Aku Minta Maaf

6 1 0
                                    

Suara alunan denting—kendati terdengar merdu—memekakkan telingaku lagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Suara alunan denting—kendati terdengar merdu—memekakkan telingaku lagi. Aku berjalan gusar menuju gudang belakang, membanting pintu kayu itu. Nur menembus di balik kaca, menyiram wajah. Mataku menolak peduli. Malah, ia lebih menghiraukan esksistensi bocah sekitar umur 10 tahun di depan piano usang itu. Jari jemarinya yang menaikkan darahku.

Permainan usai seketika saat pintu sempurna terbuka. Dia menoleh. Matanya yang bulat sibuk menyelidikiku di balik poninya yang panjang.

Ariti ....

Dua hari yang lalu.

Aku terduduk manis di halaman rumah, walau mataku tetap saja basah memikirkan ukuleleku yang hilang. Tanpa ukulele, penampilan lomba bernyanyiku tiga hari ke depan tidak akan sesempurna yang kurencanakan.

Sore itu aku hanya minat menonton kegiatan anak-anak kecil yang berlarian sambil terkekeh. Salah satu dari mereka berdiri di depan tiang listrik, menutup mata sambil menghitung. Sebesar apa pun suara anak itu, aku masih bisa mendengar tetangga di samping rumah tampak heboh membicarakan toko alat musik.

Instingku terlalu kuat. Mudah saja aku mengaitkannya dengan ukuleleku yang hilang dengan fakta umum bahwa tetanggaku yang satu itu benci dengan musik.

Cepat aku masuk ke dalam rumah, mencari keberadaan Ibu. Beliau baru saja keluar dari kamar kecil yang berada di samping dapur. Matanya yang sipit terpincing.

"Aku sudah mendengar kebenaran tentang ukulele itu, Bu." Hanya dengan satu kalimat, dimulailah perdebatan panjang. Sekuat tenaga kutahan tangga nadaku, walau ia selalu terulur naik setiap mendengar jawaban Ibu yang terlalu santai. Tiada siapa pun yang akan bisa menahan dirinya untuk mengeluarkan apa pun isi otaknya, presiden sekalipun. Dan satu fakta lagi, ia satu-satunya orang tua murid di sekolah yang berani mengomentari setiap keputusan kepala sekolah sampai apa yang ia inginkan terlaksanakan.

Puncuk kepalaku sudah panas. Dengan putusnya rantai, aku lepaskan lekingan yang membuat Ibu sontak terdiam. Beliau menatapku sejenak, memamerkan manik tanpa cahaya sebelum berlalu pergi meninggalkanku sendiri di dapur.

Anak ini tiba-tiba saja muncul tepat malam setelah aku dan Ibu memutuskan untuk meletuskan perang dingin. Saat itu aku terbangun karena suara alunan musik klasik yang tiba-tiba mengutari mimpi. Dengan senter, aku menyusul ke arah suara. Ruang gudang yang tampak terang, membuatku berpikir bahwa Ibu sedang mencari barangnya yang hilang di sana. Sempatlah terlintas pikiran untuk meminta maaf dengannya.

Alih-alih keberadaan wanita berhidung mancung, malah punggung bocah ini yang muncul di hadapan, bersama piano besar yang entah bagaimana ia angkut itu. Awalnya aku enggan acuh. Kembali ke kamar, menutup diri dalam selimut, harap-harap suaranya dan ia meredup.

Tidak. Aku kembali mengecek gudang dan dirinya lagi-lagi kutemukan. Ia sedang bermain lagu Canon yang memang terkenal itu. Ia menghentikan gerakan jari, melirik ke arahku, mungkin hendak berkenalan. Namun, aku keburu angkat kaki dari gudang.

Aku Minta MaafWhere stories live. Discover now