first love - 5

20 6 0
                                    

Sesuai rencana, kami berkumpul di sekolah pukul sembilan. Walaupun rencananya dadakan, tetapi ternyata semuanya bisa datang. Ya, kapan lagi kita bisa menginap secara gratis? Transportasi pun sudah sepenuhnya ditanggung oleh pemilik vila. Perjalanan memakan waktu kurang dari dua jam dengan bus kecil. Sampai di vila, kami membagi kamar. Anak perempuan di atas, sedangkan anak laki-laki di bawah.

Bangunan vila itu sendiri tidak terlalu besar, tetapi lebih dari cukup untuk menampung kami semua. Lantai satu terdiri dari dapur, ruang tengah, tiga kamar besar dengan kamar mandi dalam, teras, dan halaman belakang yang menyatu dengan pantai. Lantai dua terdiri dari ruang tengah yang lebih kecil, ruang cuci, empat kamar kecil dengan kamar mandi dalam, serta balkon besar yang bisa berfungsi sebagai tempat berkumpul atau menjemur pakaian.

Kegiatan pertama kami adalah berkumpul di ruang tengah. Wakil ketua alias pemilik vila berdiri di depan kita semua dan mulai menjelaskan, "Omku kebetulan hobi memancing dan kadang juga suka menangkap ikan-ikan banyak di laut. Nah, beliau menawarkan kita untuk ikut memancing. Ada yang mau?"

Aku melihat kanan-kiri terlebih dulu sebelum perlahan mengangkat tanganku. "Aku mau, deh!"

"Oke! Ada lagi?"

"Aku juga!"

Aku menoleh ke sumber suara. Dia. Dia kebetulan sedang melihat ke arahku. Sedetik setelah mata kita bertemu, dia membuang muka. "A-aku dulu suka mancing sama papa."

Dengan begitu, kami berdua berganti pakaian menjadi kaos dan celana pendek. Setelah itu, kami diarahkan untuk menuju dermaga. Sebuah kapal fiber sudah menunggu kami di sama.

"Halo!" sapa seorang pria paruh baya yang merupakan paman si pemilik vila.

Beliau membantu kami naik ke perahu. Aku dan dia duduk di depan, sedangkan beliau duduk di belakang kemudi. Tidak lupa, kami semua mengenakan pelampung dan sarung tangan. Setelah siap, perahu pun melaju ke tengah lautan. Kecepatan perahu yang kencang membuat rambut panjangku beterbangan hingga mengganggu pandangan. Melihatku sibuk sendiri dengan rambut, dia tertawa. Dia lalu melepas ikat rambut yang ada di pergelangan tangannya dan memberikannya padaku.

"Kok kamu bisa punya ikat rambut?" tanyaku.

Dia memilin ujung rambutnya. "Rambutku makin panjang, tapi belum sempat potong. Kalau main gitar suka ganggu mata. Makanya, aku ikat, deh."

Setelah dia berkata demikian, aku baru sadar bahwa rambutnya memang sudah makin panjang dari pertama kali kami bertemu di kelas 2. Aku berterima kasih dan segera mengikat rambutku.

Tidak lama, kami sudah sampai di tempat yang diyakini sempurna untuk memancing. Paman menghentikan kapalnya dan berjalan menuju kami. Beliau membawa sebuah jaring, perangkap, dan ember. Aktivitas yang kami tunggu-tunggu pun dimulai!

Kami diajari teknik melempar jaring dan menangkap ikan. Aku kira akan mudah, tetapi ternyata sulit juga. Aku dan dia berkali-kali menangkap angin. Meskipun demikian, kami tidak menyerah. Setelah lebih dari setengah jam berada di tengah laut, kami akhirnya berhasil menangkap sesuatu. Gurita! Dia dengan cepat dan berani menangkap gurita itu dengan tangannya dan memasukannya pada perangkap. Mulutku membulat melihat aksinya. Pasalnya, aku sendiri geli jika harus memegang ikan atau cumi dengan tanganku sendiri.

