Papaku, Kekasihku 1

Mulai dari awal
                                    

Papa mengangguk, membuat senyumku merekah.

"Jadi, sebenarnya apa yang bikin kamu ngambek sama Mama?" Tanyanya lagi.

Aku memberengut. "Begitu menikah, Mama bakal pindah ke Surabaya. Aku enggak bisa pindah, kan sudah semester akhir. Sebentar lagi aku Ujian Akhir. Tapi Mama enggak mau nunggu, kebelet banget mau nikah sama Om Adji. Padahal tiap hari juga ngentot mulu sama Om Adji, ngapain coba kebelet nikah?"

Papa tertawa mendengar gerutuanku. Dia menjawil pipiku pelan. "Omongannya, ya. Sejak kapan kamu omongannya jadi jorok begitu?"

"Please, deh, Pa. Aku udah 18 kali."

Tawa Papa makin keras. "Enam bulan lagi. Sekarang kamu masih 17. Masih kecil."

Aku memberengut, membuat Papa makin geli.

"Jadi, kamu enggak mau pindah ke Surabaya?" Tanya Papa.

Aku menggeleng. "Enggak bisa juga, Pa. Udah mau tamat, mana bisa pindah? Lagian aku kan mau kuliah pertanian di IPB, terus nanti bantuin Papa di perkebunan."

"Ya udah, nanti Papa bujuk Mama biar kamu enggak pindah. Kamu bisa tinggal di sini sampai lulus, tapi sekolahnya jadi jauh." Aku refleks melompat ke pelukan Papa saat mendengar ucapannya. Papa tinggal di Tebet, sementara sekolahku ada di Kemanggisan. Jauh, sih, tapi enggak masalah. Dari pada ikut ke Surabaya.

"Makasih, Papa. You're the best," seruku. Aku mendongak untuk mengecup pipinya, tapi perhitungan waktuku salah. Di saat yang sama, Papa menoleh ke arahku hingga bibirku menyentuh bibirnya.

Aku terkesiap. Aku baru saja mencium ayahku sendiri.

Well, ayah tiri. Technically, my ex step father.

Tapi tetap saja dia papaku.

Aku menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang bersemu merah.

"Sudah malam. Kamu tidur. Papa besok mau ke Sukabumi. Kamu mau ikut?"

Aku mengangguk tanpa berani menatap ke arah Papa.

Perlahan, Papa membantuku turun dari pangkuannya. Aku masih enggak berani menatap Papa.

"Night, Shay." Papa mengacak rambutku sebelum beranjak pergi.

Aneh, karena dadaku jadi berdebar sepeninggal Papa.

***

Perkebunan Papa terletak di desa Sukatani, Sukabumi. Perkebunan itu luas banget, hampir semua warga desa, juga desa tetangga bekerja di sana.

Papa juga punya villa di sana. Tadinya itu villa keluarga. Kalau enggak ditempati, villa itu disewakan.

Kali pertama Papa mengajakku ke sana, aku langsung suka. Udaranya sejuk, beda banget sama Jakarta. Aku suka berlarian dan membantu memetik daun teh. Mama enggak begitu suka di sana. Dia bosan, karena di desa enggak ada hiburan. Well, Mama dan Papa memang beda banget.

Aku menghabiskan siang di gazebo belakang villa yang berbatasan langsung dengan kebun teh. Setelah makan siang, Papa bertemu pengurus kebun untuk meeting. Aku enggak keberatan, malah senang ditinggal sendiri. Sejak kejadian semalam, aku jadi canggung berduaan dengan Papa.

"Kamu di sini."

Aku mengangkat wajah dari buku yang kubaca dan mendapati Papa menuju gazebo. Kalau di kebun, Papa tampil santai. Siang ini Papa cuma memakai celana kargo selutut dan kemeja linen lengan pendek dengan dua anak kancing teratas terbuka, menampakkan dadanya yang berbulu. Papa punya tubuh atletis dan berotot. Aku pernah melihat Papa olahraga di rumah. Saat shirtless, aku melihat Papa punya eight-pack-abs.

Woman's NeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang