Syok Terapi

21 9 0
                                    

Setelah drama panjang perseteruan Rion dan ayahnya, akhirnya tante Ria bersedia pindah dari rumah itu. Bersama Rion dan Naira mereka telah mengontrak sebuah rumah yang cukup jauh dari studio Rion juga cafe tempatnya bekerja. Jadi, ada sedikit kelegaan di hati Sabrina pagi ini karena apa yang membuatnya gusar sedikit hilang. Sedikit. Tentu saja.

Ternyata ada yang lebih mengganjal dadanya sekarang. Setelah pernyataan Rion tempo hari tentang keseriusannya. Malam kemarin kekasihnya itu juga melamarnya secara tidak langsung. Rion bahkan mengatakan akan menemui papanya. Tentu saja, hal itu membuat kepala Sabrina mau pecah sekarang. Bagaimana mungkin ia membayangkan pertemuan itu terjadi. Sabrina masih melamun di balik kubikalnya saat Destine mengetuk mejanya pelan.

"Ibu manggil elo," bisik Destine. Sabrina segera buyar dari lamunannya. Gadis itu tentu saja langsung berjingkat dari tempat duduknya, membawa apa saja yang mungkin akan ditanyakan bu Yuni di dalam ruangannya sana. Sabrina berjalan sebisanya, saat semua mata memandangnya horor. Sesuatu yang sudah bisa ia tebak, bahwa ia sedang dalam masalah sekarang, dan bu Yuni tidak sedang dalam suasana hati yang baik.

"Kamu ini niat nggak sih, Sab?"

Sabrina baru saja menutup pintu, namun sudah disambut kalimat pertama.

"Maaf bu, Gimana?"

"Ini report yang kamu bikin enggak ada yang bener. Baca lagi!" Bu Yuni melempar bundle kertas itu di depan mejanya. Lalu perempuan itu kembali menatap Sabrina dengan amarah yang sepertinya belum selesai itu.

"Lulusan universitas ternama ternyata nggak menjamin kualitas kerja. Saya nggak ngerti kenapa saja dulu setuju aja waktu Sindhu mengajukan nama kamu."

Sabrina mengerjap, menelan ludahnya susah payah serta mengepalkan kedua tangannya kuat kuat, berusaha untuk tidak menangis sekarang juga.

"Ambil itu. Revisi hari ini juga." Ucap sang dementor.

"Inget ya. Hari ini. Saya tunggu. Caranya gimana? Cari tau sendiri." Omel perempuan itu lagi.

Tanpa berkata apapun, Sabrina mengambil berkas itu lalu buru buru keluar dan pergi, tanpa repot repot berpamitan. Atau bahkan tindakan itu sama sekali tidak terlintas di pikirannya sekarang. Ia terlalu terkejut dengan 'serangan fajar' pagi ini. Ya, istilah yang selama ini hanya ia dengar dari cerita Novia, Reynald dan yang lainnya, hari ini ia merasakannya juga. Sebenarnya yang kedua, tapi kali ini lebih parah.

Sabrina melirik ke arah Reynald dan Sonya yang berjalan terbirit birit saat pintu terbuka. Sial, mereka menguping semuanya. Sabrina hanya mempercepat langkahnya, berniat meninggalkan tumpukan revisi di mejanya alih alih langsung membereskannya. Ia tau ia hampir menangis, atau malah sudah? Sekitar tiga detik Sindhu dan ia bertatapan sebelum akhirnya Sabrina mengalihkan pandangannya yang kabur karena matanya yang sudah berair. Ia ingin menghilang sekarang juga.

*****

Udara rooftop kantor untungnya bersahabat. Tidak terlalu terik hari ini. Untuk ukuran jam sepuluh pagi, Sabrina masih merasakan hawa segar lagi yang seharusnya ia dapatkan. Hari ini sedikit mendung tapi ia memperkirakan tidak akan hujan dalam waktu dekat. Disitulah Sabrina menumpahkan semuanya.

Sabrina bukan tipe orang yang suka mencari perhatian orang lain. Ia paling benci itu. Tapi kejadian tadi cukup membuatnya terguncang. Entah karena ini sudah dekat masa menstruasinya, atau karena pernyataan Rion yang membuatnya lebih sensitif, atau memang karena sikap Bu Yuni padanya. Sabrina memang baru pertama kali kerja. Tapi ia sudah cukup berpengalaman dalam hal dibentak dan dimarahi ayahnya di rumah juga dosennya semasa kuliah dulu. Tapi kali ini, rasanya lebih menyesakkan.

Masih menyeka pipinya berkali kali, Sasa mengeratkan kardigan hitam itu ke tubuhnya. Kata Lea yang belajar psikiatri, teknik memeluk diri sendiri saat sedih dan marah bisa membantu. Dan benar, ia sedikit lebih tenang sekarang.

Ruang Nostalgi(l)a Where stories live. Discover now