Bab I

919 55 1
                                    

Mbak Padmi, perempuan warga desa Kedhungsono ini sudah semenjak lama merantau ke Jakarta. Dari semenjak ia masih gadis remaja, sampai sekarang sudah bersuami, ia masih tetap bekerja di kota metropolitan itu. Hanya sesekali saja ia pulang ke kampung halaman untuk menjenguk orang tuanya.

Namun kali ini, ia pulang dan memutuskan untuk tinggal lebih lama di desa, atas permintaan kedua orang tuanya. Mbak Padmi sedang mengandung calon anak pertamanya, sekaligus calon cucu pertama bagi orang tuanya, karena memang Mbak Padmi adalah anak sulung dari keluarga itu. Tak heran kalau orang tua Mbak Padmi sangat menginginkan agar Mbak Padmi melahirkan di desa saja.

Sebagai seorang anak yang berbakti dan patuh kepada orang tua, jelas Mbak Padmi tak bisa menolak keinginan itu. Saat usia kandungannya menginjak delapan bulan, dengan diantar oleh sang suami, Mbak Padmi pulang ke desa. Hanya mengantar, karena setelah dua hari di desa, sang suami harus segera kembali ke kota karena tuntutan pekerjaannya.

Jadilah, Mbak Padmi menjalani hari harinya di desa tanpa sang suami. Terasa berat memang, disaat hamil tua begini harus berpisah untuk sementara dengan sang suami. Apalagi ini kehamilan pertamanya. Tapi demi orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya, Mbak Padmi menjalani semua itu dengan penuh rasa ikhlas.

Hari pertama setelah kembalinya sang suami ke kota, Mbak Padmi merasakan kesepian yang teramat sangat. Apalagi kedua orang tuanya seharian sibuk bekerja di ladang, karena saat itu memang sedang musim tanam. Sementara kedua adiknya juga belum pulang dari sekolah. Untuk mengusir rasa sepi, akhirnya Mbak Padmi memutuskan untuk menyusul orang tuanya ke ladang yang berada di area Tegal Salahan. Dan dari sinilah awal malapetaka yang menimpa Mbak Padmi.

Kedua orang tuanya lupa berpesan bahwa pantang bagi seorang perempuan yang sedang hamil seperti Mbak Padmi menginjakkan kaki di area Tegal Salahan yang terkenal angker itu. Bisa kena tulah nantinya. Dan sialnya, Mbak Padmi juga sama sekali tak mengetahui soal pantangan itu. Nasi telah menjadi bubur. Mbak Padmi sudah terlanjur menginjakkan kaki di area itu.

Takut terjadi hal hal yang tak diinginkan, Pak Mitro, ayah dari Mbak Padmi lalu mendatangi salah satu orang pintar di desa itu. Mbah Atmo namanya. Oleh Mbah Atmo, Mbak Padmi lalu dibuatkan semacam gelang yang terbuat dari untaian ranting bambu kuning yang dipotong kecil kecil dan dijalin dengan menggunakan benang lawe. Tentu gelang itu juga sudah diisi dengan semacam jampi jampi sebelum diserahkan kepada Mbak Padmi. Pesan Mbah Atmo, gelang itu harus selalu dipakai oleh Mbak Padmi, dan tak boleh dilepas dalam kondisi apapun.

Sehari, dua hari, sampai di hari yang ketiga, tak ada kejadian apa apa. Kedua orang tua Mbak Padmi pun merasa lega. Demikian juga dengan Mbak Padmi. Ia yang memang tak terlalu percaya dengan hal hal yang berbau klenik, menganggap orang tuanya terlalu berlebihan dan mengada ada.

Di hari keempat, seperti biasa Pak Mitro dan istri pergi ke ladang semenjak pagi, sementara kedua adik Mbak Padmi pergi ke sekolah. Praktis, Mbak Padmi hanya sendirian di rumah.

Tak banyak yang ia bisa kerjakan, karena hampir semua pekerjaan rumah telah diselesaikan oleh sang ibu yang memang sudah terbiasa bangun dan sibuk dari sebelum waktu Subuh tiba. Ditambah dengan pesan sang ibu agar ia tak melakukan pekerjaan rumah karena sedang hamil besar, membuat Mbak Padmi merasa bosan bukan kepalang. Beruntung, masih ada radio transistor yang menemaninya. Sambil duduk di kursi ruang tamu, perempuan itu lalu asyik bersenandung, mengikuti alunan suara Elvy Sukaesih yang mengalun merdu dari speaker radio tua itu.

