"Pakainya tuh gini, Januar! Nah, begini baru ganteng!" ujar Abel pada Januar seakan sedang bicara pada anak kecil.

"Ih, aku tuh bukan anak kecil, Kak!" protesnya dengan alis bertaut, membuat Abel terkekeh.

"Bel, bagusan yang hijau atau yang kuning- lah? Kenapa dah muka nih bocah jadi kecut?" Bayu yang mendatangi Abel sambil membawa dua kaus mengerutkan kening saat melihat raut Januar.

"Biasalah, belum dikasih susu," celetuk Abel sambil mendekati Bayu.

"Aku bukan bocah!" ketus Januar sambil berdecak kesal.

"Kuning kayaknya cocok sama lo, Yu," ujar Abel mengabaikan Januar yang mencebik seraya melepaskan jaketnya.

"Ya udah, gue ambil kuning deh." Bayu menyerahkan kaus hijau kembali pada Abel. "Jan, udah belom? Kita waktunya mepet nih, ntar dicariin sama Guntur!"

"Udah, ini langsung bayar ke kasir ya?"

Abel mengangguk, melirik ke arah kasir yang kosong. Agam tidak lagi terlihat di butik. Bia juga sedang menyusun kembali kemeja di gantungan. Abel segera melemparkan kedua lelaki itu kepada Bia.

"Bia, tolong stand by di kasir ya. Ada pelanggan kita mau bayar," kata Abel sopan.

Bia melirik Abel sekilas, tersenyum dan mengangguk. "Mau bayar sekarang, Kak?"

Pertanyaan Bia membuat Bayu dan Januar mengangguk. Keduanya mendekati Bia untuk melakukan pembayaran, sementara Abel meletakkan kembali kaus hijau ke tempatnya. Setelah kedua lelaki itu selesai membayar dan berpamitan kepada Abel, datang lagi pelanggan lain yang langsung disambut oleh Bia. Abel berniat kembali ke tempatnya saat suara Agam tiba-tiba terdengar.

"Kak Abel."

Laki-laki itu muncul dari kamar pas yang letaknya di sebelah kamar pas yang tadi digunakan oleh Januar. Agam mengenakan kemeja yang model kancingnya hanya sampai perut. Ada tali-tali menjuntai yang digunakan sebagai penghubung antara satu kancing dan kancing lainnya. Modelnya agak rumit, sehingga Abel sendiri tidak tahu jenis apa kemeja itu. Ia mengamati Agam yang masih belum memakaikan kemejanya dengan benar. Bagian dadanya masih belum dikancingkan, sementara lengannya kelihatan berantakan.

"Boleh bantu Agam cobain kemeja ini?" pintanya, menatap Abel lekat.

Abel mengedipkan matanya, melirik Bia yang sibuk bicara dengan pelanggannya, juga mencari manajer Agam yang tadi datang bersamanya. Manajer Agam sudah menghilang entah ke mana. Bia sibuk. Hanya ada dirinya. Sial, harusnya Abel melayani Bayu dan Januar sampai selesai tadi. Ia terlalu santai karena mengira Agam sudah pergi.

Perempuan itu memasang wajah kaku, tetapi segera tersenyum dengan formal. Ia sedang bekerja, jadi tidak ada alasan baginya untuk menolak. Abel mengangguk, mendekat pada Agam untuk memasangkan kancingnya. Baru saja mengulurkan tangannya, Agam sudah menarik pinggang Abel supaya mendekat padanya, membawa perempuan itu masuk ke dalam kamar pas yang sempit dan menutup tirainya.

"Ada pelanggan lain. Nanti mereka ngenalin Agam," katanya pelan dengan wajah datar saat melihat mata Abel membulat dan ekspresinya berubah menjadi terkejut.

Abel mengedipkan matanya beberapa kali, kebingungan harus merespon bagaimana. Matanya melirik ke arah tirai yang tertutup, beralih lagi pada Agam yang jaraknya sangat dekat. Ada banyak pertanyaan terlintas di kepala Abel, tetapi ia memutuskan untuk tidak menyuarakannya dan dengan tenang memasangkan kancing kemeja itu dengan rapi dan membenarkan bagian lengannya.

"Selesai," ujar Abel, beringsut mundur, tetapi tubuhnya membentur dinding pembatas kamar pas.

Abel mendongak untuk menatap wajah Agam, mendapati jika lelaki itu sedang mengamatinya lekat. Tatapannya begitu intens, terasa panas dan seakan menguliti Abel. Apa Agam menatapnya begitu selama Abel memasangkan kancingnya? Mendadak saja, kamar pas terasa panas.

"Kancingnya udah selesai," kata Abel lagi dengan nada memberi tahu, berharap agar Agam melangkah mundur dan memberinya jarak.

Alih-alih mundur, Agam menoleh ke arah cermin kamar pas, melirik pantulannya dan Abel yang terhimpit di antara dinding dan dirinya. Agam tidak begitu peduli dengan kemeja yang ia coba saat ini. Kepalanya kembali menoleh kepada Abel, mempertemukan manik legam mereka. Wajahnya kelihatan antara dingin dan kesal, tetapi berusaha supaya tetap kelihatan datar.

"Laki-laki tadi siapa?" Suara Agam terdengar berat, sarat kecemburuan walau Abel sudah lama tidak mendengar Agam cemburu.

Jika lima tahun lalu Agam kelihatan lucu saat cemburu, maka saat ini, lelaki itu kelihatan seperti antagonis kejam yang siap mencabik-cabik tubuhnya. Abel tidak begitu yakin apa yang terjadi pada Agam dibalik layar kamera, yang jelas perubahan Agam terasa nyata.

"Rekan kerja," jawab Abel, menahan napas. "Tolong mundur, aku mau keluar."

"Kak Abel belum selesai bantu Agam lepasin kemeja ini."

Bibir Abel terkatup rapat. Ia menarik napas panjang, mencoba mendinginkan tubuhnya yang mendadak panas. Tangannya terangkat untuk mendorong dada Agam supaya lelaki itu menjauh.

"Biar kupanggil manajermu. Mana dia?" tanya Abel tanpa menatap Agam, beranjak hendak pergi untuk melarikan diri.

Namun, Agam meraih pinggang Abel, menahannya kembali di tempatnya semula supaya tidak bisa ke mana-mana. Sayangnya, Agam tidak memperkirakan kekuatannya. Saat ia mendorong Abel kembali ke tempatnya, tubuh Abel membentur dinding pembatas yang terbuat dari triplek, menimbulkan bunyi duk yang keras diikuti pekikan Abel yang tertahan.

"Apa-apaan!"

"Lepasin kancingnya, Kak Abel," pinta Agam lagi dengan nada berat. "Kak Abel bisa melayani laki-laki tadi dengan baik, tapi kenapa sama Agam nggak bisa?"

Bulu kuduk Abel meremang. Wajah Agam berada tepat di depannya, sementara tangannya menekan pinggang Abel ke dinding kuat. Untungnya, benturan yang Abel alami tidak sakit, hanya berisik saja. Ia menelan ludah, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Agam. Namun, setiap Abel berusaha melepaskan diri, Agam mencengkeramnya semakin erat.

Bukannya tanpa alasan Agam semarah ini. Ia kesal melihat Abel memperlakukan lelaki lain seperti ia memperlakukan Agam dulu. Dan juga, Agam marah karena Abel memilih untuk mengembalikan jaket yang ia pinjamkan lewat Aidan. Padahal, Agam sengaja meninggalkannya dengan tujuan agar dikembalikan langsung oleh Abel. Mau sampai sejauh apa Abel menghindarinya?

"Lepasin, Gam!" desis Abel dengan suara berbisik. "Ada pelanggan lain selain kamu di butik ini!"

Agam tidak mempedulikan ucapan Abel. Mereka masih berada dalam posisi yang sama saat tirai kamar pas di buka oleh manajer Agam. Wajah lelaki itu kelihatan terkejut saat melihat Agam yang sedang menekan tubuh Abel ke dinding. Ia langsung maju, menarik lengan Agam supaya menjauhi Abel. Namun, Agam tidak bergerak dari tempatnya.

"Gam, lepasin!" desis manajernya dengan nada rendah. "Kita lagi di ruang publik. Orang-orang mulai curiga kalau kamu bertingkah kayak gini."

Agam masih diam, menatap Abel lurus. Sementara yang ditatap mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dengan sabar menunggu Agam melepaskannya.

"Gam, please?" mohon sang manajer lagi.

Rahang Agam mengeras. Ia masih belum menyelesaikan percakapannya dengan Abel. Laki-laki itu menunduk, membisikkan sesuatu ke telinga Abel sampai wajah perempuan itu tampak tegang sejenak, lalu buru-buru melarikan diri ketika Agam mengendurkan cengkeramannya.

Agam dahulu sangat manis dan menggemaskan. Siapa yang mengubah lelaki itu jadi seperti serigala begini? Siapapun itu, Abel tahu lelaki itu akhirnya menjadi beringas.

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now