O3

8 3 3
                                    

“Meski tidak tau apa yang akan terjadi ke depannya, tapi saya sadar — semesta menjebak saya dalam lingkaran setan.”

***

"Kita bercerai kalau Lulu sudah menikah."

"Sudah saya siapkan biodata orang yang saya rasa cocok untuk dia, kau ada saran atau anak teman-teman mu, pasti ada lah yang cocok satu."

"Ada banyak yang sering tanya-tanya Lulu ke Aku. Cuma kau lihat sendiri anak gadismu itu, tampangnya macam laki-laki lebih menli dari pada sodaranya."

"Besok suruh dia panjangkan rambut dan ganti gaya pakaiannya."

"Bukan soal pakaian dia." Ibu berdiam dan tidak jadi membuka map yang diberikan Ayah. "Aku sempat berubah pikiran, nenek dia bilang jangan jodoh-jodohkan cucunya macam kita dulu."

Saya tersenyum dan masih memilih berdiri bersandar di tembok samping pintu — menguping percakapan ayah dan ibu di kamar. Setelah Adam pergi, saya putuskan untuk pulang. Ketika memasuki pintu rumah, saya tidak sengaja mendengar suara ayah serta ibu sedang bicara.

Mengenai perjodohan, mungkin saya akan terima meski keberatan. Tapi mendengar ayah dan ibu akan bercerai, saya tidak bisa terima meski berusaha mengikhlaskan. Sakit cuy.

"Kau pikirlah bagaimana kita sekarang, kalau bukan karna komit dan kita sama-sama kuat, mungkin kita ga akan bisa bertahan." Saya bisa mendengar suara gesekan kertas saat ibu berbicara. Saat diintip, ternyata ibu sedang membuka map. Sekilas saya bisa melihat ada beberapa foto tertempel di sana, seperti cv lamaran kerja. Bedanya itu cv orang-orang untuk melamar saya, banyak juga rupanya.

"Saya mengerti, mangkanya kali ini kita biarkan dia memilih. Umurnya hampir 25, saya cemas kalau Lulu tidak mau menikah."

"Cemas Lulu tidak mau menikah, atau cemas perceraian nya tertunda karna Lulu belum menikah?" Salahkan mulut saya kalau terkesan kurang ajar, sungguh saya keceplosan karna tidak bisa menahan.

"Umur Lulu pun baru masuk 23. Belum 25, ayah salah hitung," kata saya melanjutkan sambil tersenyum. Saya berjalan mendekat, keduanya terdiam mematung di kasur. "Kalau memang ayah dan ibu ingin bercerai — tak apa, lanjutkan saja. Jangan jadikan Lulu sebagai penghalang kebahagiaan kalian berdua," kata saya lagi sembari mengambil alih maps yang ada di tangan ibu.

Demi Penguasa langit dan bumi, dusta kalau saat ini saya tidak emosi. Bahkan saya yakin, mata saya sudah memerah berkaca-kaca, tapi anehnya saya malah tertawa. Beberapa minggu terakhir, saya lupa bagaimana caranya menangis dengan baik dan benar. Alih-alih mengeluarkan air mata seperti kebanyakan orang, saya malah tertawa seperti orang kesetanan.

Sejenak, saya berusaha mengalihkan amarah yang bergejolak dalam dada dengan melihat-lihat biodata serta foto yang tercantum. Beragam bentuk wajah, beragam golongan darah, beragam bentuk pekerjaan dan penghasilan, beragam pula kalimat pemanis yang disuguhkan.

"Cakep-cakep mereka. Kenalan ayah semua, ya?" Saya tersenyum, agak kecut tapi tidak apa asal tulus. "Sayangnya belum ada yang menarik." Entah karna terbawa emosi, tapi memang tidak ada yang menarik di mata saya, sepuluh biodatanya nampak sama. Cuma beda muka dan beda bahasa.

"Pinjam mobil ya, bu? Lulu mau beli bahan. Pulangnya besok." Setelah mengambil kunci mobil dan beberapa pasang baju serta dompet, saya buru-buru pergi dari rumah. Tidak peduli dengan eksistensi adik-adik yang muncul dan menanyakan saya akan kemana lagi padahal baru saja pulang.

Sejatinya saya berbohong pada ibu dan ayah, bukan ke luar kota untuk membeli bahan, tapi saya malah pergi ke kampung untuk menemui nenek.

"Kau kemana?" Saat berhenti di lampu merah, Salsabila menelfon saya via video call. Untuk memudahkan, saya taruh ponsel di stand holder. "Heh tuli kau? Sudah ku izinkan numpang di rumah, pergi tanpa pamit malah kau titipin kunci rumah ke adik mu."

"Sabar dulu Sal, saya lagi di jalan."

"Kau ke luar kota betulan? Hanna bilang kau pergi belanja bahan." Saya sempat tertawa melihat layar ponsel yang menampilkan wajah Salsabila, sepertinya dia belum pulang dari kantor.

"Saya ke tempat nenek ...." Belum selesai bicara, Salsabila sudah menyela duluan.

"Banyak gaya kali kau tukang tipu!" Makinya bersamaan dengan lampu lalulintas yang berubah warna menjadi hijau. Saya langsung membelokkan setir ke arah kanan, mengendarai mobil dengan kecepatan sedang pada pendakian.

"Saya belum selesai bicara, Sal." Saat dilirik, Salsabila berdiam. Dia langsung mengatupkan bibir rapat-rapat. "Saya ke rumah nenek hari ini, besok nya saya ke luar kota, paham?"

Dengan sudut mata, bisa saya tangkap bayangan Salsabila di layar ponsel, dia mengangguk cukup lama. Kentara sekali kalau dia sedang gugup, dia akan mengulang-ulang pekerjaan yang sama, dan bisa saja dia mengangguk sampai lehernya putus.

"Kamu sudah pulang atau bagaimana?"

"Em ... he'em, aku pulang sebentar trus balik lagi ke kantor." Begitu rupanya, pantas dia bisa bertemu Hanna. "Soalnya kerjaanku masih ada dan kau malah pergi, aku engga ada teman kalau mau begadang. Berkas-berkas ini harus di oper ke pemerintahan besok pagi."

Mendengar suara Salsabila dan gaya bicaranya yang cukup berbeda, dia lebih manja dan itu membuat saya terdiam. Alih-alih menatap atau merespon ceritanya, saya malah mengelak. "Sudah dulu ya, nanti saya telfon kalau sudah sampai di rumah nenek," kataku lantas mematikan sambungan video call secara sepihak.

Rasanya Dejavu, meski tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi saya sadar — semesta menjebak saya dalam lingkaran setan. Orangtua akan bercerai, perjodohan saya, rasa takut masa lalu, Salsabila dan Adam — saya harus apa?

***

Shabby Lituhayu Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum