"Kamu 'kan, nggak ada salah sama aku," sahut Abel. "Lagian, kita udah sepakat nggak mau mikirin yang kemarin-kemarin lagi, 'kan?"

"Tapi, Agam ngerasa bersalah," cicit Agam tanpa berani menatap mata Abel. Hanya sanggup mengamati tangannya yang bermain di rambut Abel. "Agam sebel sama Kak Abel, soalnya nggak mau terbuka sama Agam. Tapi, kata Kak Aaron, Kak Abel emang mandiri sama jarang cerita soal kesulitan sendiri."

Abel sudah tahu Agam bertemu dengan Aaron dari cerita Miu. Namun, tidak menyangka jika pemuda itu akan mengakui pertemuannya sendiri. Ia masih diam, menunggu Agam meneruskan kalimatnya.

"Agam khawatir kalau Kak Abel merasa Agam nggak bisa dipercaya dan diandalkan. Makanya, Agam ngambek," lanjutnya lagi.

Abel tersenyum, memeluk Agam yang aromanya seperti dirinya karena mereka berbagi sabun yang sama pagi ini.

"Gam, aku ini terbiasa ngelakuin apa aja sendiri. Sebisanya, aku nggak mau ngerepotin orang lain, kecuali udah darurat banget kayak kemarin. Ternyata, itu bikin kamu merasa khawatir, ya?" ujar Abel sambil menunggu reaksi Agam. Pemuda itu mengangguk. "Maaf ya. Aku bukannya mau buat kamu merasa nggak berguna. Aku cuma nggak mau kamu tambah banyak beban aja."

"Tapi, Kak Abel janji, 'kan, kalau ada apa-apa bakal bilang sama Agam? Kak Abel nggak perlu cerita semua, tapi maunya Agam, Kak Abel berbagi aja gimana perasaan Kak Abel."

"Iya, Agam."

"Janji, ya?" Agam mengulurkan jari kelingkingnya, membuat Abel terkikik. Siapa yang masih membuat pinky promise di zaman sekarang? Namun, Abel menautkan jari mereka dengan senyum hangat.

Agam tersenyum puas, memeluk Abel lagi dengan erat. "Tapi, kemarin, kenapa Kak Abel milih nelepon Agam pada akhirnya?"

"Karena aku tahu, kamu pasti datang."

"Eum. Agam pasti datang, mau Kak Abel ada di mana pun." Ia mengecup pipi Abel malu-malu. "Jadi, kalau ada apa-apa, cari Agam ya?"

Abel mengangguk. Ya, saat ini, sosok yang akan selalu sedia dalam keadaan daruratnya sudah bertambah. Selain orang tuanya, Agam masuk ke daftar nomor dua.

Bel pintu rumah Abel berbunyi, membuat pembicaraan mereka terhenti. Abel melepaskan pelukannya dari Agam dengan wajah bingung, hendak bangun untuk menerima tamu yang datang. Namun, Agam segera mencegahnya.

"Biar Agam aja," kata Agam, lalu segera bangun dan keluar dari kamar Abel untuk membuka pintu.

Abel menunggu Agam yang tak kunjung kembali dalam sepuluh menit. Siapa yang datang sampai Agam lama sekali menerimanya? Ia sudah berniat bangun dan menyusul ke ruang tamu, saat Agam masuk ke dalam kamar lagi dengan wajah merengut.

"Kak Abel, ada Kak Aidan," ujarnya membuat Abel langsung bangun dan melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu.

Seperti yang dikatakan Agam, Aidan datang ke rumahnya, membawa banyak sekali kantung belanjaan dan tas karton.

"Muka lo basi banget, kayak sayur kemarin!" komentar Aidan membuat Abel mendengkus, duduk di sofa yang bersebarangan dengannya sambil mengerutkan kening. Laki-laki itu seperti pernah lihat makanan basi saja!

"Ngapain ke sini?" tanya Abel, menatap heran pada barang-barang yang Aidan bawa.

"Disuruh sama Bungsu. Dia nyuruh kasih humidfier, cara penggunaannya lihat di kardusnya aja ya. Terus ada vitamin, obat, ada buah juga, sama makanan. Oh, dia nyuruh kasih peralatan mandi sama baju buat Agam, katanya Agam nginep di sini." Aidan melirik penampilan Agam sekilas, beralih lagi pada Abel. "Lo nggak sakit karena kebanyakan main kuda-kudaan, 'kan?"

