Pak Dimas menatap Agus, "Coba ngomong ada apa sebenernya?"

Agus pun menceritakan semuanya. Setelah itu, Bimo menunjukan bukti chat WhatsApp di ponselnya. Ia juga menceritakan alasannya membawa speaker sebesar itu.

Pak Dimas terdiam sejenak sambil menatapku, "Lain kali, kalau ada kejadian kaya begini lagi. Lapor polisi atau sekolah dulu, Aidan! Jangan maen datang sendiri."

"Maaf, Pak!" Hanya kata itu yang bisa kuucapkan.

"Hampir aja bapak keluarin kamu dari sekolah. Ini bapak kasih peringatan buat kalian. Kalau sampe kalian tawuran lagi! Bapak gak segen-segen ngeluarin kalian!" ucap Pak Dimas sembari menatap wajah kami.

"Tapi bapak bakal tetep kasih kalian satu hukuman," imbuhnya.

"Hukumannya apa, Pak?" tanyaku, siap menerimanya.

"Nanti bapak pikirin duli. Besok sebelum masuk kelas, kalian dateng ke ruangan bapak."

"Baik, Pak!" sahut Kami, kompak.

"Sekarang kalian pulang! Udah sore!" perintah Pak Dimas

"Makasih, Pak," balasku seraya mencium punggung tangannya, diikuti teman yang lain.

__________

"Balik! Balik!" seruku.

"Siap, Bos!" sahut Bimo.

"Kalau bisa hindarin lewat markas anak SMA 11, ya!" pesanku.

"Wokeh!"

Kami pun melajukan motor menuju gerbang sekolah, lalu pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, aku sudah disambut dengan omelan ibu.

"Kamu tawuran lagi?" ucapnya seraya memindaiku.

"Enggak, Bu," elakku, sembari menundukan kepala.

Ibu memegang daguku, lalu mengangkat kepalaku. "Ini apaan? Kok bisa bonyok gini?"

"Tadi cuman berantem doang, Bu. Bukan tawuran."

"Siapa yang bikin kamu bonyok? Bilang sama ibu, biar ibu kasih pelajaran."

"Gak tau, Bu."

"Kok bisa gak tau?"

"Soalnya tadi dikeroyok sama anak SMA lain, jadi gak sempet kenalan."

"Kamu masih inget mukanya, gak?"

"Gak, Bu."

"Lain kali ingetin mukanya, terus nama sama sekolah di mana. Biar ibu cari."

"Iya, Bu."

"Yaudah, kamu mandi dulu. Nanti ibu obatin lukanya."

Aku melangkah ke kamar, lalu melepaskan seragam dan mandi. Selesai mandi, ibu sudah bersiap dengan kotak obatnya. "Punggung kamu masih sakit?" tanyanya.

"Gak terlalu," balasku.

"Lain kali kamu telepon ibu dulu. Biar ibu bisa kirim bantuan." Ibu membasahi kapas dengan betadine, lalu mengoleskan perlahan pada luka di wajah dan tanganku.

"Sebenernya rencana kita udah mau berhasil, Bu. cuman kebetulan aja ada polisi lewat. Yah, emang lagi sial mulu akhir-akhir ini."

"Besok ikut ibu mandi kembang. Biar ngilangin sial kamu." Ibu memplester luka di wajah.

"Ah gak usah, Bu." Dari kecil aku sering diajak mandi kembang, tapi tak ada pengaruhnya.

"Ibu takut kamu kenapa-napa. Besok jangan masuk sekolah dulu, ya."

"Gak bisa, Bu. Besok ada ulangan." Padahal alasan sebenarnya, aku harus menghadap Pak Dimas.

"Kamu tunggu di sini bentar. Jangan masuk kamar." Ibu pergi ke dapur, lalu kembali dengan membawa segelas air. Ia duduk di sampingku, sembari merapal mantra di atas permukaan gelas. "Minum, Ai. Biar badan kamu enakan," perintahnya.

Tubuh ini terasa hangat saat meminum air itu. "Kenapa jadi anget, Bu?"

