24. Letupan Bahagia

Magsimula sa umpisa
                                    

Jadi inisiatif Renan ini juga menimbulkan letupan kasat mata yang hadir dalam hati Karin. Laki-laki ini masih manis. Masih sama seperti yang Karin temui semasa SMA dulu.

“Oh…iya?” Karin tidak mau menyangkalnya karena ia sendiri juga sadar kalau akhir-akhir ini sikapnya jadi lebih banyak diam. “Biasa aja. Perasaan lo aja kali.”

“Kalau itu emang karena gue, gue cuma mau bilang. Jangan merasa keganggu. Kan, sebelum ini kita juga udah pernah sama-sama saling memaafkan. Jadi anggap aja kalau kita hanya temenan.” Sayangnya itu susah. Dan Karin masih mencobanya hingga saat ini.

“Makasih,” jawab Karin setelah Renan mengangsurkan kembali makanannya.

Setelah kejadian ini, keduanya makan dengan hening. Tak ada lagi percakapan, Renan dan Karin seperti hanyut dengan rasa enak yang menyambangi lidah mereka tanpa tahu bahwa salah satunya merasakan pompaan jantung yang menggila. Yang sudah beberapa tahun terakhir tak ia rasakan.

**********


Ajeng termenung di dalam kamar seorang diri. Pasca sepeninggalan Renan dan Karin yang pergi ke puskesmas terdekat, ia jadi merasa bersalah. Seandainya ia tak terlalu kepo dengan hubungan ketua dan sekretarisnya itu, pasti sekarang Karin baik-baik saja. Apalagi luka di tangan Karin sepertinya cukup parah.

Ya Tuhan, kenapa hal ini bisa terjadi? Tanyanya dalam hati.

Jev mengetuk pintu kamar yang terbuka, mengalihkan perhatian Ajeng yang melamun sedari tadi. Laki-laki itu mendengar permintaan maaf Ajeng sebelumnya terhadap Karin—yang artinya secara tidak langsung Ajenglah penyebab kecelakaan kecil tersebut.

“Diem aja, nggak mau gabung sama yang lain di luar?” tanya Jev sembari tersenyum sumringah.

“Eh, elo Jev. Gue mager,” balas Ajeng dengan kekehan yang sengaja ia keluarkan. “Kenapa? Lo ada perlu sama gue?”

“Gue boleh masuk?”

“Boleh, sini.”

Jev memasuki kamar itu, tentu saja dengan keadaan pintu yang terbuka lebar. Takut-takut kalau ada yang salah paham jika pintunya tertutup. Dengan langkah yang tak terlalu lebar, Jev duduk di sisi Ajeng. Perempuan itu juga terlihat bergeser, memberikan tempat agar Jev bisa duduk leluasa di sana.

“Gue tahu apa yang lagi lo rasain saat ini. Nggak usah terlalu ngerasa bersalah begitu. Kan, sekarang Karin lagi dibawa sama Renan ke puskesmas. Semoga nggak ada apa-apa.”

“Tapi gue nggak enak sama Karin. Lo tau nggak seberapa merahnya tangan Karin tadi? Gue kalau jadi dia kayaknya udah nangis.”

“Udah gapapa. Coba lo chat Karin, siapa tahu dibales, kan.”

“Nggak ada signal.”

Di pedesaan tempat KKN mereka ini memang susah signal. Kadang ada kadang tidak ada. Jadi kalau ada signal, para anggota KKN Desa Weringin selalu memanfaat itu, entah untuk mengabari keluarga, kekasih atau hanya sekedar membuka sosial media masing-masing.

Ngomong-ngomong soal kekasih, Jev jadi ingin tahu apakah perempuan cantik yang duduk berdua dengannya ini sudah memilikinya atau belum. Jev kadang berpikir, mana mungkin cewek secantik Ajeng tidak memiliki pacar. Sudah pasti banyak laki-laki yang mengantri untuk mendapatkan hatinya. Memikirkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. Apalagi mendapatkan pengakuan dari Ajeng sendiri. Mungkin Jev akan galau tujuh hari tujuh malam.

“Jeng, gue boleh nanya sesuatu nggak?”

“Boleh. Emang mau nanya apa?”

“Tapi kalau lo nggak mau jawab nggak apa-apa sih, mungkin ini sedikit bersifat pribadi buat beberapa orang. Nggak masalah kalau lo milih buat nggak ngasih tahu ke gue.”

Dear, KKNTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon