O5

4 2 0
                                    

“Saya bebas di sini dan bisa menjadi apa yang saya mau, tapi saya sadar memiliki tanggung jawab peran yang besar untuk adik-adik saya.”

***

Sejujurnya, amatlah nyaman tinggal di tempat nenek. Bukan karna alasan klise udaranya sejuk, jauh dari hiruk pikuk, airnya segar, banyak tempat-tempat alami seperti sawah tidak seperti di kota. Saya cuma punya satu alasan kenapa saya nyaman tinggal bersama nenek; rasanya tenang dan saya diperlakukan seperti putri semata wayang setiap kali berkunjung.

Beban menjadi sulung amatlah berat. Selain harus mencontohkan sosok wanita sukses berprestasi, saya juga harus menjadi contoh sebagai figur kakak yang tangguh untuk adik-adik saya. Kehormatan keluarga pun ada di tangan saya sebagai anak perempuan tertua. Tak ada ceritanya leha-leha, ataupun konteks meminta bantuan pada orang lain ketika saya tertimpa masalah.

Sementara ketika saya bersama dengan nenek dan kakek, saya mendapatkan tempat sandaran istirahat barang sejenak. Saya mendapatkan sosok yang mampu menjadi pendengar sekaligus teman berdiskusi. Saya pun tak ada rasa kekangan, seperti tindakan dan aturan yang orangtua saya berikan. Saya bebas di sini dan bisa menjadi apa yang saya mau, tapi saya sadar memiliki tanggung jawab peran yang besar untuk adik-adik saya.

Setidaknya selagi saya masih menyanggupi semuanya, kenapa tidak?

Dan lagi, lingkungan sekitar tempat tinggal nenek dan kakek amat berbeda dengan lingkungan perumahan orangtua saya di kota. Ke akuran dan keakraban antar tetangga sudah seperti saudara sendiri, tidak seperti tetangga sekitar rumah orangtua saya yang dipenuhi manusia toxic dan suka julid.

"Loh Luti pulang kampung rupanya?" Saya tertawa malu, sewaktu tetangga nenek lewat di depan rumah. Ini yang saya suka, tidak peduli siapa yang tua siapa yang muda — mereka tetap akan duluan menyapa kalau sudah berpapasan. "Baru datang ye?"

Setelah menaruh tas ransel buru-buru menaruh tas ransel ke dalam mobil, saya bergegas menemui wanita paruh baya yang berdiri di depan pagar rumah. "Ah opung, apa kabar?" Tanya saya sembari menyalim tangannya lebih dulu.

"Baik aku, ini kau baru datang atau mau pulang? Pagi-pagi sudah cantik kali, atau mau kencan cari calon suami orang sini nya rupanya?"

"Ha?" Saya termangu, hampir lupa dengan keramahan tetangga nenek memang amatlah luar biasa. "Ah hahahaha, opung bisa saja. Uti cuma singgah sebentar, opung. Semalam nginap di sini, tapi sekarang sudah harus ke luar kota untuk belanja."

"Mau ke luar kota? Pas kali rupanya. Eh Teta, cucu mu datang ko ga bilang-bilang." Si opung melambaikan tangannya, saya langsung menoleh dan ternyata nenek muncul di belakang saya sambil membawa tas jinjing kecil.

"Gimana aku mau kabar-kabar, lah dia tiba-tiba nongol di depan pintu rumah maghrib kemarin." Nenek menepuk pantat saya, membuat saya makin tersipu malu.

"Itu lah pas kali pun, cucu ku mau balik ke Jawa. Ini aku mau ke depan nyetop bis, dia harus ke bandara pagi ini."

Tidak tau apa alasannya, tapi nenek menoleh dan menatap saya penuh makna. Lalu tiba-tiba beliau berseru penuh semangat. "Sudah pas kali lah, numpang sekalian sama Lulu." Nenek terbahak. "Iya nak, ndak keberatan kan kau? Numpang cucu opung ini sampai bandara, kau mau lewat bandara kan?"

Saya tidak keberatan, dengan senang hati saya pun mau-mau saja mengantar cucu opung ini ke alamat rumahnya langsung, meski harus menyebrang ke luar pulau — sebelum saya tau, kalau ternyata cucu si opung adalah anak-anak laki seusia saya.

"Maaf, tapi boleh matikan ac nya? Saya izin membuka jendela mobil." Dua jam terjebak dalam suasana akward, akhirnya laki-laki yang duduk di jok samping saya bicara. 

"Ha ... kaca?" Saya langsung memperlambat laju kendaraan, lalu memarkirkan mobil di tepi jalan yang cukup sepi dan teduh. "Maaf, tapi saya tidak dengar." Waktu melepas airpods dari telinga, saya bisa melihat laki-laki ini melototi saya.

Dia berdehem, entah mungkin karna merasa tidak nyaman atau canggung, saya tidak tau. Sayangnya saya tidak bisa membaca airmukanya, sebab sebagian wajahnya tertutup masker.

"Ac mobil boleh dimatikan saja? Saya ingin membuka jendela." Suaranya terdengar berat, seketika saya langsung mengerti situasi; laki-laki ini mabuk darat, sepertinya. "Terimakasih ..." katanya lagi setelah ac saya matikan, kali ini suaranya terdengar lembut dan lebih kecil dari sebelumnya. Dia langsung membuka kaca jendela lalu bersandar.

Saya kembali menyetir, dengan kecepatan sedang kali ini. Dengan sudut mata, saya sempat menangkap bayangannya tengah memijit kening. "Nama saya Lulu, maaf karna saya terbiasa menutup semua kaca mobil kalau menyetir sendirian." Sempat terbesit rasa bersalah, padahal saya sudah menolong orang tapi orangnya justru tidak nyaman.

"Saya tidak mabuk karna ac mobil, tapi saya belum makan." Mendengar jawabannya, saya menoleh secara reflek. Saya hampir ingin menawarkan untuk berhenti di restoran, tapi dia sudah lebih dulu menyangkal. "Tidak perlu, jadwal penerbangan saya dua jam lagi. Waktu nya tidak akan cukup."

Setelah itu, kami tidak ada berkomunikasi lagi. Dia tertidur dan baru terbangun waktu saya mengantri tiket parkir di gerbang bandara. Tepat saat yang bersamaan, ponsel yang saya taruh di dashboard bergetar. Nama 'Ayang Bila' muncul di layar telfon. Saya melotot dan baru sadar kalau nama kontaknya berubah.

"LULU KAU DI MANA?!" Pekikan mautnya hampir memekakkan telinga saya sesaat setelah telfon saya angkat. Cucu si opung — saya sebut cucu si opung karna tidak tau namanya, dia sibuk merapikan rambutnya yang berantakan dan tidak terlalu mempedulikan suasana.

"Di bandara, kenapa?" Sambil memegangi ponsel di telinga, saya kembali menyetir perlahan-lahan setelah mendapat karcis parkir.

"Ku tunggu di resto samping bandara, mwah dadah sayang!" Seketika sambungan telfon langsung putus, saat itu pula saya baru sadar kalau Salsabila menelfon via video call.

***

Shabby Lituhayu Onde histórias criam vida. Descubra agora