first love - 2

36 7 0
                                    

Meskipun aku tidak dapat menjadi anggota inti, aku tetap bersyukur karena bisa sering bertemu dengannya di ruang band. Menjadi satu-satunya anggota band baru yang kelas 2, aku makin dekat dengannya. Kami banyak mengobrol. "Banyak mengobrol" yang aku maksud hanyalah mengobrol di jam ekstrakulikuler. Aku jarang bertemu dengannya di luar jadwal ekstrakurikuler. Ah... Semoga aku bisa sekelas dengannya di kelas 3 nanti.

Hari itu sekolah berjalan seperti biasa. Tidak ada kegiatan ekstrakurikuler. Setelah bel pulang berbunyi, aku dan temanku keluar dari kelas. Betapa kagetnya diriku ketika mendapati dia berdiri di sebelah pintu kelasku. Saat tahu pintu terbuka, dia memanggilku.

Hatiku melompat-lompat, tetapi aku berusaha untuk tetap tenang. Bagaimana pun, aku sedang bersama temanku. Aku tidak mau temanku tahu bahwa aku tertarik pada laki-laki ini. "Eh? Ada butuh apa?"

"Hmm... Aku butuh bicara berdua sama kamu. Di atap, mungkin?" ungkapnya sambil melirik temanku.

Paham dengan maksudnya, aku pun segera pamit pada temanku. Setelah temanku pergi, kami berdua lalu menaiki tangga menuju ke atap. Di sana tidak ada siapa pun kecuali kita berdua. Dia berjalan mendekati pagar besi, lalu duduk bersila bersandar padanya. Dia menepuk-nepuk lantai di sebelahnya. Memberikan aku isyarat untuk ikut duduk dengannya.

"Aku baru bikin lagu. Aku mau rekam laguku ini. Aku butuh vokalis," ucapnya sambil menggerak-gerakkan tangannya, "Kamu mau, gak, nyanyi buat laguku?"

Mataku membesar. Tidak percaya akan mendengar itu. "Kenapa bukan vokalis band kalian?"

"Laguku ini agak lembut dan mellow. Menurutku, suaramu lebih cocok daripada dia. Suara dia terlalu kuat," jawabnya dengan tawa kecil.

Melihatku terdiam, dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah perekam suara lengkap dengan earphone-nya. Dia lalu menyodorkan salah satu ujungnya padaku dan berkata, "Aku mau kamu coba dengar dulu. Jadi, kamu bisa jawab mau bantu aku atau enggak."

Aku mengangguk tanda setuju. Aku menyumpal telingaku dengan earphone-nya. Lagunya diawali dengan permainan gitar listrik. Aku otomatis menengok ke arahnya. "Kamu yang main? Kamu bisa main gitar juga, toh?"

Bukannya menjawab, dia hanya tersenyum gigi. Baru saja aku mau memujinya atas permainan yang sangat keren, atensiku teralihkan dengan suaranya nyanyiannya.

"Jangan ketawa!" tegurnya ketika melihat aku menutup mulut.

Disuruh jangan tertawa, aku malah tertawa. "Maaf, maaf."

Aku lanjut mendengarkan lagu tersebut sampai akhir. Dengan begitu, barulah aku bisa berkomentar, "Lagunya bagus. Ini kamu buat sendiri?"

Dia mengangguk. "Aku juga suka lagunya, tapi aku gak bisa nyanyi. Makanya... aku mau minta tolong sama kamu. Mau, gak?"

"Oke." Tanpa berpikir panjang, aku mengangguk. Dia tersenyum senang. Aku senang bisa menjadi alasan dia tersenyum.

Dia tersenyum padaku. Beberapa saat kemudian, dia berkata, "Karena aku banyak bikin kamu repot, sini, aku antar pulang."

Hari itu adalah salah satu hari terindah dalam kehidupan SMA-ku. Kami berjalan menyusuri jalan-jalan kecil dan besar. Di perjalanan pulang itu, kami banyak mengobrol. Aku mulai tahu banyak hal tentangnya. Saat dia tertawa, dia akan menunjukkan giginya. Giginya sedikit gingsul, tetapi itu membuat dia manis. Saat tertawa, dia juga akan menutup matanya. Akan terdapat garis di antara pipi dan matanya. Suaranya yang sedikit serak terdengar renyah saat tertawa. Rambut hitamnya lumayan gondrong, tetapi tidak berantakan.

Saat itu, aku berpikir, Kemana saja aku selama ini? Kenapa baru sadar kalau dia sebetulnya manis?

Aku harap aku bisa lama di jalan supaya bisa berlama-lama berdua dengannya. Namun, rumahku tidak begitu jauh dari sekolah. Jadi, kami sudah sampai setelah kira-kira 10 menit. Begitu sudah sampai di depan pagar rumah, aku mengucapkan banyak terima kasih padanya karena sudah diantar pulang.

"Gak apa-apa. Gantian. Kamu, kan, banyak bantu aku," balasnya sambil tertawa, "Kalau begitu, aku pulang, ya?"

Aku mengangguk. "Hati-hati!"

Dia melambaikan tangan sebelum berbalik badan. Dia berjalan sambil memasukkan tangannya di saku. Tiba-tiba, dia berhenti dan kembali ke arahku. "Oh, iya. Lupa sesuatu."

Dia mengeluarkan perekam suaranya dan memberikannya padaku. "Ini kamu pegang dulu, buat belajar sendiri. Kalau sudah bisa, nanti kita atur jadwal untuk latihan. Oke?"

Aku memperhatikan alat itu, lalu terkekeh. "Cara pakainya gimana?"

Dia tertawa dan akhirnya mengajarkanku secara singkat cara menggunakan alat itu. "Kalau mau pakai buat rekam suara latihanmu juga boleh, kok!"

Aku mengangguk dan menyimpan alat itu di dalam tasku. "Oke. Semoga aku cepat bisa, ya."

"Pasti bisa, deh." Dia mengacungkan jempol.

"Kalau begitu ... Dah!" pamitnya untuk sekali lagi.

Aku baru masuk rumah ketika dia sudah tidak lagi terlihat. Di rumah tidak ada orang. Orang tuaku pasti masih bekerja dan kakakku sedang bekerja paruh waktu. Aku pun langsung menuju kamarku untuk mendengarkan lagunya sekali lagi. Ini lagu tentang cinta. Aku ingin tahu kepada siapa dia menulis lagu ini. Aku harap untuk aku, meskipun kemungkinannya sangat kecil.

Aku coba untuk merekam suaraku, tetapi belum terdengar bagus. Aku pun menghapusnya. Setelah menghapusnya, aku tidak sengaja menekan sesuatu. Tiba-tiba terdengar suaraku dari sana. Nampaknya, dia merekamku saat audisi! Aku senang bukan kepalang hingga aku tahu bahwa ternyata dia merekam audisi semua orang.

Memang lebih baik aku tidak berekspektasi apa-apa. Bisa berteman dekat dengannya saja sudah lebih dari cukup.

first love - nijiro murakamiOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz