Chapter 03

12 1 0
                                    


Sudah tiga hari Prima tidak bisa menghubungi Yosa. Terakhir kali ia cerita tentang perjodohannya dengan Isha. Bosan sekali, rasanya ada yang kurang. Biasa ada yang temani chat sekarang tidak ada. Ia berkali-kali membuang napas. Mama Papa sedang tidak ada di rumah, Amora juga sedang tidak bisa diganggu. Garaaaa... Ia terlalu takut untuk sekedar mengirim pesan singkat.

Bel tiba-tiba berbunyi. Siapa kira-kira? Ahh! paling juga pengemis. Tapi mungkin saja salah satu yang tadi sempat ia pikirkan. Mendadak jantungnya berdegup kencang.

"Lama banget sih!" Gara rupanya. Laki-laki itu nyelonong masuk sembari membawa kresek yang entah berisi apa. Prima hanya mengikuti. Mengizinkan Gara mengobrak-abrik isi dapur untuk mencari piring dan sendok.

"Siomay kesukaan lo," katanya.

Senyum Prima mengembang. Senang sekali rasanya, Gara yang dulu sudah kembali. Yang selalu perhatian tanpa pernah diminta. Ia tak ingin masalah seperti tempo hari terulang. Membuatnya harus menahan rindu dan harus memasang tembok tinggi demi rindunya itu.

Terhanyut ke dalam pikiran masing-masing bukanlah yang ia inginkan. Cerocosan Gara, gombalan dia, Prima ingin mendengar itu sekarang. Bila perlu kecupan di pipi yang dulu selalu dibencinya.

"Yosa gimana?" Prima melirik Gara yang akhirnya bersuara. "Lo beneran mau nikah sama Isha?" Yang bisa ia jawab hanya gelengan lemah.

"Bantu gue, Gar."

"Kita kawin lari aja. Gue janji bakal bahagiain lo." Gara serius dengan ucapannya tapi Prima ragu. Tidak, lebih tepatnya ia tidak mau.

Siomay yang baru masuk sesuap ke mulut terasa hambar. Gara masih setia menatap Prima menanti sebuah jawaban. Berbeda dengan gadis itu yang justru hanya menatap isian siomay-nya.

Ini perihal ballet dan laki-laki itu, Yosa. Pikiran Prima menjadi sangat kalut. Dua ribu delapan belas di sebuah cafe dengan garis wajah tegas Prima menentang keras untuk menikah. Memilih mengadopsi anak dan hidup bahagia dengan anak yang bukan darah dagingnya. Saat itu belum ada Yosa. Kini ucapan itu sudah mulai goyah hanya karena satu laki-laki yang tidak diketahui bentuk dan rupanya.

"Habisin. Gue anter lo latihan," kata Gara menyadarkan Prima.

"Nggak usah," tolak Prima.

"Kenapa?" Tidak biasanya Prima menolak.

"Ada Isha."

Pantas saja. Padahal sudah menahan diri dari kata sakit yang membuat uring-uringan. Televisi di depannya ingin sekali ia lempar ke dinding sampai hancur tak berbentuk. Perabot-perabot yang berjejer di sudut ruangan itu juga ingin ia pecahkan.

Gara bangkit. "Yuk. Gue juga kangen sama pelatih lo."

"Gue siap-siap dulu."

Ia kembali duduk menunggu Prima bersiap-siap. Menyeka sudut mata yang basah karena keringat atau mungkin... Air mata. Dia sudah tidak bisa membedakan itu.

Gadis-gadis yang terus menelpon tak berniat ia ladeni. Tujuh puluh tujuh panggilan tak terjawab dan hampir dua ratus pesan belum ia buka. Sadar atau memang sedang tidak mood. Dia sendiri bingung.

"Yuk! Gue udah siap," ajak Prima yang baru turun.

Menelisik matanya dari atas ke bawah. Hanya dengan baju dan celana seadanya Prima tetap terlihat cantik. Apa semua balerina secantik ini? Jika memang iya, Tuhan pasti sudah meniupkan sosok bidadari.

***

Asal tau saja, ruang latihan ada di lantai empat yang mana harus naik lift. Dan untuk naik lift harus melewati lobby tempat orang keluar masuk. Mau itu tamu yang sekedar singgah atau tukang ojek online sekalipun. Berpapasan dengan Isha sebenarnya suatu hal yang wajar mengingat laki-laki itu bekerja di sana. Yang tidak wajar itu saat mereka berpapasan dan salah satunya pura-pura tidak melihat.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 07, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ujung Dunia Where stories live. Discover now