Kami menghabiskan cukup banyak waktu menangkap ikan. Ketika semua perut sudah berbunyi, kapal memutar balik menuju dermaga. Dia membantu paman membawa hasil tangkapan, sedangkan aku membantu membawa alat-alat. Dia berjalan di depan dan aku di belakangnya.

"Kalian pacaran, kah?" tanya paman yang tiba-tiba ternyata ada di sebelahku.

"Enggak!" elakku otomatis, saking kagetnya.

Beliau tertawa kecil. "Oh .... Om kira, kalian pacaran. Habisnya dari tadi akrab banget, sih."

Aku menggeleng-geleng. "Enggak, Om. Kita gak mungkin pacaran! Kita, kan, beda jauh! Aku-"

Belum juga kalimatku selesai, dia memotong dengan pertanyaan, "Om, ini ditaruh di mana, ya?"

Bagaikan tidak terjadi apa-apa, beliau langsung berjalan menujunya dan mengarahkannya menuju sebuah pondok. Aku berjalan cukup jauh di belakang mereka. Aku merasa gugup, kira-kira dia dengar ucapanku tidak, ya?

Setelah kuingat-ingat perkataanku tadi, aku merasa tidak enak. Aku takut menimbulkan kesalahpahaman. Jujur, aku ingin sekali berpacaran dengannya. Hanya saja aku merasa itu hal yang mustahil. Meskipun terlihat akrab, aku selalu merasa ada sebuah dinding tinggi di antara kami berdua.

Begitu kami sampai kembali di vila, yang lain tengah menyiapkan meja makan. Nampaknya, mereka memasak selama kami pergi ke laut. Aku segera mandi dan mengganti pakaian, begitu pula dia. Setelah itu, kami semua makan siang bersama di ruang tengah.

Selesai makan, aku mendapat tugas mencuci piring. Seorang teman perempuan juga membantuku. Tidak begitu akrab, kami mencuci piring dalam diam. Di tengah kesunyian, temanku tiba-tiba bertanya, "Kamu suka dia, kah?"

"Dia siapa?" tanyaku dengan tenang, padahal sudah gugup karena takut rahasiaku ketahuan.

"Siapa lagi?" balasnya dengan tawa kecil, "Si pak ketua, maksudku."

Aku terdiam sebentar karena kaget sebelum akhirnya tertawa. Tertawa gugup. "Hah? Kok bisa berkesimpulan begitu?"

"Cuma tebakan, sih," ucapnya, "kelihatan dari tatapanmu ke dia."

"Hah? Memangnya tatapanku kayak apa?" Aku tertawa lagi.

Dia terdiam memandangku, lalu tertawa. "Oh? Jadi betul, toh? Ekspresimu gak bisa bohong!"

Ada satu orang yang tahu perasaanku, aku panik. Aku meletakkan telunjukku di depan mulutku. "Jangan kasih tahu siapa-siapa, ya?"

Dia mengangguk. "Iya. Buat apa juga aku bilang yang lain? Penasaran, deh. Sejak kapan kamu suka sama dia?"

"Sejak ... awal masuk band," jawabku pelan, takut terdengar yang lain.

"Wah, lumayan lama," serunya penuh antusias, "kamu gak mau bilang ke dia soal perasaanmu?"

Aku menunduk. Tanganku terus membilas piring-piring kotor. "Gak berani ...."

"Eyyy!" Dia menyenggol bahuku pelan dan berkata, "Ayo! Kapan lagi, kan, ada kesempatan begini?"

Perkataannya terus terngiang-ngiang di kepalaku. Dia ada benarnya juga. Kesempatan seperti ini hanya ada sekali. Sayang sekali jika tidak digunakan dengan baik. Aku pun terdorong untuk menyatakan perasaanku. Pertanyaannya tinggal satu:

Kapan dan Bagaimana caranya?

first love - nijiro murakamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang