3. Perbincangan Alot

186 29 0
                                    

Suasana intens melingkupi ruang tamu. Keheningan melanda, hanya ada suara burung yang sayup-sayup terdengar. Benar-benar tak ada percakapan di antara ketiga orang yang saling melempar pandangan.

Tak ada kata tenang di benak Seungcheol. Hatinya bergemuruh, memikirkan pertanyaan macam apa yang akan terlontar dari mulut kepala keluarga Hong. Apakah pertanyaan dengan kalimat tajam?

Sebenarnya, pikiran Seungcheol lebih condong memikirkan Jisoo. Pemuda itu tak terlihat batang hidungnya setelah dibawa ke kamarnya. Pemuda dengan bagian bawah mata yang bengkak itu tetap setia memeluk boneka pemberian Seokmin dalam senyap.

Tak ada intensi untuk berbicara, hanya diam dan memeluk boneka itu dengan erat. Jisoo benar-benar seperti mayat hidup.

Selalu ada rasa kasihan yang terselip di hati Seungcheol. Pemuda yang dia cintai terlihat tak lagi bernyawa, seakan-akan nyawanya ikut dibawa masuk ke dalam liang lahat Seokmin.

Suara dehaman yang berasal dari Jihoon membuat Seungcheol tersadar. Paling tidaknya, Jisoo berada di tempat aman. Mungkin Seungkwan akan menenangkan Jisoo. Seungcheol bisa sedikit lega.

Saat melihat Jihoon membuka mulut, Seungcheol fokuskan pandangannya pada mereka. "Seungcheol, kami minta maaf." Seungcheol sontak terkejut karena ucapan yang dia kira bukanlah sebuah permintaan maaf.

Hubungan Seungcheol dengan keluarga Hong baik-baik saja, tak perlu ada kata maaf. Mereka seharusnya meminta maaf pada Jisoo, anak tunggal mereka. Dengan bingung Seungcheol bertanya, "Kenapa minta maaf, Om?"

"Kami... nggak tau kalau Jisoo masih ada hubungan sama Seokmin. Kami sudah minta Jisoo untuk mengakhiri, tapi kami nggak tau kalau Jisoo masih tetap berhubungan dengan Seokmin. Kami minta maaf," jelas Jihoon, mewakili Jina.

Seungcheol rasanya disambar petir. Apakah Jihoon dan Jina tak tahu bahwa kebahagiaan Jisoo berputar pada Seokmin? Apakah mereka tak tahu bahwa keputusan mereka yang menentang hubungan Jisoo dan Seokmin adalah sebuah kesalahan besar?

Jika saja mereka membiarkan Jisoo untuk menjalin hubungan dengan siapa saja, tanpa membedakan mereka melalui tingkatan ekonomi, mungkin Jisoo tak perlu belajar berbohong setiap kali ingin menghabiskan waktu bersama Seokmin.

Jika saja mereka tidak membentak Seokmin dengan kata-kata yang menyakitkan hati, mungkin Jisoo tidak akan pernah mau membalas ucapan mereka dan tetap menjadi anak penurut.

Jika saja mereka merestui hubungan Seokmin dan Jisoo, mungkin Jisoo tidak akan sesedih ini. Mungkin Jisoo tidak akan memeluk boneka beruang pemberian Seokmin terus-menerus. Mungkin Jisoo tidak akan mengalami patah hati dua kali.

Ditinggal mati oleh sang kekasih, pun anggapannya Jisoo yang membuat darah Jihoon mendidih. Lengkap sudah patah hati Jisoo. Sedihnya berlipat ganda.

Seungcheol memang hanya beberapa kali melihat Seokmin, namun sudah terlihat bahwa pemuda itu adalah sumber kebahagiaan bagi Jisoo. Seungcheol sempat kecewa saat tahu bahwa bukan dirinya yang selalu disebut setiap kali Jisoo bercerita.

Tetapi saat Seungcheol melihat betapa berserinya wajah Jisoo membicarakan tentang Seokmin, Seungcheol biarkan hatinya berdarah. Selama pemuda yang dia cintai tetap tersenyum, biarlah hatinya menjadi korban.

