6•Rainy

183 76 7
                                    

•𝙋𝙖𝙢𝙞𝙩•
~𝓞𝓬𝓱𝓪𝓷𝓼~

Sore itu, Namira mengistirahatkan dirinya sejenak sebelum kembali bekerja. Seharusnya ini menjadi jam pulangnya dan langsung bersantai ria menikmati senja yang sendu.

Namun bayangan untuk bersantai pupus, kala temannya memohon untuk menggantikan shift-nya. Hanya Namira harapan terakhir, karena malam minggu yang pasti ramai.

Agaknya malam ini akan hujan lagi. Perkiraan Namira sekilas menatap langit.

Waktu terasa berjalan begitu cepat, isi pikiran tak lagi bayang tentangnya. Setidaknya, Namira merasa lega meski masih tersimpan rindu.

~••~••~••~

Terasa kondisi kafe lenggang, Namira beranjak kebelakang menuju dapur.

Bertepatan dengan itu, lonceng pada pintu berbunyi. Jerome kembali datang membawa harapan dapat bertemu.

Sibuk jadwal sebagai mahasiswa semester akhir membuat Jerome tak memiliki waktu seleluasa malam.

Jika beberapa hari lalu ketika tak menemukan Namira ia memilih pergi, kini ia memilih duduk di lantai atas dan menikmati malam sendirian.

Lama ia terduduk diam, menikmati sepoi angin juga view lampu kota saat malam. Ponselnya menyala saat sebuah pesan masuk yang menyuruhnya untuk segera pulang.

Beranjak menuju kasir membayar pesanannya, Jerome melihat jam dinding yang menunjukkan sebentar lagi waktu cafe tutup.

Memasuki mobilnya yang terparkir cantik, Jerome tak juga kunjung pergi dari situ dan memilih untuk membalas pesan dari teman-temannya. Jerome hanya mengikuti kata hatinya untuk tidak segera pergi.

~••~••~••~

Sedangkan Namira sendiri, pamit pulang lebih dulu dan untungnya teman-temannya langsung mengerti karena ia pasti double lelah mengambil full shift hari ini.

Gemuruh guntur terus bersahutan disertai angin kencang meniup pepohonan disekitar. Tak lagi berpikir untuk menikmati hujan malam ini, ia hanya ingin segera sampai di rumah.

Baru sampai di parkiran, hujan sudah menumpahkan tangisnya. Namira mengenakan tas sebagai pelindung kepalanya meski percuma karena pakaiannya sudah setengah basah. Bersiap untuk menuju halte tuk berteduh, sebuah payung melindunginya.

Mata terbelak melihat Jerome yang memayunginya, terdiam saling menatap di bawah payung yang sama.

Sampai suara petir yang menggelegar membuat mereka tersentak. Jerome langsung merangkul pundak Namira, membawanya masuk mobilnya.

Melihat Namira yang mulai menggigil, Jerome langsung mematikan AC mobil dan melepas hoodie yang dikenakannya.

Peka Namira masih merasa dingin, Jerome mengambil minyak telon bayi yang Mami-nya siapkan.

Membalurkan pada dua telapak tangan Namira dan berakhir menggenggam dengan harapan dapat menambah rasa hangat Namira.

Benar saja, bukan hanya tubuhnya yang menghangat tapi juga pipi dan hatinya yang terkesan dengan perlakuan Jerome.

"Sudah? Gak sedingin tadi?" tanya Jerome memastikan sambil menyodorkan tisu.

Namira hanya mengangguk dan dengan tangan bergetar mengusap wajahnya yang meninggalkan buliran air hujan.

Merasa Namira sudah cukup membaik, Jerome langsung menyalakan mobilnya dan tanpa kata membawa Namira beranjak dari sana.


Dalam perjalanan penuh keterdiaman mereka, hanya terdengar suara guntur yang semakin kencang bersahutan.

Namira terus memejamkan matanya, ia yang semula tenang mulai ketakutan dengan suara alam yang sedang berseteru.

Jerome menyadari itu, dan sebenernya ia juga takut untuk kembali melaju. Memutuskan untuk berbelok singgah di warung langganan sang Mami.

"Mampir sini bentar sambil nunggu petir gak begitu ribut mau? Ketar-ketir juga aku dengernya."

"Gak papa kok."

"Sambil nemenin aku makan gimana?" tanya Jerome masih dengan posisi berdiri untuk memesan makan.

"Kenapa gak sekalian di cafe tadi?"

Jerome terdiam memikirkan alasannya.

"Lapernya baru sekarang, lagian momennya pas lagi dingin juga pas banget kita singgah di warung rawon."

Namira tak lagi membalas dan membiarkan Jerome ke depan memesan makan.

"Kamu pulang telat gak papa kan? Takut dicariin aja anak gadisnya kok gak pulang-pulang."

"Aku bahkan gak yakin ada yang khawatir." Namira terkekeh miris, tanpa melihat kearah Jerome yang menatapnya tak enak.

"Maaf."

Untung kecanggungan itu tak bertahan lama karena dua porsi rawon dengan asap yang masih mengepul terhidang di hadapan mereka.

"Ini nasi rawon favorit Mami ku, kamu harus cobain. Aku jamin pasti suka."

"Iya, makasih."

•𝙋𝙖𝙢𝙞𝙩•
~𝓞𝓬𝓱𝓪𝓷𝓼~

Pamit✓ [TERBIT]Where stories live. Discover now