0.7 : Tidak apa-apa

591 68 0
                                    

"Jovan?" panggil seseorang yang tengah berdiri di samping pemilik nama yang tengah tertidur.

"Hei, Jovan. Bangunlah," panggil orang yang sama dengan masih berusaha membangunkan sang teman. Pemuda seumuran Jovan itu menggoyangkan bahu Jovan yang tertidur di bangkunya.

Waktu ujian telah berakhir, dan Jovan belum juga bangun dari tidurnya. Sementara, lembar ujian sudah sang ketua kumpulkan beberapa menit lalu.

William Bagaskara, pemuda yang merupakan teman kelas Jovan sekaligus ketua kelas itu menunduk menyejajarkan pandangannya untuk melihat wajah Jovan yang menghadap ke kanan.

"Jo, hei, kau kenapa? Jovan buka matamu, bangunlah," ujarnya terdengar khawatir karena wajah Jovan tampak memerah dan berkeringat.

William mengulurkan tangannya menyentuh dahi Jovan dan dahinya sendiri, seperti tengah membandingkannya untuk mengecek perbedaannya.

William segera berlari keluar menuju ruang ujian di sebelah ruangan mereka. Menengok sejenak dari sisi pintu yang terbuka dengan lebar dan mencari presensi yang ia cari.

"Arthur, ikut aku," ucapnya langsung menarik Arthur yang baru saja keluar dengan tas di punggungnya.

"He— hei, ada apa?" kata Arthur terkejut dengan aksi teman sekelasnya itu.

"Temanmu sakit, Thur. Jovan sakit," ucap William mengejutkan Arthur untuk kedua kalinya. Arthur lantas mengikuti langkah cepat William.

Dari pintu yang terbuka, mereka dapat melihat Jovan yang sedang duduk bersandar pada bangkunya. Menunduk sembari memijat pangkal hidungnya dengan sesekali berdesis sakit.

"Jovan! Akhirnya kau bangun, kau kenapa?" seru William di samping Jovan. Arthur ikut merasa khawatir melihat wajah tak bersemangat Jovan.

"Aku baik-baik saja, aku hanya pusing," balas Jovan dengan lirih tak lupa menambah senyum untuk meyakinkan temannya itu.

Mata sayunya beralih kepada jam dinding yang tergantung pada dinding di sisi kanan papan tulis. "Ah, ujiannya sudah selesai?" tanyanya ketika menyadari kelas yang hanya tersisa mereka bertiga saja.

"Kau sungguh baik-baik saja?" tanya William tampak tidak percaya dengan Jovan. Bungsu Xavier itu mengangguk masih dengan senyum tipisnya.

"Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku. Aku tidak apa-apa, Will," ucap si bungsu Xavier.

"Kalau begitu aku akan menemanimu pulang. Terima kasih, Will, aku akan menjaganya," ucap Arthur kepada William setelah menyentuh dahi lembab Jovan.

William akhirnya hanya bisa mengangguk, "Baiklah, sama-sama. Aku pulang, kalian hati-hati di jalan," ujar William sebelum beranjak keluar dengan tas sekolahnya.

"Kau sepertinya demam, Jo. Kau belum makan, ya?" tanya Arthur ketika William sudah menghilang.

"Aku sudah sarapan tadi," balas Jovan sembari berdiri, "Ayo pulang, aku bersama Kak Johan lagi," ajak Jovan disetujui oleh Arthur.

Baru melangkah sekali, Jovan tiba-tiba berjongkok dan menundukkan kepalanya sembari memejamkan matanya bersama kedua tangannya yang bertumpu pada lututnya.

"Jangan menunduk seperti itu, nanti pusingnya bertambah. Ayo berdiri, kau kuat berjalan tidak? Perlu aku gendong— atau aku panggilkan Johan, ya?" ucap Arthur langsung dibalas gelengan oleh Jovan.

"Jangan, nanti dia khawatir. Aku masih kuat, aku akan berjalan pelan-pelan," ujar Jovan sembari berdiri kembali. Arthur mengangguk meng-iyakan, mencoba memahami Jovan dan menghindari perdebatan konyol yang bisa saja terjadi.

gemini [completed]Where stories live. Discover now