Amran Siuman

103 18 0
                                    


"Amran siuman."

Kepalaku yang baru saja bersentuhan dengan bantal kembali terangkat. Beberapa saat aku hanya termangu duduk di bibir ranjang seolah tidak percaya dengan apa yang didengar. Maksudku, bagaimana bisa Mas Amran terbangun bersamaan dengan segala rahasia tentang kehamilanku terungkap?

Perlahan aku memijit kening yang terasa sedikit nyeri secara tiba-tiba. Mungkin karena tindakan yang dilakukan reflek tadi.

Saat hendak turun dari tempat tidur, pintu kamar ada yang mendorong dari luar bersamaan dengan wajah Mama yang muncul di baliknya.

"Syukurlah kamu dah siuman," ujarnya seperti penuh kelegaan.

Namun berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang ditekuk. Tak ada keramahan dalam sorot matanya. Apa lagi rasa sayang yang selalu ia tunjukkan seperti yang sudah-sudah. Aku seakan-akan melihat wanita yang berbeda berdiri di hadapanku kini.

Sikap seseorang padamu tergantung dari bagaimana cara kau menempatkan diri. Terlepas dari siapa pun yang bersalah, semua akan menerima penghakiman pada masanya. Ya, sepertinya begitu.

Tanpa sadar aku menghela napas dengan perasaan campur aduk. Wajahku mungkin sudah seputih kapas saat tanpa sengaja tatapan kami bertemu.

"Amran pun sudah sadar," lanjutnya. "Sepertinya anak itu mendapat firasat tentang pengkhianatan ini." Ia menyindir tajam.

Hal yang seketika membuat aku mengerjap gugup.

"Ma, aku...."

"Sementara kamu bisa melupakan apa yang terjadi," potongnya. "Tapi bukan berarti urusan kita selesai." Wanita itu menegaskan.

"Berterima kasihlah pada Amran yang terbangun pada saat yang tepat hingga masalah kamu sesaat bisa teralihkan."

Ia berkata tanpa memberikanku kesempatan untuk menjawab. Meski merasa dihakimi secara sepihak, aku tetap tak mampu membela diri. Yang bisa aku lakukan hanya tertunduk dalam diam.

"Dan tentang posisi kamu di keluarga kami nanti tergantung pada keputusan Amran," lanjutnya. "Sekalipun saya membenci sebuah pengkhianatan, tapi kalau Amran memaafkanmu, saya pun tidak akan mempermasalahkan. Jadi pintar-pintarlah mengambil hati suamimu agar keberadaan anak itu diakui sebagai anaknya." Mama kembali berkata.

Jelas sudah, dari pernyataan wanita itu semua yang terjadi berpuncak dari kesalahanku. Kenyataannya apa pun yang telah dikatakan Amril padanya, sama sekali tidak berguna.

"Ini nggak adil, Ma," sela Mas Amril yang tiba-tiba ikut menerobos masuk. "Kenapa seolah semua kesalahan ditimpakan pada Diana?" sanggahnya.

Laki-laki itu menatap mamanya gusar.

"Jangan mulai lagi, Amril. Sebaiknya yang sekarang kamu pikirkan bagaimana caranya membujuk istri kamu sendiri."

"Nggak bisa, Ma. Kami bertiga bertanggung jawab atas apa yang terjadi."

"Tidak usah bicara tentang tanggung jawab. Kalau kamu memang seseorang yang mengerti tanggung jawab, kamu tidak akan mengabaikan istrimu sendiri dalam situasi seperti ini."

"Itu dua hal yang berbeda, Ma. Mama jangan lupa, yang dikandung Diana itu anakku. Amran juga tahu."

"Amril!"

"Yang perlu dilakukan Amran segera menceraikan Diana agar kami bisa menikah," sahut Mas Amril tanpa mempedulikan wajah mamanya yang terlihat kian mengelam.

"Kamu tidak dengar apa yang Mama katakan tadi, Amril?" ujarnya gusar.

"Tapi, Ma...?"

"Pulanglah! Bujuk istrimu agar bisa memaafkan kalian."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 04, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

GALAT (Kepercayaan yang Ternodai) Where stories live. Discover now