Pertanyaan Aidan langsung membuat Abel menatapnya dengan mata berlaser. "Heh!"

Aidan tertawa lebar, mengangkat tangannya tanda tidak akan meledek Abel. Ia dan Aaron memang benar-benar kembar sejati. Tingkahnya saja hampir mirip. Untung wajah mereka beda!

Abel menghela napas, menggeleng pelan melihat betapa banyak barang-barang yang diberikan oleh Miu. "Gue cuma sakit flu aja, bukan mau lahiran atau sakit parah."

"Ya kalau sakit flu, emang harus dikasih beginian, 'kan?" sambar Aidan dengan wajah heran, membuat Abel menatapnya malas dan berdecak.

Abel selalu saja lupa kalau ia bersahabat dengan orang kaya. Waktu Sara masuk rumah sakit karena vertigo saja, Miu langsung memberinya berbagai macam vitamin dan buah-buahan yang harganya bukan seperti buah di pasar tradisional. Untung saja Abel tidak vertigo, karena kalau vertigo, ia pasti pingsan melihat betapa banyak barang yang dibawa Aidan. Membuat kepalanya pusing saja.

"Serah lo deh, para orang kaya!" sahut Abel sekenanya.

"Oh, sama lo mau dipanggilin dokter, nggak? Gue punya kenalan dokter, apa gue langsung suruh ke sini-"

"Nggak, nggak, nggak! Udah, gue nggak apa-apa. Paling cuma istirahat, sama minum obat, sembuh gue!" cegah Abel cepat.

"Beneran? Bungsu soalnya nyuruh mastiin lo baik-baik sih," kata Aidan melirik Agam yang merengut agak cemburu dan was-was pada Aidan sepanjang pembicaraan mereka. Lelaki itu menyeringai jahil. "Tapi, nggak jadi deh. Biar Agam aja yang ngurus lo. Gam, jangan disuntik ya, Abelnya."

Agam yang merengut langsung memasang wajah bingung saat Aidan bicara padanya dengan nada bercanda. Sementara Abel berdecak kesal, memahami arah pembicaraan Aidan yang otaknya rusak. Sama saja seperti Abel, tetapi Aidan lebih tidak tahu tempat.

"Disuntik kenapa? Kok Agam yang nyuntik?" tanyanya bingung.

"Itu, Gam. Disuntik tapi nggak pakai baju. Nanti tambah demam si Abel." Aidan menyeringai konyol.

Agam masih bingung, sampai ia melihat ekspresi wajah Aidan, barulah ia merah padam. Abel langsung mendelik pada Aidan yang tertawa puas saat melihat wajah malu Agam.

"Lo pergi deh, Kak! Omongan lo nggak beres!" omel Abel, berdiri hendak memukul Aidan.

Lelaki itu buru-buru bangkit dan menjauh. "Ya, lo cuma berdua di rumah. Mana cewek-cowok lagi."

"Nggak usah mikir aneh-aneh. Pergi lo!" usir Abel jengkel.

Aidan tergelak. "Ampun, galak banget! Ya udah, gue balik dulu deh. Gam, kalau udah sempet, jangan lupa nge-gym! Dua minggu lagi pemotretan majalah lo. Sama, jangan sampe ada cupang ya! Kalau di tempat tertutup, gue nggak masalah sih."

"Kak!" pekik Abel jengkel.

Aidan terbahak dan langsung pergi setelah puas menggoda keduanya. Abel mendengkus, langsung kehilangan energi setelah ditinggal oleh Aidan. Sementara, Agam masih merah padam sambil menatap Abel yang mencoba membereskan barang-barang yang dibawa Aidan.

"Bi-biar Agam aja, Kak Abel," bisik Agam tergagap, lalu buru-buru membereskan meja tamu yang berantakan tanpa berani menatap atau mendekat pada Abel.

Padahal, beberapa menit yang lalu, mereka masih berpelukan mesra di ranjang Abel. Aidan memang kompor, mirip adik bungsunya yang sama kompornya. Abel mendesah lemas, tidak punya tenaga untuk mengomel lagi dan membiarkan Agam membereskan semuanya.

Tingkah Agam menjadi aneh karena malu, membuat Abel ingin menendang Aidan jika ia punya kesempatan suatu saat nanti. Walau demikian, Agam yang malu-malu dan salah tingkah ternyata lucu juga. Abel jadi gemas.

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now