01 | Cari Visual

26 3 5
                                    

Sinar matahari menerobos melalui celah jendela. Aku terbangun dengan badan pegal-pegal. Setelan piama masih melekat di tubuh. Aku belum mandi.

"Siapa yang peduli?"

Burung-burung bekicau berirama seiring aku beranjak dari kasur, kaki kuayunkan menuju kamar mandi, memasukinya, bersama detak jam mengiringi. Setelah beres mandi, aku...

"Keluar kamar. Sarapan, atau sapa ayah ibu dulu?" Wirama geleng-geleng kepala, lantas melempar kertas folio yang dijilid rapi itu ke sisi meja.

Bosan periksa naskah yang menumpuk, belum lagi Wirama pening, ia beralih mengecek surel. Naskah yang masuk ke penerbit Vellichor berupa softcopy juga banyak. Sedikit semangat tersisa, Wirama tetap harus fokus, tidak boleh goyah demi menemukan sesuatu yang akan membuatnya berdecak kagum dan menyerukan kata 'eureka!'.

Beberapa saat menatap layar, Wirama terpukau oleh salah satu sinopsis. Yas! Mari kita cek isinya.

Halaman satu, halaman dua, halaman tiga... Wirama kian semangat, menyimpan harapan besar sebab karya yang dibaca mampu membuatnya betah. Tentu, sebelum harap itu menjadi bola-bola sabun yang gagal jaga jarak dari benda sekitar.

"Nunik duduk di meja restoran padang samping Deno, menatap ikan kakap bumbu kuning yang meningkatkan selera." Dan Wirama tertawa. Tangannya tangkas menekan salah satu tombol papan tik komputer. Otomatis naskah tadi tersingkir dari pandangan.

"Duduk di meja, ya?" Sungguh, Wirama ogah meneruskan baca alias mengeliminasi satu cerita. "Di mana sopan santunnya duduk di atas meja? Kalau emang lu sengaja deskripsiin Nunik duduk di meja, nggak ada narasi Nunik nempelin kepala ke meja sambil ngerengek minta kakap lagi, 'kan?"

Seharusnya itu cuma masalah kecil dalam tulisan. Jelas, bisa saja Wirama memberi ampun dan menyeleksi ke tahap selanjutnya. Toh revisi sedikit tidak rugi, terlebih bukan naskah hardcopy. Namun, sayang sekali naskah penulis itu bertemu Wirama saat dia sudah lima jam duduk melototi gabungan aksara. Pun, Wirama selalu tidak bisa menoleransi bolongnya logika.

Ampun deh, padahal naskah yang masuk tak terkira, tapi hanya sebagian kecil yang layak baca. Sisanya? Seperti sapi kurang gizi. Wirama pusing, butuh kopi. Memijat-mijat dahi saja tidak cukup.

"YA GUSTI!" Memekik, Wirama terduduk lagi padahal baru saja berdiri. Muka tegang, tatapan ngeri. Reaksi Wirama mengundang tawa sosok di seberang terhalang meja kerja yang amat berantakan.

Seonggok manusia itu...

"Heh. Loo... lo mau gue mati muda? Lo ada dendam apa sih sama gue?!" Suasana hati Wirama sudah runyam, terus ditambah lagi sama itu makhluk satu: Sabit.

"Kalo Tuhan ngizinin lo mati sekarang, mau gimana, 'kan? Tapi jangan dulu lah. Gue masih butuh lo soalnya."

"PRET!"

Mulai duduk normal dengan tulang punggung menegak, Wirama memperlihatkan betapa berkarismanya dia sekaligus mengingatkan si gadis bahwa 'ini wilayah kekuasaanku' melalui ekspresinya.

"Ngapain lo ke sini?"

"Seneng kek lo, secara eksklusif gue nyamperin, terus gue nyaksiin lo ngedumel sendiri, heboh sendiri."

"Lo nggak tau gimana ruwetnya ngadepin naskah yang sinopsisnya kategori C tapi pembukaan K, 'kan? Lo juga nggak tau gimana ekspektasi terpental waktu baca isi cerita yang misgenre. Terus, pernah lo duduk di atas meja sambil makan? Logika mereka pada masuk pegadaian kali."

"Pedes amat Bang mulutnya," ejek Sabit, ia bahagia sekali mengetahui Wirama hampir gila karena naskah. Padahal penulis juga tak kalah menggila saat menulis cerita-cerita itu kendati akhirnya 'dibuang' sama editor-semacam Wirama. "Kali aja itu penulis saking gede imajinasi. Maklumin aja kenapa."

Irama BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang