Ia berniat berubah dan perlahan menunjukkan perasaannya untuk sang pujaan, tetapi ia tak pernah punya kesempatan. Issabel langsung jatuh cinta kepada Harry Dustin. Kebalikan darinya, Harry sangat transparan, jujur menunjukan perasaannya dan tidak pernah malu atau sulit memberikan kasih sayang berlimpah untuk Issabel. Dan, Sayre langsung menyadari jika dirinya tidak akan bisa menyaingi Harry, tidak akan ada kesempatan baginya. Maka, ia memilih mengalah walau harus terluka.

Issabel berhak bersanding dengan seseorang yang benar-benar sanggup mencurahkan cinta sebanyak-banyaknya seperti Harry.

"Apa Vena Lilian akan ikut latihan fisik bersama dengan pasukan Harry sore nanti?" tanya Sayre.

"Saya tidak bisa mengkonfirmasi hal tersebut, Yang Mulia," jawab Jimmy. "Tuan Harry mengeluh soal adiknya yang tidak mau membukakan pintu rumahnya saat ia datang untuk melihat keadaannya. Sepertinya, ia tidak bisa bangun karena tubuhnya sakit."

"Bagaimana dengan Paduka Kaisar? Apakah ia memintamu memanggil Vena lagi?" tanya Sayre.

Jimmy menggeleng. Jawaban Jimmy membuat Sayre mengangguk kecil dan menyesap tehnya lagi. Saat ia menemui Vena di lapangan latihan kemarin, Cassius sebenarnya menyuruh Regis atau Edwin, ajudan Cassius, untuk menjemputnya. Namun, Sayre memilih untuk menjemputnya sendiri karena khawatir jika Vena akan membuat jengkel Regis atau Edwin, sehingga ia memutuskan untuk menjemputnya sendiri.

Dan tepat seperti yang ia duga, Vena membuat kesal kedua orang itu. Bahkan masih sempat menyindir dirinya dan Regis yang menghunuskan pedang ke wajahnya. Sayre tidak akan sepenuhnya menyalahkan Vena atas perlakuan yang diterimanya, tetapi jika perempuan itu bisa mengendalikan tingkah dan ucapannya sedikit saja ...

"Aku akan menemuinya," kata Sayre beranjak bangkit dari kursinya. "Siapkan kereta."

Jimmy membungkuk, mengiyakan perintah Sayre. Dalam sepuluh menit, kereta kuda sudah siap. Sayre mengenakan setelan jas biru gelap dengan lencana duke di dadanya, lalu meninggalkan kediamannya untuk menemui Vena. Rambut hitamnya yang tebal dan sedikit panjang disisir rapi, seperti biasanya. Perjalanan ke rumah Vena memakan sekitar sepuluh menit dengan kereta kuda.

Ia tiba di pekarangan rumah Vena yang tidak terlalu luas. Saat mengantarnya dua hari lalu, Sayre tidak memperhatikan bagaimana bentuk rumah Vena. Halaman rumahnya ditumbuhi pohon ceri dan juga ada tanaman hias dan bunga. Sepertinya, Vena menyewa tukang kebun untuk merawat halamannya. Sayre mengetuk pintu kayu jati berwarna cokelat tua yang tampak serasi dengan cat tembok rumah Vena.

Tidak ada jawaban meski ia mengetuk pintu beberapa kali, tetapi pintu terbuka dan Vena keluar dengan wajah malas pada ketukan ke-10. Alisnya bertaut saat ia melihat Sayre. Ia bersandar di pintu rumahnya, menatap Sayre menilai. Rambutnya dibiarkan terurai, membuat Sayre menyadari jika Vena memangkas rambut panjangnya. Ia juga mengenakan gaun sederhana berlengan pendek, dengan renda di bagian dada berwarna kuning cerah.

"Apa Anda sangat merindukan saya sampai tidak bisa tidak bertemu dengan saya sehari saja, Yang Mulia?" tanya Vena sambil bersedekap.

Sayre tak langsung menjawab, menatap wajah Vena yang kelihatan jengkel. Luka di lehernya kelihatannya sudah mulai kering. Mata Sayre kini tertuju pada punggung tangan kanannya yang sudah diperban. Menyadari arah tatapan Sayre Vena memasang wajah menyebalkan.

"Ah, Anda mengkhawatirkan saya rupanya," celetuk Vena, mengibaskan rambutnya yang mengganggu. "Saya punya delapan nyawa lagi, jangan khawatir."

"Saya tidak kemari untuk itu," balas Sayre datar membuat Vena memasang raut malas.

"Lalu, apa yang ingin Anda lakukan, Yang Mulia? Apa Anda mau saya mencarikan istri untuk Anda sekarang juga?" ketus Vena membuat Sayre mengerutkan keningnya.

Vena memang biasanya bersikap kurang ajar, tetapi hari ini perempuan itu benar-benar sensitif. Apa Vena marah karena kejadian kemarin? Atau ia kesal kepada Sayre karena tidak meminta maaf perihal sikapnya malam itu? Sayre menarik napas. Jika Vena marah, Sayre tidak bisa berbuat apa-apa. Perempuan itu juga berbuat kesalahan dengan bersikap tidak sopan kepadanya.

Bibir Sayre terbuka, lalu tertutup lagi saat ia mencoba menjawab pertanyaan ketus Vena. Benar juga, kenapa ia kemari? Sayre langsung datang ke rumah Vena tanpa persiapan apa-apa. Ia bahkan tidak punya apa pun untuk dikatakan kepada Vena. Sayre mengatupkan bibirnya kebingungan. Sementara Vena masih menatapnya dengan wajah jengkel.

"Saya tidak mau lama-lama, Yang Mulia. Hari ini adalah hari libur saya dan saya benar-benar akan mengirimkan tagihan tambahan ke kediaman Anda jika menahan saya di sini," cerocos Vena lagi.

"Saya hanya ingin memastikan Anda baik-baik saja, Nona. Ada permintaan pasokan tambahan untuk Anda, tetapi karena Anda bilang hari ini adalah hari libur Anda, maka saya akan menundanya sampai besok," kata Sayre, berbohong soal tambahan pasokan. Ia tidak tahu mau memasok apa, karena ia juga tidak butuh apa-apa saat ini. Vena sudah membawa semua yang ia perlukan.

"Baiklah. Sampai ketemu besok siang setelah jam makan siang." Usai bicara demikian, perempuan itu langsung menutup pintunya dan tidak keluar lagi.

Tinggalah Sayre yang terbengong karena kejadian itu, sepenuhnya kebingungan karena sikap Vena. Tidak ada orang yang pernah menutup pintu di depan wajahnya dan Vena adalah orang pertama. Sayre menghela napas, sedikit kesal, tetapi juga bingung. Ia masih tidak mengerti kenapa ia memutuskan datang kemari. Yang jelas, melihat jika Vena ternyata masih kurang ajar menyadarkan Sayre jika perempuan itu memang masih punya sisa delapan nyawa dan sangat menyebalkan.

The Love CureWhere stories live. Discover now