10 | teluh darah

4.2K 835 159
                                    

Yang masih setia mantengin updetan, absen dong. 

Pengen rajin update kalo banyak yang nungguin. :(


Zane menyesal tidak pernah bertanya-tanya pada Sabrina, mengenai apa saja yang terjadi antara cewek itu dengan Bimo semasa mereka magang. Alhasil, sekarang dia terbakar api cemburu membayangkan kemungkinan terburuk.

It is not that he has the right to complain, since he was pretty amoral back then too. But he can help but cry his heart out.

Semoga, melihat polos-polos oncomnya Sabrina, dia dan Bimo adalah tipe yang lurus-lurus saja pacarannya, walau agak mustahil.

Sulit tidur maupun fokus mengerjakan segala hal, Zane mencoba berpikiran positif sepanjang rentang antara hari di mana dia gagal bertemu teman-temannya di gazebo depan perpus hingga hari keberangkatannya ke Bali. Tapi sulit. Pasalnya, Bimo dan pacarnya—read: pacar Zane—berencana berangkat seminggu lebih awal dibanding yang lain, karena jadwal UAS mereka berdua cukup padat, hingga bisa selesai lebih cepat dibanding durasi dua minggu yang disediakan universitas. Stres nggak tuh? Membiarkan Bimo seminggu hanya tinggal berduaan dengan Sabrina, jadi apa tuh cewek?

AAARGH!! Zane hampir gila rasanya.

Seolah masih kurang greget, ketika Zane hendak membeli tiket untuk Jumat sore, tepat pada hari terakhir UAS-nya, dengan tanpa rasa bersalah, neneknya mengatakan bahwa dia harus ke Bogor sore itu, hingga dia terpaksa memilih tiket malam hari. Demi acara tidak penting pula: farewell party untuk salah satu sepupunya, Baby, yang akan berangkat ke Philadelphia Senin depan.

Yep, she's attending UPenn this year.

Tidak, Zane tidak iri. Bahkan jika semua orang dalam keluarganya lulusan kampus US, kecuali dia seorang.

"Boleh nggak sih kalau aku skip aja? Agendaku di Bali juga nggak kalah penting lho. Internship, bukan liburan. Lagian, aku sama tuh anak juga nggak akrab-akrab amat. Nggak bakal dia nyariin kalaupun aku nggak datang." Zane mencoba memprotes. "Mentang-mentang aku nggak masuk Ivy League, jadi dicucu tiriin."

"Hush. Banyak omong ya kamu. Bali kan deket. Kalau berangkat Sabtu atau Minggu, masuk Senin pagi juga masih keburu." Nenek nggak mau dibantah. "Pokoknya Oma tunggu. Terserah mau bareng papamu atau berangkat sendiri-sendiri. Jangan lupa bawa kado."

Astaghfirullah hal adzim. Zane mengacak-acak mukanya sendiri, segera mengambil wudhu. Katanya, doa orang yang terzalimi lebih gampang terkabul, kan?


~


Naas, pada hari H, ayahnya tidak bisa muncul.

Dengar-dengar, calon ibu sambungnya sedang dirawat di RS. Otomatis Zane tidak bisa pulang cepat karena hanya dia saja yang menjadi perwakilan dari keluarganya.

"Udah otw, belum?" Ismail bertanya lewat telepon, ketika Zane duduk di pojokan ruang keluarga rumah neneknya, mengamati sang sepupu sedang tertawa bahagia dikelilingi sanak saudara. "Gue sama Agus udah nunggu di depan gate, nih."

"Belum. Kalian berangkat duluan aja. Gue nyusul pakai midnight flight."

"Hah? Nggak kekejar, emang? Lo berangkat dari mana, sih?"

"Bogor."

"Bangke!" Ismail berseru, antara kaget dan emosi. "Ya udah, terserah."

Lalu, sambungan terputus begitu saja. Nggak ada sopan santun memang teman-temannya ini. Dikira Zane membatalkan janji dengan senang hati apa? Dia juga kesal tau!

"Yang masuk RS, siapanya Bang Roger?"

Selesai dengan Ismail, tiba-tiba Zane mendengar kasak-kusuk.

Seorang tante jauh bertanya pada neneknya.

"Pacarnya." Nenek menjawab singkat dan percaya diri.

"Wiiih." Sang tante melirik Zane. "Orang kantor, partner bisnis, atau kenalan temen? Namanya siapa?"

"Lawyer. Anak emasnya Stevanus—Sony—Setiawan & Partner." Nenek menjawab singkat lagi, tak lupa menyebutkan salah satu top tier law firm di Asia Pasifik, yang kebetulan didirikan oleh orang Indonesia.

"Wiiih." Sekali lagi sang tante melirik Zane. "Calon mama tirimu keren tuh. Udah pernah ketemu?"

"Udah. Cantik, cerdas, dan classy banget, sekilas mirip Laura Basuki. Baguslah cewek high quality kayak gitu mau sama keluarga kita, biar memperbaiki keturunan." Zane menjawab asal demi tidak ditanya-tanya lagi. Dalam hati berdoa, semoga pacar ayahnya betulan sesuai dengan deskripsinya, supaya dia tidak perlu menjilat ludah sendiri.


~


Setelah melewati perjalanan penuh perjuangan, Zane tiba juga di villa yang dituju di Canggu pada pukul tiga dini hari.

Kalau sebelumnya dia ingat dia menumpang di kamar Agus karena kamarnya sendiri di lantai dua belum bisa ditempati, kali ini Zane bersikeras akan langsung naik saja.

Villa sudah hening ketika dia membuka pintu dan melangkah masuk. Tidak ada seorangpun keluar untuk menyambut kedatangannya, tapi Zane sudah terbiasa.

Tanpa menyalakan lampu ruang tamu, dia melangkah ke tangga.

Ketika tiba di depan kamar Bimo dan Sabrina, barulah suara pertama di villa itu terdengar.

Zane mendesah pelan. Ingin sekali rasanya mengetuk pintu itu, tapi dengan alasan apa?

Dengan langkah berat, dia hanya bisa berjalan menuju kamar sebelah dan menjatuhkan diri di ranjang yang kasurnya masih bugil, belum terpasang sprei.

Kedua matanya terpejam, tetapi telinganya berdiri, siaga menangkap segala suara.

Tapi rupanya, mentalnya tidak sekuat itu.

Mendengar suara cekikikan Sabrina, seolah perempuan itu sedang kegelian, dengan air mata bercucuran, Zane kabur ke kamar Agus.

Ya Tuhaaan, apa yang telah diperbuat Bimo pada pacarnya???


#TBC

#notdatingyetWhere stories live. Discover now