"Ibu minta beberapa Jin penjaga buat dampingi kamu."

"Aman, gak?" Aku takut nanti pas mendengar suara adzan, malah kepanasan dan menjerit-jerit.

"Aman. Mereka gak tinggal di badan kamu, kok."

"Oh yaudah." Aku kembali ke kamar, lalu mengecek ponsel.

[Malam ini ke markas, gak?] @reno

[Tergantung si Idan. Tunggu aja dia muncul] @bimo

[Bosen nih udah tiga malem kagak nongkrong] @agus

[Roman-romannya sih gak bakal nongkrong. Si Idan digebukin ampe begitu. Gara-gara lu sih, Gus] @handeka

[Kan gua kagak sengaja, Dek!] @agus

Aku mengetik pesan. [Malam ini libur dulu ya, guys! Badan gua meriang nih]

[Tuhkan. Apa kata gua] @handeka

[Siap, Bos! Cepet sehat. Besok jangan lupa masuk sekolah] @bimo

[Kira-kira besok Pak Dimas ngasih hukuman apa, ya?] @fikri

[Paling cuman push up doang] @reno

[Malem ini jangan begadang guys. Inget besok musti dateng jam enem] pesanku.

[Siap, Bos!]

Aku menutup aplikasi WhatsApp, lalu membaringkan tubuh di kasur. Padahal adzan magrib baru berkumandang, tapi mata ini sudah sangat berat. Tak terasa aku pun tertidur. Saat bangun, jam menunjukan pukul 05:24. Bergegas aku bangkit dan mandi.

"Tumben pagi-pagi udah mandi," ucap Ibu yang baru ke luar kamar.

"Disuruh masuk jam enem, Bu!" sahutku, seraya berlari ke kamar untuk memakai seragam.

"Ada acara apaan?"

"Meeting gitu!"

"Kamu dari kemaren sore belum makan loh, Ai. Tidurnya nyenyak banget, gak tega ibu bangunin."

"Nanti aku sarapan di sekolah aja, Bu." Aku melihat jadwal pelajaran, lalu memasukan buku ke dalam tas. "Aku berangkat dulu, Bu." Aku menghampiri ibu di kamar.

"Ini uangnya." Ibu memberiku selembar uang 50rb rupiah.

"Tumben banyak amat." Biasanya hanya diberi 20rb rupiah.

"Buat jajan."

"Aku berangkat ya, Bu." Kukecup punggung tangannya lalu berangkat ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, baru ada lima orang anggota gank yang datang. Kurang Bimo dan Guntur.

"Si Bimo udah bangun belum?" tanyaku.

"Tadi sih udah. Kayanya baru mau mandi," balas Reno.

Sekitar 15 menit kemudian, anggota kami sudah lengkap. Bergegas kami menuju ruangan Pak Dimas. Pintunya terbuka, terlihat ia sudah duduk di sofa. "Masuk," perintahnya.

"Bapak udah mikirin hukuman buat kalian," sambungnya.

"Hukuman apa, Pak?" tanyaku.

"Beberapa hari lagi kan puasa. Sekolah bakal libur seminggu. Nah ... buat kalian gak ada hari libur."

"Kok gitu, Pak!" protes Bimo.

"Jangan protes! Ini juga karena kesalahan kalian."

"Tapi kejadian kemaren kan kita gak salah, Pak," ucap Handeka.

"Kalian mau nerima hukuman ini atau ... bapak cari yang lebi berat lagi. Lagian hukumannya gak susah kok."

"Saya sih mau nemerima hukamannya," ucapku.

"Nah Aidan udah setuju. Tinggal yang lain gimana?"

"Saya ngikut aja, Pak. Emang hukumannya apa?" tanya Bimo.

"Kalian ikut pesantren kilat selama seminggu. Kebetulan temen bapak ada yang jadi pengurus pesantren di Bekasi."

Aku terkejut mendengar hukumannya itu. Begitu pula teman-temanku. Tak pernah terlintas sedikitpun untuk tinggal di pesantren selama satu minggu.

BERSAMBUNG

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now