6. Festival dan Permen Kapas

133 23 0
                                    

Suara ramai yang bersumber dari manusia menghidupkan jalanan. Banyak aktivitas yang terjadi di antara keramaian manusia itu. Dari kejauhan pun sudah terlihat banyak cahaya lampu yang memancar.

Tak heran sebenarnya mengapa masih banyak manusia yang berkeliaran memenuhi tanah lapang itu. Malam belum terlalu larut, jarum pendek baru saja berhenti di angka 8. Apalagi sedang ada festival yang sedang digelar disitu.

Festival itulah yang merupakan sumber dari banyaknya cahaya memancar. Tak terhitung berapa kepala manusia yang berada di sana. Tak terhitung pula sebanyak apa pedagang kaki lima menjajakan dagangannya.

Mobil Daihatsu Xenia keluaran tahun 2014 berhenti di parkiran tanah lapang itu. Mobil itu sudah aman, berada di dalam garis parkir karena bantuan dari tukang parkir. Jendela mobil dibuka, memberikan balasan terima kasih dalam bentuk uang ke tangan si tukang parkir.

Orang yang memberi uang kini melihat ke penumpang di sampingnya. Tak terasa ada senyum yang mengembang di pipinya kala dia melihat pantulan dari terangnya bianglala pada iris coklat itu.

Pantulan lampu berwarna-warni itu seolah-olah menjadi binar dari si pemilik mata. Binar yang sudah sangat sulit dia temukan akhir-akhir ini. Si pemilik mata kehilangan kelipnya saat matanya menangkap jasad dari orang tercinta.

Seungcheol diam-diam bangga memilih tempat ini untuk dia kunjungi bersama Jisoo. Paling tidak, dia bisa melihat mata Jisoo yang kembali berbinar. "Soo," panggil Seungcheol. Tangan Jisoo pun dia tunjuk pelan menggunakan jari telunjuk. Si pemilik nama tersadar dan menoleh.

"Kita udah sampai, ya?" tanya Jisoo, mendahului ucapan Seungcheol. Tanpa menjawab, Seungcheol mengangguk. Jisoo sudah sadar dimana mereka berada, tak perlu ada kata yang terlontar.

Mereka berdua sama-sama bergerak, berusaha melepaskan diri dari kukungan sabuk pengaman. Seungcheol yang sudah melepaskan seatbelt-nya pun turun, berjalan menuju tempat sebaliknya agar bisa membukakan pintu untuk Jisoo.

Saat pintu terbuka, Seungcheol melihat Jisoo masih kesulitan membuka seatbelt. Seungcheol juga menyadari bahwa Jisoo memasang sabuk pengamannya terlalu kencang sehingga Jisoo susah bergerak.

"Tolong, Kak..." Saat mendengar permintaan Jisoo, Seungcheol langsung menundukkan kepalanya. Tangan Seungcheol bergerak, berusaha melepaskan seatbelt yang ternyata macet. Tak butuh waktu lama bagi Seungcheol untuk melepaskan sabuk pengaman itu.

Jisoo menghembuskan nafasnya lega mengingat dia menahan nafasnya selagi Seungcheol membukakan seatbelt-nya. Demi menghindari kondisi canggung, Seungcheol langsung saja kembali berdiri tegak.

Jisoo keluar dari mobil sembari membawa tas selempangnya yang kecil. Jisoo mengenakan sweater biru muda ditambah dengan bawahan berupa jeans panjang, sudah jelas bahwa Jisoo sangat siap untuk menikmati wahana yang ada.

Sedangkan Seungcheol hanya mengenakan hoodie abu-abu diadukan dengan celana pendek selutut hitam. Seungcheol nampak hanya berniat untuk sekedar melihat mata Jisoo yang berbinar-binar.

Wahana maupun dagangan yang dipasarkan bukanlah tujuan utamanya. Jisoo adalah tujuan utamanya. Salah, tujuan hidupnya untuk sekarang. Seungcheol hanya berharap suatu saat nanti Jisoo bisa lepas dari kesedihannya.

Berminggu-minggu sudah berlalu, tensi diantaranya pun perlahan mengendur dari hari dimana banyaknya pertanyaan yang Jisoo lontarkan. Maka dari itu, Seungcheol mengajak Jisoo untuk pergi ke festival kecil yang digelar di  tanah kosong.

"Ayo bayar tiket dulu, Soo," ajak Seungcheol. Mereka berjalan beriringan menuju tempat loket tiket yang ternyata dikerumuni banyak orang. Secara tidak sadar, mereka langsung mengaitkan kedua tangan mereka.

Sifat protektif Seungcheol muncul, takut kehilangan jejak Jisoo. Jisoo pun begitu, dia tak mau tersesat dan kehilangan jejak Seungcheol. Setelah membayar tiket untuk dua orang, Seungcheol semakin mengeratkan genggamannya ketika mereka melangkah memasuki festival itu.

