak mau turun dari mobil sampai saya ikut turun dan, menemaninya tidur malam ini.

"Memang kau mau pulang? Kau mau ketemu bapak mamak mu?"

Saya tertawa kecut. "Mau gimanapun juga saya harus bertemu keduanya, kamu lupa? Ini mobil ibu saya."

Salsabila terdiam dan malah menelfon seseorang. "Tante aku sama lulu sudah di depan rumah, tapi lulu nginap sama aku dulu yaaa, besok ku kembaliin anak tante, mmwah sayang tantee."

Tak lagi mampu berkata-kata, saya cuma bisa melototi Salsabila. Bisa-bisanya dia menelfon dan meminta izin pada ibu saya, seolah-olah sedang merental barang. Dan tak ada pilihan bagi saya selain menuruti kemauan Salsabila, padahal saya sudah berencana balik ke tempat nenek sore ini juga.

"Kau gila?!" Saya dimaki Salsabila saat kami sudah berada di dalam rumahnya. Saya ketar-ketir melihat panci berisi ramyeon yang dia bawa, khawatir dia emosi dan malah membanting panci. Rugi ramyeonnya.

"Dari kemarin sampai sekarang kau bolak-balik, bahkan keliling. Kau ga cape nyetir mobil?"

Saya ambil alih panci dari tangannya sambil terkekeh. "Tidak juga, lagipula kasihan Cucu Opung."

"Kau ... kau kepikiran tiket itu? Konsernya masih lama Lituhayu, astaga—"

Tak saya acuhkan omelan Salsabila, perut saya kelewat keroncongan dan tidak lagi sanggup membiarkan ramyeon menganggur lebih lama. Meski saat makan pun Salsabila tidak berhenti menggerutu, saya tetap menikmati suap demi suapan hingga ramyeon tandas.

"Besok saya mau istirahat, lusa saya sudah harus mengerjakan tender berikutnya." Saya berusaha menjelaskan, Salsabila langsung berhenti makan dan menyodorkan segelas air lantas saya terima. Waktu minum, saya sempat heran — rasa airnya agak aneh, atau mungkin hanya perasaan saya saja.

"Ku temani kau ke tempat umak, besok saja berangkatnya," usul Salsabila.  Tidak saya tolak, dan tidak pula saya terima. Saya cuma berdiam dan lama kelamaan obrolan kami berganti topik hingga panci ramyeon kosong melompong.

"Kau betulan bakal menikah, sama laki-laki yang bakal dijodohkan ibu?"

Saya teringat perkataan nenek. Kalau saya percaya Tuhan, kenapa saya harus mundur? "Suatu saat saya ataupun kamu, harus menikah. Lagipula saya diberi kesempatan untuk memilih. Seperti apapun jalannya, terpenting cocok dan kami berjodoh."

Berikutnya Salsabila tak banyak bicara, dia malah menangis lalu beranjak ke kamar. Secara naluri saya langsung menyusul, saya terkejut waktu Salsabila mencegat saya agar tidak masuk ke kamarnya.

"Kenapa? Kamu butuh waktu?"

"Kau ga peka, Lut?" Salsabila malah melototi saya, matanya memerah menahan tangis. "Kau cuma tanya aku butuh waktu? Ku pikir kau paham!" bentaknya dengan nada melengking, pintu kamar hampir tertutup kalau saja tidak saya tahan.

"Apa?! Brengsek gila kau mau apa?!" Salsabila terus menghardik, bahkan dia menampar saya ketika saya menerobos masuk ke dalam kamarnya.

Waktu bekas tamparan diusap, rasanya panas. Saya tertunduk lalu tertawa melihat Salsabila yang entah sejak kapan sudah terpojok di dinding kamar. Badannya lebih tinggi, tapi boleh dibilang tenaganya tidak sebanding dengan saya yang sering olahraga dan workout hampir setiap hari. 

"Apa yang kamu mau? Menuntut saya untuk peka dengan rasa suka mu terhadap saya, begitu?" Salsabila terdiam, saya makin tertawa melihatnya. "Itu yang kamu mau?"

"LEBIH!" Benar-benar plot twist, lagi-lagi Salsabila menghardik bahkan mendorong saya berkali-kali hingga terduduk di kasurnya. "KAU TAU TAPI KAU DIAM. Kau pikir, kau bisa seenak hati? Aku pun mau memiliki kau, bodoh!"

"Saya pun tidak pantas meladeni perasaan mu, apa yang musti saya lakukan selain diam?"

Pada akhirnya, Salsabila terduduk di lantai. Lagi-lagi selain diam, saya tidak tau harus berbuat apa kala melihat Salsabila menangis hingga sesegukan. Ketika saya beranjak dari kasur dan berniat pergi, Salsabila menahan memeluk kaki saya lalu bermohon dengan linangan air mata di wajahnya.

"Jangan pergi, seenggaknya temani aku sampai ketemu jodoh yang kau rasa cocok, tolong hargai perasaan aku." Pertama kalinya saya melihat wanita independen seperti Salsabila mengemis, selama ini saya selalu melihat Salsabila yang cerdas dan bersinar, apa kah patah hati benar-benar membuatnya hancur?

Bagaimana jika kelak saya merasakan hal yang sama?

Saya tertawa, ikut duduk di samping Salsabila seraya memeluk badannya. Berusaha menepis hal negatif yang berbondong-bondong menyerang pikiran saya.

Di dalam pelukan saya, Salsabila masih sesegukan — membuat saya makin tak tega, lantas menarik tubuhnya. Cukup lama saya memangku Salsabila di lantai sambil bersandar di tepi kasur. Ketika dia berhenti menangis, tetap saya rengkuh badannya dan  tak saya lepas.

Entah siapa yang duluan tertidur, tapi paginya saya sudah terbangun di kasur. Salsabila masih tertidur di samping saya, badannya tertutup selimut dan saya tidak menyangka kalau Salsabila hanya mengenakan pakaian dalam tanpa baju. Saya baru teringat, Salsabila terbiasa tidur dengan badan setengah telanjang.

Entah angin dari mana, rasa aneh itu datang menggelitik. Saya berusaha menahan diri, akan tetapi tahu-tahu bibir saya sudah menempel di kulit Salsabila — menciumi leher gadis ini layaknya orang kecanduan menghisap ganja.

Tidak menyangka kalau rasanya senikmat ini, saya tidak terlalu suka parfum Salsabila, tapi aroma tubuhnya membuat saya mabuk. Bahkan saya tak lagi sadar, tangan saya bergerak seolah dituntun meremas payudara hingga panggul nya.

Ketika mendengar suara Salsabila melenguh dan melihat matanya terbuka, saya sempat tersadar. Di benak saya pun terbesit tentang kasus pelecehan orang yang terbutakan hawa nafsu. Tapi semua berubah kelabu. Tidak hanya saya, akal sehat Salsabila pun sepertinya sudah terkelabui hasrat juga tuntutan hati yang menggebu-gebu.

Tak ada lagi yang terlintas di pikiran kami selain, hasrat ingin saling memiliki satu sama lain. Maka terkutuklah setan yang menggiring nafsu kami ke dalam jurang layaknya domba peternakan.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 20, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Shabby Lituhayu Where stories live. Discover now