Sejak malam itu, pandanganku pada Nisha berubah. Aku sering mencuri pandang kepadanya. Aku bahkan berhasrat pada Nisha.

Seharusnya perasaan itu tidak pernah ada. Dia putriku. Dia masih 17 tahun, sementara tahun ini aku menginjak 40 tahun. Aku tidak seharusnya berhasrat pada Nisha.

Namun, dari hari ke hari, perasaanku makin berkembang.

***

"Pak Tristan, selamat atas kemenangannya."

Aku mengucapkan terima kasih atas ucapan selamat dari rekan di kantor, sekembalinya dari pengadilan dengan kemenangan besar. Langkahku jadi lambat karena ada banyak yang menyalami dan mengucapkan selamat.

"Pak Tristan, ada Nisha di dalam."
Maya, sekretarisku, memberitahu.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku memasuki ruanganku. Nisha menyambutku dengan senyum lebarnya.

Salah satu fantasiku adalah bercinta dengan Nisha mengenakan seragam sekolah.

Mataku melirik dadanya. Seragam itu terlihat ketat, membuat dadanya membusung. Napasku tercekat, saat Nisha menghambur ke pelukanku. Mataku menangkap bokongnya yang tersembunyi di balik rok abu-abu. Rasanya ingin meremas bokong itu.

"Aku dengar Papa menang." Nisha menghadiahiku ciuman di pipi.

Aku menatap bibirnya dengan lama, penasaran bagaimana rasa bibir itu.

Namun, mataku tidak sengaja tertuju ke koper yang disandarkan di dinding.

"Kamu kabur dari rumah?"

Nisha tertawa. "Enggak. Aku udah mulai libur kenaikan kelas. Mama lagi pergi liburan di kapal pesiar sama pacar barunya. Dari pada aku di rumah, jadi aku mau tinggal sama Papa aja. Lagian, aku mau nagih janji Papa."

Keningku berkerut menceran ucapan Nisha.

Nisha, yang menyadari kebingunganku, menatapku dengan wajah ditekuk.

"Papa janji aku boleh magang di sini, jadi asistennya Mbak Maya."

Ah, janji itu.

"Oh itu. Maaf, Papa sibuk jadi belum sempat ngobrol sama Om Hubert. Nanti Papa urus. Paling cepat, kamu mulai kerja minggu depan. Selama tiga minggu?" Ujarku.

Nisha mengangguk antusias. "Makasih, Papa. Terus, aku boleh tinggal sama Papa, kan? Biar bisa ke kantor bareng."

Aku memang merindukan Nisha. Namun, tinggal bersama bukan ide baik. Tubuhku menginginkannya. Selama dua tahun tinggal bersama, aku menekan perasaan itu dalam-dalam.

Namun, aku tidak mungkin mengecewakan Nisha. Di depannya, aku mengangguk.

***

Tinggal bersama Nisha adalah mimpi buruk.

Tiga bulan sejak perceraianku dengan Lia, dan Nisha berubah banyak. Dia tidak lagi suka memakai piyama kekanak-kanakan. Dia tidak lagi menyembunyikan tubuhnya di balik kaus kebesaran.

Malam pertama dia tinggal di tempatku, sepulang dari kantor, Nisha menyambutku dalam tank top pas badan dan celana pendek. Payudaranya tidak lagi bersembunyi.

Bagiku, itu adalah siksaan.

Terlebih, Nisha suka bermanja-manja denganku. Dia tidak tahu kalau pelukannya hanya membangkitkan hasratku untuk segera menelanjanginya.

Puncaknya ketika aku tidak sengaja melihatnya telanjang.

Aku baru pulang dari kantor saat Nisha muncul dari pintu kamar mandi dalam keadaan telanjang. Dia berlari ke kamarnya. Mungkin dia lupa membawa handuk. Hanya sekilas, tapi bayangan Nisha yang telanjang sudah bercokol di benakku.

Woman's NeedWhere stories live. Discover now