Ada banyak sekali manusia mengingat ini sudah termasuk jam malam. Para pedagang pun dikerumuni oleh orang yang ingin membeli dagangan si pendagang. Mata Seungcheol menyisiri area sekitar sembari membuka pembicaraan, "Kamu mau beli apa, Soo?"

Suaranya sedikit dia besarkan, tak ingin suaranya tenggelam dalam percakapan orang lain. "Permen kapas, boleh nggak?" tanya Jisoo dengan suara yang sedikit dinaikkan. Mendapat jawaban dari Jisoo, mata Seungcheol dengan cepat berbolak-balik mencari pedagang permen kapas.

Mereka semakin erat menyatukan tangan ketika melewati segerombolan orang. Mereka sama-sama takut kehilangan satu sama lain.

"Mas, permen kapasnya, satu," ucap Seungcheol. Telunjuknya menunjuk permen kapas serta menunjukkan angka satu. Si penjual yang awalnya tidak mengerti karena suara Seungcheol yang teredam akhirnya mengangguk.

Penjual itu mengambil satu plastik berisikan permen kapas berukuran besar dan diserahkan pada Seungcheol. Seungcheol memberikan itu untuk Jisoo agar dia bisa mengambil dompetnya. Selembar uang bernominal 10.000 diserahkan pada si penjual. Transaksi selesai.

"Nepi bentar dulu, Soo." Ajakan Seungcheol langsung Jisoo angguki. Mereka menepi sebentar di dekat satu stan penjual balon yang memang sedikit lebih sepi. Seungcheol menepi untuk mengecek barang-barangnya, sedangkan Jisoo menepi agar tidak kesulitan membuka permen kapasnya.

Barang-barangnya ternyata masih aman di kantong hoodie-nya. Kunci mobil, ponsel, dan dompet masih lengkap. "Kak," panggil Jisoo yang seketika mengalihkan perhatian Seungcheol.

Seungcheol kebingungan saat Jisoo menyerahkan setengah dari permen kapasnya yang berada di dalam plastik kepadanya. Paham kenapa Seungcheol mengerutkan dahi, Jisoo menjelaskan, "Aku nggak boleh makan permen kapas banyak-banyak. Kata Seokmin-"

Jisoo terdiam, menyadari nama yang dia sebut sebelum lanjut berucap, "Katanya, nanti bikin sakit gigi." Jangan kira Seungcheol bodoh dan tak mendengar nama itu. Hal itu sudah jadi pertanda bahwa Seokmin mengenal Jisoo lebih daripada dirinya.

"Oh, maaf, ya," kata Seungcheol. Tangan kanannya menerima plastik berisikan setengah permen kapas itu. Dia akan mengingat fakta ini, fakta dimana Jisoo tidak menyukai permen kapas berukuran besar.

Jisoo menggeleng, "Aku yang minta maaf karena ngerepotin." Perkataan Jisoo mengundang senyum dari Seungcheol. "Sekarang, boleh nggak kalau kita naik bianglala?" ajak Jisoo lalu menunjuk bianglala yang bersinar terang.

Saat mendapat reaksi berupa anggukan dari Seungcheol, Jisoo segera menarik lengan Seungcheol menuju ke tempat pembelian tiket bianglala. Dengan penuh semangat Jisoo menarik lengan Seungcheol sembari berceloteh.

Seungcheol menahan tawa ketika melihat betapa semangatnya Jisoo untuk menaiki bianglala itu. Mereka berdiskusi sebentar setelah membayar tiket masuk. "Mending naik yang warna biru atau kuning?"

"Yang merah aja, nggak terlalu goyang."

"Oke, warna putih."

Itulah percakapan mereka sebelum akhirnya memasuki tempat yang luarnya bercat merah sesuai ucapan Seungcheol. Mereka memilih untuk duduk berhadap-hadapan dan sisi yang berbeda.

Saat wahana mulai berjalan, Jisoo memekik kegirangan. Direkamnya kondisi di bawah dari atas bianglala, tak lupa pula menjepretnya. Seungcheol hanya memperhatikan Jisoo yang tersenyum lebar di saat melihat hasil jepretannya.

"Liat, deh, Seokmin!" Jisoo menyodorkan hasil jepretannya pada Seungcheol, sebelum sadar nama siapa yang kembali tersebut. Antusiasme Jisoo perlahan memudar, terlihat dari bahunya yang perlahan turun.

"Maaf." Satu kata itu terucap dari mulut Jisoo. Saat Seungcheol ingin menyanggahnya, Jisoo kembali melanjutkan, "Padahal aku udah berusaha buat tetap senang di momen ini dan berusaha untuk lupain Seokmin. Tapi, aku selalu keinget dia."

"Gapapa, Soo." Seungcheol tersenyum, yang siapapun bisa menyadari bahwa dia tersenyum di atas lukanya. Orang baru tetap akan selalu kalah dengan orang lama. Lebih sialnya lagi, Jisoo hanya mengiyakan ajakannya karena kasihan.

Lebih kasihan mana, ajakannya atau kisah percintaannya?

[✓] Lost Memories: Before That Day | CheolSooOù les histoires vivent. Découvrez maintenant