Sedang asyiknya Mbak Padmi menikmati alunan lagu dangdut kesukaannya, tiba tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu. Mbak Padmi pun segera beranjak dari duduknya dan membuka pintu depan. Dan begitu pintu terbuka, nyaris saja perempuan itu terpekik, saat mendapati di depan pintu telah berdiri seorang nenek tua bungkuk dengan tongkat bambu yang menyangga tubuh rentanya. Baju kebaya serta kain batik yang dikenakannya, juga kain selendang yang mengerudungi rambut berubannya, nampak begitu lusuh dan kumal. Orang gilakah? Batin Mbak Padmi.

Nanar, Mbak Padmi lalu mengamati sosok perempuan tua itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Hampir semua warga di desa ini, dari orang tua sampai ke anak anak, Mbak Padmi mengenalnya. Namun nenek tua ini, jangankan kenal, melihatpun Mbak Padmi baru sekali ini.

"Maaf, mau cari siapa ya Mbah?" Tanya Mbak Padmi dengan suara bergetar. Tatapan nenek tua itu, benar benar sukses membuat Mbak Padmi merinding. Bagaimana tidak, tak selayaknya orang yang sedang bercakap yang akan saling menatap wajah, Mbak Padmi merasa nenek tua itu justru sedikitpun tak melepaskan pandangannya dari perutnya yang membesar.

"Ah, tidak Ndhuk. Ini, simbah cuma mau minta minum kalau boleh. Ini tadi dari sawah mau pulang kok tiba tiba merasa haus dijalan," jawab nenek itu dengan suaranya yang terdengar begitu serak.

"Oh, boleh Mbah. Duduk dulu Mbah, sebentar ya, saya buatkan teh dulu," kata Mbak Padmi sambil berniat untuk beranjak ke dapur. Rasa herannya seketika berubah menjadi rasa iba, melihat nenek tua yang kehausan itu. Kemana lah keluarganya, hingga nenek setua itu masih dibiarkan bekerja di sawah, batin Mbak Padmi.

"Terimakasih Ndhuk, dan..., tunggu dulu! Kamu ngapain pakai gelang seperti itu? Kayak anak kecil saja! Buang saja! Malah nanti dikira orang kurang waras, sudah besar kok pakai gelang mainan begitu," ujar si nenek ketus, sambil duduk di balai balai bambu yang ada di teras rumah itu.

Mbak Padmi sedikit terkejut mendengar ucapan nenek itu. Sempat sempatnya nenek tua itu memperhatikan gelang bambu kuning yang dikenakannya. Dan kenapa juga ia sampai berkomentar seperti itu. Ia mau memakai gelang apapun itu kan hak dia. Kenapa juga nenek itu sampai menyuruh untuk membuangnya.

Sambil melangkah ke dapur, Mbak Padmi memperhatikan gelang pemberian Mbah Atmo yang melingkar di pergelangan tangannya. Ah, memang kelihatan sedikit norak sih. Dan wajar kalau sampai menarik perhatian nenek itu. Mbak Padmi tersenyum.

Dengan cekatan Mbak Padmi lalu meracik segelas teh manis. Tak butuh waktu lama, Mbak Padmi lalu kembali ke teras dengan membawa baki berisi segelas teh manis buatannya. Namun saat sampai di ambang pintu depan, langkah perempuan itu terhenti tiba tiba.

Nenek tua itu, yang sebelumnya ia lihat duduk diatas balai balai bambu, kini telah raib entah kemana. Mbak Padmi mengedarkan pandangannya, menyapu ke seluruh halaman rumah yang lumayan luas itu. Mustahil si nenek bisa pergi secepat itu, mengingat cara jalannya yang begitu tertatih, bahkan harus dibantu dengan tongkat untuk berjalan. Sementara, ia ke dapur untuk membuat teh tadi hanya sebentar, tak lebih dari dua menit.

"Aneh," Mbak Padmi bergumam, sambil meletakkan baki yang dibawanya keatas balai balai bambu, lalu duduk diatas balai balai itu.

"Siapa nenek tua itu tadi? Dan kenapa tiba tiba pergi padahal katanya mau minta minum karena kehausan? Apa jangan jangan....," bergidig, Mbak Padmi meraba tengkuknya yang tiba tiba merinding, saat angin sepoi yang bertiup membawa aroma tak sedap yang menyapa indera penciumannya. Aroma busuk, seperti bau bangkai yang telah membusuk selama beberapa hari.

"Hiiiiii...!!!" Kembali Mbak Padmi bergidig, lalu buru buru bangkit, masuk kedalam rumah, dan menghempaskan pintu sampai menutup rapat.

Bersambung

Short Story Kedhung Jati 3 : Mbak Padmi Dan Wewe GombelWhere stories live. Discover now