"Nggak ada sendoknya. Kamu naroh sendok di mana?" tanya Lisnia, menatap Abel yang masih mendelik.
"Gue bilang nggak," ketus Abel.
"Jangan keras kepala. Kamu udah berapa kali ngelewatin jam makan? Badanmu lemas, didorong sedikit aja langsung mental," sahut Lisnia santai. "Makan, sebelum kamu pingsan."
Abel tidak menyahut, menatap Lisnia yang masih memasang wajah menyebalkannya. Jika ia berekspresi begini, Abel jadi teringat pada Rasen. Walau ia dan Rasen sangat minim interaksi, tetapi Abel menyadari jika keduanya punya kemiripan yang lumayan signifikan. Lisnia tidak menunggu Abel menjawab, beranjak menuju dapurnya tanpa diminta, mengambil sendok untuk Abel.
"Dimakan!" suruhnya dengan nada seolah tak mau dibantah.
Abel masih ingin menolak, tetapi aroma masakan yang Lisnia bawakan menyadarkan Abel jika dirinya kelaparan. Sejak kemarin Abel melewatkan makan siang dan makan malam karena tidak nafsu. Ia memutuskan lembur kemarin malam karena tidak mau segera pulang. Biasanya, setiap Jumat malam, ia akan bersama dengan Agam atau bertelepon ria dengan lelaki itu. Namun, karena sudah putus, Abel tahu ia akan merasa kesepian dan rindu padanya. Ia juga melewatkan sarapan pagi ini, malah sibuk berberes rumah yang sempat terbengkalai beberapa hari terakhir karena Abel tidak punya niat melakukan apa-apa dan hanya tidur setiap ia ada di rumah.
Mau tak mau, Abel menurut, menyuapkan makanan yang dibawakan oleh Lisnia ke mulutnya. Bekalnya berisi nasi yang sudah dingin, ayam goreng dengan selada dan tempe. Dalam satu suapan, Abel langsung menyadari siapa yang membuatkan bekal itu. Yang jelas, bukan Lisnia.
"Enak nggak?" tanya Lisnia sambil tersenyum.
"Heum," gumam Abel tidak niat.
Lisnia mengamati Abel yang makan dalam diam, masih mengulum senyumnya. Sementara Abel diam-diam mengamati perempuan itu. Penampilannya sangat kacau saat ini. Abel yakin jika dirinya kelihatan seperti gembel jika disandingkan dengan Lisnia.
Mereka tidak bicara sama sekali selama Abel makan. Beberapa kali Abel menarik napas panjang saat makan. Perempuan itu juga kelihatan seperti ingin menangis. Lisnia tidak mengomentarinya. Ketika Abel selesai makan, ia memutuskan untuk mencuci kotak bekal yang dibawakan oleh Lisnia. Juga, ia menyajikan minuman kaleng kepada perempuan itu sebagai bentuk terima kasih.
"Bilang sama Miu, kalau mau masakin gue makanan, langsung ke sini aja," celetuk Abel sambil meneguk air putihnya.
"Ketahuan, ya?" Lisnia menyeringai lebar, membuat Abel memutar bola matanya. Tentu saja ketahuan. Abel sering sekali makan masakan Miu sampai ia tahu rasanya dengan sekali cicip. "Dia khawatir soalnya kamu nggak ngomong apa-apa di grup kalian. Dia mau nanya, tapi nggak enak karena kamu belum mau bilang apa-apa soal situasimu."
Abel mengatupkan bibirnya, menatap tangannya dengan tatapan kosong. Namun, ia baru tersadar jika cincin yang Agam berikan padanya masih belum ia lepaskan dari jari manisnya. Dada Abel sesak lagi. Sial, harus berapa bulan sampai ia lupa soal Agam?
Ia mengusap matanya yang berair, menarik napas panjang dan menatap Lisnia yang memandanginya khawatir. Sekitar dua tahun yang lalu, Abel menangisi Aaron karena ia mencintai Lisnia. Lucunya, hari ini, perempuan itu berada di hadapannya, menemaninya yang menangisi Agam. Padahal, Abel sempat membenci Lisnia sebelumnya karena secara tidak langsung menjadi penyebabnya patah hati.
"Hidup gue lucu banget," gumam Abel pelan, mengulum senyum malas sambil menatap Lisnia yang tampak kebingungan. Untunglah Abel tidak lama-lama membenci Lisnia. Perempuan itu malah jadi orang pertama yang Abel temui pasca putus.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Lisnia pelan dan hati-hati.
"Kelihatannya, gimana?" sahut Abel sarkastis.
Abel kelihatan kacau. Rambutnya yang memanjang kelihatan berantakan. Kulitnya kering dan kusam. Lisnia yakin perempuan itu menangis terus-terusan sampai matanya bengkak begitu. Ia menggeleng.
"Kamu kayak orang gila yang nggak mandi seminggu," ujar Lisnia membuat Abel berdecak kesal. Lisnia hanya tertawa. "Jangan tersinggung, aku ngomong fakta."
Abel hanya menghela napas malas.
"Besok spa sama nyalon, yuk? Aku yang bayarin, anggap aja aku nyogok kamu biar jadi temanku," kata Lisnia. "Aaron biar ditinggal di rumah aja."
Abel menatap Lisnia dengan alis bertaut. "Ogah."
"Ih, kenapa?"
"Lo pasti disuruh Miu buat nemenin gue, 'kan? Gue nggak mau."
"Miu cuma nitip bekal lewat Aaron. Aku yang anterin karena Aaron nggak enak nongol di sini. Lagian, aku bosen banget karena nggak punya temen seumuran di kompleks ini. Kalau sama kamu, 'kan, minimal umur kita nggak jauh-jauh amat dan aku juga tahu kamu."
"Gue mantan pacarnya suami lo."
"Ya terus? Aaron juga nggak pernah cinta sama kamu."
Abel berdecak lagi, memberikan jari tengahnya pada Lisnia yang langsung tertawa. Sialan, perempuan itu harus menyerangnya juga di saat begini?
"Ya? Besok kita hang out bareng! Daripada kamu kayak zombie, mending sama aku aja," bujuk Lisnia membuat Abel mendengkus.
"Lo yang nyetir mobil ya!" ujar Abel, setengah gengsi tapi juga sadar dirinya harus keluar dari rumah.
Lisnia tersenyum lebar. Aaron pernah bilang jika Abel itu mudah didekati dan dijadikan teman. Lisnia sempat ragu tentang ucapan Aaron, tetapi melihat Abel yang dengan mudah mengiyakan ajakannya membuat Lisnia menyadari jika hal itu memang benar. Tidak seperti Miu yang seakan tak tersentuh walau punya wajah ramah, Abel malah lebih mudah didekati.
Sepertinya, Lisnia akan mencuri sahabat Miu juga selain mencuri kakaknya.
"Iya, tenang aja!"
YOU ARE READING
No Strings Attached
RomanceLengkap✅️ [MATURE] Arabella Luda bukan pembuat keputusan yang baik saat ia sadar. Apalagi saat ia setengah tidak sadar. Dan karenanya, mau tak mau Abel harus terlibat dengan Agam Pangestu, brondong tampan dengan tubuh bongsor yang ia renggut kali pe...
