"It's okay, sakitnya cuma sebentar."

Nisha mengangguk. Dia memelukku erat, membuat tubuhku menempel padanya. Aku bergeming, tidak melakukan apa-apa, sampai Nisha bisa mengendalikan diri.

"Sayang..." bisikku.

Tangisnya berhenti. Tubuhnya mulai berhenti bergetar.

Nisha yang pertama menggerakkan tubuhnya, memberi tanda padaku. Aku pun menggerakkan pinggul dan memacu penisku yang berada di dalam tubuhnya. Gerakan pelan dan konstan sampai Nisha lupa akan sakitnya.

Nisha begitu hangat. Begitu rapat. Dia mencengkeram penisku erat. Membuatku menggila dan bernafsu untuk segera memuaskannya.

Gerakanku berubah cepat. Tanpa melepaskan pelukan di tubuhnya, aku memacu penisku keluar masuk liang senggamanya. Erangan dan rintihan yang keluar dari mulutnya membuatku semakin menggelora. Hasratku sudah tak terbendung. Sudah lama sejak terakhir kali aku merasakan tubuh seorang perempuan dan Nisha membuatku begitu bernafsu.

Aku menunduk dan mengalihkan ciuman ke payudaranya sementara gerakan penisku semakin cepat. Aku mendorong hingga sepenuhnya tenggelam dalam kehangatan tubuh Nisha. Aku menciumi buah dadanya berganti-gantian, dan mempercepat gerakanku di tubuhnya.

"Papa, aku mau pipis."

"Pipis aja, Sayang."

Tubuh Nisha menggelinjang. Erangannya terdengar kacau. Berkali-kali dia menyebut "kontol Papa" dan "memek aku", membuatku semakin menggila dalam menggenjot penisku.

"Lepasin aja, jangan ditahan."

Saat aku menghentaknya dalam-dalam, aku merasakan tubuhnya menegang lalu bergetar hebat. Nisha menjeritkan namaku saat orgasme menyapanya. Aku menatap wajahnya yang berkabut karena nafsu. Lalu, senyum merekah di wajahnya saat getaran di tubuhnya berangsur mereda.

Pemandangan yang sangat indah.

Aku mengangkat tubuh hingga berlutut di depannya. Kedua kaki Nisha kuangkat dan kuletakkan di pundak. Aku kembali menghunjamkan penis dalam-dalam, mereguk kenikmatan yang ditawarkannya.

"Papa Tristan..." Nisha kembali mengerang ketika aku menghantamnya. Gerakanku makin cepat, dan Nisha turut menggerakkan tubuhnya dengan irama yang sama.

Ini pengalaman pertamanya. Namun tubuhnya tahu apa yang diinginkannya. Dia meningkahi gerakanku, bergerak seirama, memberikan kepuasan yang tiada tara.

Tubuh Nisha kembali bergetar. "Pa... aku..." dia tidak bisa menyelesaikan ucapan karena aku menghantamnya keras dan dalam.

"Orgasme bareng Papa ya, Sayang."

Nisha mengangguk dengan liar. Rintihannya membuatku semakin memacu dengan cepat. Kejantananku membesar, terasa berkedut dan siap menumpahkan isinya kapan saja.

"Papa..." jerit Nisha. Tubuhnya kembali bergetar saat orgasme itu menyapanya.

Aku memeluknya, menghantamkan penisku dengan liar dan dalam, sebelum aku mengerang dan menuntaskan hasratku.

Aku tidak segera melepaskannya meski tubuhku kembali normal. Aku juga tidak berhenti mencium Nisha untuk menenangkannya. Aku baru melepaskan tubuhku saat penisku kembali ke ukuran normal.

"Sebentar ya." Aku mengecup kening Nisha sebelum beranjak ke kamar mandi. Aku mengambil handuk dan membasahinya dengan air hangat.

Saat kembali, aku terpaku di tengah ruangan saat melihat Nisha tergolek lemah di ranjang. Aku mendekatinya dengan senyum lebar di wajah. Nisha balas tersenyum saat melihatku.

Aku mengusap pahanya, membersihkan sisa-sisa cairanku dan cairannya. Saat itulah aku melihat bercak merah di seprei.

"Darah perawanmu," bisikku.

Woman's NeedWhere stories live. Discover now