"Nenek udah lihat ini?" tanya Abel sambil tersenyum. "Agam sekarang makin populer."

Mata Marsiah langsung berbinar ketika melihat wajah Agam di sampul majalah. Agam berpose seakan sedang tidak melihat ke arah kamera, mengenakan setelan jas abu muda tanpa dalaman yang memamerkan otot dada dan perutnya dengan latar merah. Tampilannya modis, kelihatan keren dan juga berkelas. Marsiah meraih majalah itu, mengelus wajah Agam di sana dengan mata berkaca-kaca.

"Cucu Nenek ganteng ya, Bel?" tanya Marsiah kepada Abel dengan nada penuh rasa bangga.

"Iya, Nek," jawab Abel, menyuapkan lagi salad buah kepada Marsiah.

"Tapi, kenapa udelnya dipamerin gini?" keluhnya dengan alis bertaut, membuat Abel tertawa geli.

"Mode, Nek. Kalau di majalah, 'kan, suka disuruh pamer otot. Makanya Agam kemarin badannya gede kayak Rambo," sahut Abel.

Marsiah menggeleng, tidak paham dengan mode yang Abel maksud. Namun, ia ikut tersenyum. Yang penting, cucunya kelihatan sehat. Abel menemani Marsiah lebih lama, berbincang dengannya mengenai apa saja dan berpamitan saat jam besuk bukan untuk wali pasien berakhir.

Kak Abel lagi apa?

Pesan dari Agam baru sempat Abel baca ketika ia selesai mandi dan memakai skincare-nya. Abel membalas pesan Agam dengan senyum senang, berbaring di ranjangnya sambil menunggu balasan. Namun, Agam meneleponnya. Video call lebih tepatnya. Abel mengangkatnya dengan wajah penuh senyuman.

"Kak Abel habis dari rumah sakit?" tanya Agam, kelihatannya sedang sarapan.

"Iya. Aku nemenin Nenek, sama ngasih majalah yang sampulnya kamu," jawab Abel, membenarkan posisi berbaringnya sambil memeluk bantal. "Besok kamu pulang?"

Agam mengangguk di seberang sana, menatap wajah Abel lekat. "Kangen."

Setiap Agam mengatakan jika dirinya rindu, Abel hanya bisa tertawa. Ia tidak bisa membalas jika dirinya juga rindu. Pernah satu kali Abel membalas jika dirinya rindu, dan Agam muncul di rumahnya kurang dari dua jam. Pemuda itu langsung membuat Abel sakit pinggang dan berjalan tertatih-tatih setelahnya.

"Kamu masih banyak kerjaannya, 'kan? Katanya mau ikut audisi casting film?"

Tidak hanya menjadi model, lelaki itu juga mulai dilirik oleh produser film kenalan Aidan. Berkat koneksi Aidan yang luar biasa luas itu, Agam menjadi salah satu rookie paling populer kurang dari setahun. Bahkan, di awal debutnya menjadi model runway, Agam menerima perhatian besar dari publik.

"Tapi Agam kangen banget sama Kak Abel!" Pemuda itu mencebik, bertingkah seakan merajuk. Abel terkekeh.

Ah, kalau saja Agam dekat, ia ingin mencubit pipinya.

"Sabar, Gam. Kalau kerjaan kamu udah beres dan audisinya selesai, aku ke apartemenmu. Nanti, aku masakkin yang kamu suka, sama kita ke rumah sakit sama-sama," hibur Abel membuat Agam langsung tersenyum.

"Bener ya?"

Abel mengangguk.

"Nanti Kak Abel pakai oleh-oleh Agam waktu di apartemen ya?" Agam bersuara lagi, tersenyum dengan wajah malu-malu membuat Abel mengerutkan keningnya.

"Oleh-oleh apa?" tanya Abel bingung, tetapi Agam hanya tertawa malu.

Reaksi Agam langsung membuat Abel menyadari yang dimaksud oleh lelaki itu. Saat Agam datang ke rumahnya bulan lalu, ia juga membelikan oleh-oleh untuk Abel. Bukan oleh-oleh biasa, tetapi lingerie dari victoria secret yang entah bagaimana bentuknya. Agam merengek supaya Abel mengenakannya, ia bahkan membantu Abel memakaikannya juga. Lalu, sepuluh menit kemudian, lingerie itu tanggal dari tubuh Abel, dengan Agam yang dengan keras menghentak tubuhnya seakan mau mengirim Abel ke langit.

Agamnya yang polos sekarang sudah dewasa. Abel kerepotan sendiri mengurusi bayi besarnya yang manja, tapi sudah sanggup mengisi perut Abel dengan bayi sewaktu-waktu.

"Jangan beli yang aneh-aneh, Gam!" omel Abel.

"Nggak mau, ah! Agam mau beli yang banyak. Kak Abel cantik pakai itu soalnya."

Abel hanya mendengkus kesal. Gemas ingin mencubit pipi Agam.

"Kamu udah telepon Nenek?"

"Udah. Sebelum Agam tidur, Agam udah telepon buat ngucapin selamat ulang tahun. Ternyata, Kak Abel juga datang ke rumah sakit waktu Agam tidur."

"Iya. Kasihan Nenek sendirian. Kemarin sempet nge-drop kesehatannya. Untung Nenek cepat pulih."

Agam memasang wajah khawatir di layar ponselnya. Namun, ia segera menutupinya dengan senyum tipis. "Iya. Untung Nenek pulih lagi."

"Hm. Nenek tadi baik-baik aja kok. Nanti aku jenguk tiap hari, sekalian nemenin Nenek selama kamu sibuk. Kamu fokus aja sama kerjaanmu, jangan khawatir nggak ada yang nemenin Nenek. Ada aku."

Abel tidak pernah tahu kalau ucapannya yang penuh perhatian itu selalu berhasil membuat Agam jatuh cinta lebih dalam padanya. Pemuda itu menatap Abel penuh kasih sayang. Kalau dekat, ingin rasanya ia memeluk dan mengecup bibir Abel, menunjukkan kepada sang perempuan betapa ia bersyukur memilikinya.

"Makasih ya, Kak Abel."

"Nggak perlu berterima kasih, Gam," jawab Abel hangat. "Aku ngelakuin semua ini karena aku sayang Nenek juga."

Agam pikir Abel adalah malaikat. Mungkin, Abel memang malaikatnya. Ia tersenyum bahagia, melanjutkan percakapan mereka sampai Abel tertidur. Agam membiarkan koneksi mereka tetap tersambung. Ia menatap wajah Abel yang terlelap dengan perasaan rindu dan kasih. Lalu, memutuskan sambungan telepon setelah merasa puas memandangi wajah kekasihnya. Namun, sebelum memutuskan sambungan telepon, Agam menyempatkan diri untuk membisikkan cintanya kepada Abel.

"Aku cinta kamu, Abel."

Dan sambungan terputus setelahnya.

Note:

Agam lo anjir banget, kenapa sih gue nggak punya brondong kayak lo🙃

*edisi yg nulis yg baper*

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now