Mbah Atmo

479 51 1
                                    

Laki laki tua itu berjalan beriringan dengan anak bungsunya, menyusuri jalanan desa yang gelap dan sepi. Mereka baru saja pulang dari mushalla. Tak begitu jauh memang jarak antara rumah mereka dengan mushalla yang terletak di pertengahan desa. Tapi jalanan desa berbatu dan minim penerangan itu membuat mereka harus berhati hati dalam melangkah, kalau tak mau kaki mereka tersandung oleh batu batu jalanan dengan permukaan yang tak rata itu.

Sampai di sebuah pertigaan jalan, Mbah Atmo tiba tiba menghentikan langkahnya. Mata tuanya memang sudah sedikit rabun, tak sanggup melihat dengan jelas. Apalagi ditengah gelapnya malam seperti ini. Namun mata batinnya yang sudah terasah dengan baik dari semenjak lama, bisa merasakan bahwa tak jauh di depan mereka telah menunggu sesosok makhluk yang sepertinya kurang bersahabat.

"Le, di depan itu ada orang apa enggak sih?" Tanya Mbah Atmo pada Anto, anak bungsunya yang berjalan di sebelahnya.

"Dimana Pak?" Anto balik bertanya.

"Itu, dibawah pohon sawo," jawab Mbah Atmo.

"Oh, itu bukan orang Pak, tapi ikatan batang singkong yang disandarkan di batang pohon sawo," Anto menjelaskan. Memang, yang ia lihat dibawah pohon sawo itu adalah seikat batang singkong yang disandarkan pada batang pohon itu. Pasti sang ayah mengira kalau ikatan batang singkong itu adalah orang yang tengah berdiri dibawah pohon. Anto maklum, mata tua ayahnya memang sudah tak bisa melihat dengan jelas dalam kegelapan.

"Oh, tak kirain orang," Mbah Atmo terkekeh. "Kok kurang kerjaan banget malam malam begini nyandar di bawah pohon begitu."

"Itu bukan orang Pak, tapi ikatan batang singkong," jelas Anto lagi.

"Hehehe ... , iya, bapak yang salah lihat kali Le. Ya sudah kalau begitu, kamu pulang duluan saja ya Le, bapak masih ada urusan," kata Mbah Atmo lagi setelah tawanya mereda.

"Bapak mau kemana?" Tanya Anto heran.

"Kan bapak sudah bilang kalau bapak masih ada urusan. Kamu pulang duluan saja. Bilang sama simbokmu, ndak usah bikin kopi buat bapak. Sama ndak usah nyiapin makan malam juga buat bapak. Malam ini sepertinya bapak ndak makan dan ngopi di rumah," tegas Mbah Atmo lagi pada anak bungsunya itu.

Anto yang memang dikenal sebagai anak penurut itu tak membantah lagi ucapan sang bapak. Ia segera melangkah berbelok ke arah kiri di pertigaan jalan itu, menuju ke arah rumahnya yang hanya tinggal beberapa puluh meter lagi. Sementara Mbah Atmo masih berdiri di tempatnya, tersenyum sambil memandangi kepergian sang anak. Senyum, yang seketika memudar bersamaan dengan menghilangnya sosok sang anak sudah tak terlihat lagi oleh mata tuanya. Dengan langkah pelan ia lalu berjalan menghampiri batang pohon sawo yang tumbuh di sisi jalan itu, lalu berdiri menghadap ikatan batang singkong yang menyandar pada batangnya.

"Aku tau kau menungguku! Apa mau mu?!" Desis Mbah Atmo, pelan namun tegas.

"Khikhikhi...!" Suara tawa mengikik terdengar, diiringi dengan berubahnya wujud ikatan batang singkong itu yang berubah mwnjadi sosok nenek nenek bungkuk dengan rambut gimbal acak acakan yang meriap menutupi hampir seluruh tubuhnya.

"Aku mau nyawamu!" Nenek bungkuk itu mendengus, setelah meredakan tawanya. Tertatih ia mendekat ke arah Mbah Atmo. Sebatang tongkat bambu menyangga tubuhnya yang terlihat begitu renta.

"Aku tak ada urusan denganmu!" Ujar Mbah Atmo tegas.

"Cuih!" Nenek bungkuk itu meludah tepat di depan Mbah Atmo. "Setelah kau berani mencampuri urusanku, kini kau bilang tak ada urusan denganku?! Jangan menjadi pengecut kakek tua! Kau pasti tau apa yang aku maksud! Atau kau memang sudah tak punya nyali untuk menghadapiku?"

"Aku manusia Nyai! Derajatku lebih tinggi daripada makhluk sepertimu! Jadi tak ada alasan bagiku untuk takut menghadapimu!"

"Bagus! Berarti kau sudah siap untuk mati malam ini!"

Short Story Kedhung Jati 3 : Mbak Padmi Dan Wewe GombelWhere stories live. Discover now