You Belong in My Bed 1

Mulai dari awal
                                    

Aku berbalik hingga bertumpu ke lutut dan siku. Aku menjangkau vaginaku, memainkan klitorisku dengan rangsangan konstan dan cepat. Aku tak kuasa melenguh saat hasrat mulai menguasaiku.

Perlahan, aku memasukkan telunjuk dan jari tengah. Dengan posisi seperti ini, aku bisa menjangkau lebih jauh.

Tempat tidurku berderit meningkahi gerakan tubuhku yang makin liar. Jariku menyentuh bagian sensitif di dalam tubuhku, membuatku mulai kehilangan kendali.

Aku meraih vibrator dan mengarahkannya ke selangkangan. Aku memasang getar sedang, lalu menyentuhkannya ke permukaan vaginaku.

"Oh..." aku mendesah saat vibrator yang bergetar menyentuh klitorisku.

Aku melepaskan jari, dan mengangkat tubuh, lalu memposisikan vibrator di bawah tubuhku. Aku memasang getar maksimal. Ketika vibrator berada di dalam tubuhku, vaginaku terasa dicabik-cabik.

Tentu akan lebih nikmat jika aku merasakan penis langsung. Namun aku lebih memilih vibrator ketimbang penis yang tidak bisa membuatku mencapai orgasme.

Gerakan tubuhku semakin liar. Aku meremas payudara dengan kencang untuk menambah rangsangan.

Vibrator tersebut menyentuh titik paling sensitif di dalam tubuhku, menimbulkan gelenyar yang membuatku semakin dekat dengan puncak rasa puas. Aku menghentak vibrator kian dalam sementara ibu jariku tak henti-hentinya mengusap klitorisku.

Dengan satu jeritan tertahan, tubuhku ambruk. Tubuhku menggelinjang saat rasa puas menjemput.

Napasku tersengal-sengal. Aku menurunkan getaran vibrator yang masih berada di dalam tubuhku sampai akhirnya berhenti dengan sendirinya.

Malam itu, aku tertidur dengan senyum puas di wajah.

***

Ada yang berbeda pagi ini, saat aku tiba di meja makan. Bukan cuma orangtuaku yang berada di sana, ada orang asing yang tidak kukenal.

"Ini Eila?" Tanya pria itu. Dia menatapku dengan senyum lebar di wajahnya.

Dia tahu namaku dari mana?

"La, masih ingat Om Gavin?" Tanya Mama.

Aku menarik kursi kosong di sebelah Mama sembari mengingat sosok di depanku ini. Om Gavin. Namanya enggak asing. Tapi aku enggak mengenali wajahnya.

"Eila masih kecil waktu terakhir bertemu aku." Dia menanggapi.

"Kamu, sih, jarang pulang," timpal Mama.

Aku meraih selembar roti. "Aku enggak ingat Om Gavin."

Om Gavin, juga orangtuaku, tertawa mendengar ucapanku.

Berusaha untuk tidak kentara, aku melirik Om Gavin. Tebakanku, dia berusia di akhir 30an atau awal 40an. Dia punya perawakan tinggi dan besar. Yang mencuri perhatianku adalah cambangnya yang lebat, juga tangannya yang ditumbuhi bulu.

Too much hair.

Aku enggak suka laki-laki bercambang. Rasanya risih aja. Aku gatal ingin mencukurnya.

Namun, Om Gavin beda. Justru cambang itu  yang membuatnya makin ganteng. Sekaligus memberikan efek misterius. Cambang itu membuat matanya yang tajam jadi makin menantang.

Tubuhku bergidik saat melihatnya.

"Om Gavin ini adik Mama."

Aku memutar otak mengingat soal adik Mama. Selama ini aku cuma mengenal Om Ilham dan Tante Maya sebagai saudara Mama. Aku enggak ingat Mama punya adik.

"Lupa dia." Om Gavin terkekeh.

"Perasaan Mama pernah cerita. Waktu Mama umur lima belas, Eyang Putri menikah lagi sama Eyang Pur. Nah, Om Gavin anaknya Eyang Pur. Waktu itu, Om Gavin masih lima tahun," jelas Mama.

Woman's NeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang