first love - 9

17 5 6
                                    

Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah kami dulu. Karena hari ini adalah hari libur, aku bisa bebas pergi tanpa harus bolos. Penasaran, anakku juga ingin ikut. Meskipun hari libur, sekolah tetap ramai. Banyak murid yang sedang menjalankan kegiatannya. Di gerbang masuk, seorang satpam mencegatku dan menanyai namaku. Setelah mendengar namaku, dia menyerahkan sebuah amplop surat putih.

Apa ini? Aku tidak akan bertemu langsung dengannya di sini?

Aku pun membuka amplop itu dan membaca isi suratnya. Di dalamnya, terdapat nama sebuah rumah sakit beserta alamatnya, lengkap dengan nomor kamar. Tiba-tiba aku gugup. Apa maksudnya? Apakah dia di rumah sakit itu? Untuk mencari tahu, aku dan anakku segera pergi ke sana. Cukup jauh. Kami perlu menempuh perjalanan dengan kereta selama setengah jam. Setelah sampai stasiun, kami masih harus berjalan kaki 10 menit.

Akhirnya kami sampai juga. Tanpa berpikir panjang, kami langsung naik menuju kamar yang tertera dalam surat tadi. Di depan kamar terdapat sebuah papan nama pasien. Namanya terpampang di sana. Aku memegangi dada dengan tangan kananku. Rasanya jantungku berhenti berdetak beberapa detik. Sadar aku gugup, anakku menggenggam tangan kiriku. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi dia berhasil menenangkanku. Dengan demikian, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dari dalam. Seorang wanita muncul dari baliknya. Aku menutup mulutku tanda tidak percaya. "Tante?"

Wanita itu, mamanya, tersenyum padaku. Matanya berkaca-kaca. "Akhirnya Tante tahu cara mengontak kamu."

Belum ada apa-apa, aku sudah kehabisan kata. "Maaf, aku-"

"Masuk, sini." Beliau memotong ucapanku dengan mempersilakan kami masuk.

Di dalam kamar terdapat sebuah sofa kecil. Di depan sofa tersebut terdapat sebuah meja kopi. Di dinding depan sofa tergantung sebuah TV yang cukup besar. Di bawah TV terdapat kulkas kecil dan dispenser air minum. Di pojok kamar terdapat lemari berukuran sedang. Kamar itu juga dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Di tengah kamar terdapat sebuah ranjang pasien. Seorang pria berbaring di sana dengan mata tertutup. Aku berjalan mendekati ranjang untuk melihat lebih jelas.

Itu dia. Pria yang wajahnya selalu aku rindukan. Pria yang aku tunggu kedatangannya bertahun-tahun silam. Pria yang aku kira sudah tiada. Pria yang lagunya pernah aku nyanyikan. Cinta pertamaku.

Matanya terpejam rileks. Fitur wajahnya tidak banyak berubah. Aku masih bisa mengenalinya. Tangaku perlahan bergerak menggenggam tangannya. Aku tidak mendapat respons apa pun selain napasnya. Aku mundur selangkah dan membalikkan badanku. Menatap mamanya dengan tatapan meminta penjelasan.

Kami pun duduk berdua di sofa, sedangkan anakku keluar kamar agar tidak menginterupsi. Beliau menceritakan padaku bahwa dia selamat pada kecelakaan waktu itu. Namun, dia mengalami gegar otak akibat benturan yang sangat keras pada kepalanya. Dia juga kehilangan banyak darah akibat terkena pecahan-pecahan kaca. Dia tetap bertahan hingga dibawa ke rumah sakit. Para dokter berhasil menghentikan pendarahannya. Bukannya pulih, dia malah terlelap dalam koma yang panjang. Sangat panjang hingga saat ini belum terbangun. Beliau bercerita bahwa dia beberapa kali suka menggerakkan jarinya. Namun, tidak pernah ada gerakan lebih lanjut setelah itu. Dokter belum pernah menangani pasien dengan koma selama itu. Tante beberapa kali ingin menyerah dan merelakannya, tetapi di satu sisi ingin menunggu keajaiban. Itulah alasan dia masih berbaring di rumah sakit ini. Jika Tante sudah menyerah, pasti tubuhnya sekarang sudah menjadi abu entah dimana.

"Maaf. Aku baru tahu semuanya sekarang. Waktu itu aku gak punya keberanian buat cari tahu kabar dia," ucapku sambil menundukkan kepala.

Beliau bergeleng dan menggenggam tanganku. "Enggak. Tante juga salah karena gak menghubungi kamu lebih awal. Tante gak tau cara mengontak kamu waktu itu."

Ucapannya mengingatkanku pada siaran radio semalam. "Terus, siaran radio kemarin...Tante yang kirim?"

"Maaf, ya, Tante terpaksa bohong sedikit," jawabnya dengan anggukan, "Kemarin Tante bongkar barang-barang lama dia. Tante yakin pasti ada setidaknya satu cara buat menghubungi kamu. Lalu, Tante menemukan CD lagu kalian. Tante ingat, dulu dia pernah cerita soal lagu ini. Tante juga pernah dengar lagu ini sebelumnya, tapi gak tahu di mana dia simpan CD-nya. Tante baru berhasil dapat kemarin. Tante kirim rekamannya ke radio, berharap bisa sampai ke kamu. Tante gak sangka ternyata berhasil."

Mataku berkaca-kaca mendengar ceritanya. Andai saja aku membuat usaha yang sama besarnya, pasti aku bisa mengetahui semuanya sedikit lebih awal. "Maaf...."

Beliau menepuk-nepuk punggungku. "Kamu mau coba mengobrol sama dia? Siapa tahu dia bisa dengar. Tante tunggu di luar, biar kamu bisa bebas bicara."

Dengan demikian, tinggal ada aku dan dia di ruangan ini. Aku merasa gugup dan canggung. Terakhir kali kami berduaan adalah malam itu di dapur vila. Belasan tahun telah berlalu dan kini kami kembali berdua. Kamar yang sebenarnya luas jadi terasa sempit.

Aku duduk di kursi sebelah ranjang. Kupandang sebentar wajahnya sebelum aku mulai berkata-kata.

"Halo. Ini aku. Sudah lama, ya, gak ketemu satu sama lain?" Aku tertawa kecil.

"Kamu...apa kabar? Meskipun kamu lagi tidur panjang, aku harap kamu mimpi indah," sambungku.

"Kabarku sekarang baik. Lebih tepatnya, sekarang lagi baik-baiknya. Aku bekerja kantoran. Penghasilanku lebih dari cukup untuk aku dan anakku. Kami tinggal berdua di apartemen. Aku pernah cerita soal kamu ke dia, loh," tawaku, "dan sekarang dia juga datang ke sini. Penasaran sama muka kamu, katanya. Habisnya, deskripsi aku tentang kamu gak cukup buat dia."

Aku berhenti sejenak. "Ingat, gak, kamu pernah berdoa supaya keluargaku terus baik-baik? Ya...untungnya aku, ibuku, dan ayahku bisa terus harmonis. Sayangnya, ayahku meninggal karena sakit dan gak lama ibuku menyusul. Kejadiannya beberapa bulan sebelum aku lulus kuliah. Waktu itu, aku depresi banget."

Aku menghentikan ceritaku untuk menyeka air mataku yang turun. Beberapa detik kemudian, aku melanjutkan, "Untungnya aku kemudian ketemu sama laki-laki lain. Dia seniorku yang sudah lulus. Kami dekat beberapa minggu, lalu pacaran. Dia sering menginap di apartemenku waktu itu. Aku juga suka menginap di tempatnya. Kami sesekali melakukannya jika sedang ingin. Dia banyak bantu aku di tahun terakhir kuliahku. Dia juga datang ke wisudaku. Beberapa bulan setelah aku wisuda, aku hamil. Aku minta dia buat tanggung jawab. Dia menyalahkan aku karena gak minum pil KB seperti biasa dan aku balas menyalahkan dia karena gak pakai pengaman. Dia menawarkan dua pilihan; kami putus atau aku harus menggugurkan bayinya. Tentu saja aku gak mau melakukan aborsi. Dengan begitu, kami berdua putus. Aku kehilangan orang tuaku dan aku hamil di saat aku belum kerja. Cari pekerjaan saat hamil susah. Aku cuma bisa dapat kerja serabutan. Aku menangis setiap hari. Rasanya mau gila. Hampir saja mau bunuh diri. Untungnya aku bisa bangkit lagi."

Aku menatapnya dengan penglihatan buram akibat air mata. "Kamu pasti malu dengar cerita ini. Teman SMA-mu yang dulu polos dan pendiam, waktu kuliah sering tidur dengan pacarnya sampai hamil di luar nikah. Aku juga malu sama diriku sendiri, kok, tapi aku gak pernah malu punya anakku. Meskipun jadi ibu tunggal susah, dia alasanku masih hidup sampai sekarang. Kalau bukan karena dia, mungkin sekarang aku gak bisa ketemu kamu di sini. Aku mungkin mendahului kamu tanpa tahu kalau kamu masih hidup."

Aku kembali berhenti bercerita ketika suaraku sudah bergemetar. "Aku kangen kamu. Banget. Kadang aku pikir, mungkin semuanya bakal berubah kalau malam itu aku jujur soal perasaanku ke kamu. Mungkin kamu masih bangun dengan sehat. Mungkin kita berdua bisa pacaran. Atau mungkin kita berdua bisa menikah."

Aku menelungkupkan kepala di atas kasurnya. Tidak tahan lagi, aku menumpahkan air mataku di sebelahnya. "Aku dulu suka kamu. Sekarang juga masih. Selama ini aku masih suka mikirin kamu. Andai kamu dengar semua ini."

first love - nijiro murakamiWhere stories live. Discover now