Setelah diam beberapa saat, Seungcheol akhirnya membalas, "Saya nggak papa, Om." Seungcheol pikir, inilah saat yang tepat agar Jihoon serta Jina bisa memahami perasaan anaknya.

"Saya nggak tau perasaan Jisoo gimana. Saya nggak tau gimana rasanya jadi Jisoo. Jadi, saya lebih mewajarkan. Toh, kami juga nggak ada hubungan pasti selain dari perjodohan ini," sambung Seungcheol.

Seungcheol memajukan sedikit tubuhnya sebelum lanjut berucap, "Saya nggak ada masalah sama Om maupun Tante. Ini pendapat saya dan nggak wajib disetujui, tapi kayaknya Om seharusnya minta maaf ke Jisoo, bukan ke saya."

"Saya nggak tau apa yang udah dilalui Jisoo sampai-sampai Jisoo menolak untuk putus hubungan dari Seokmin, maka dari itu saya nggak pantas untuk permintaan maaf Om." Seungcheol menjelaskan, sebisa mungkin detail dan memakai bahasa sopan. Seungcheol pun berharap Jihoon serta Jina bisa mengerti.

Seungcheol perhatikan Jihoon dan Jina secara bergantian. Mereka berdua hanya bertatap mata, namun nampaknya mereka berbagi satu pikiran yang sama. Seungcheol bisa menebak apa itu.

"Kami berterima kasih atas saran kamu, Cheol. Tapi tetap Jisoo yang salah. Kami hanya berharap kalau perjodohan ini nggak dibatalkan. Kami juga berharap berita ini nggak sampai ke telinga Ayah kamu."

Seungcheol tersenyum miris. Bagaimana, ya, perasaan Jisoo yang mempunyai orang tua seegois ini?

***

"Seungkwan?" Panggilan itu membuat kepala Seungkwan menoleh. Bukan tanpa alasan Seungcheol memanggil Seungkwan. Dia sedang mencari keberadaan Jisoo yang kemungkinan besar sedang ditemani Seungkwan, sementara dia hanya menemukan Seungkwan seorang diri di dapur.

"Iya, Pak? Kenapa, ya?" balas Seungkwan dengan suara pelan.

"Kamu... ada ngeliat Shua nggak?" Ada getaran ragu dalam diri Seungcheol. Di satu sisi, dirinya penasaran dengan keadaan Jisoo. Di lain sisi, dia merasa tak memiliki hak untuk mengecek keadaan Jisoo.

"Shua tadi saya liat di taman belakang, Pak. Disitu tempat favorit dia," jawab Seungkwan, menunjuk pintu menuju taman belakang rumah yang letaknya tak jauh. Seungcheol sempat terdiam, melihat ke arah pintu itu.

Setelah beberapa saat berpikir, dengan cepat ditepisnya pikiran bahwa dia tak berhak mengecek keadaan Jisoo. Orang tuanya saja tidak peduli, lalu siapa lagi yang akan peduli pada Jisoo selain dirinya dan Seungkwan?

"Oh, makasih, ya, Seungkwan," ucap Seungcheol yang dibalas anggukan oleh Seungkwan. Seungcheol putar arah, membawa langkahnya mendekati pintu taman belakang rumah Jisoo.

Saat pintu dibuka, udara segar menyambut Seungcheol. Seungcheol akui bahwa tempat ini begitu asri. Banyak tumbuhan yang berwarna hijau, pun banyak bunga-bunga berwarna warni yang tumbuh.

Seungcheol alihkan pandangannya ke samping, tempat bangku putih yang tersandar pada dinding rumah. Seungkwan benar, Jisoo duduk disitu. Pakaiannya sangat kasual, kaos putih sedikit kebesaran serta celana training hitam.

Di tangan Jisoo terdapat sebuah buku. Di buku itu pula Jisoo memainkan pulpennya, menulis sesuatu yang tak Seungcheol ketahui. "Shua?" Seungcheol memanggil Jisoo, berusaha mendapatkan atensi Jisoo.

"Saya duduk di samping kamu, boleh?" Tak Seungcheol sangka bahwa Jisoo akan mengangguk. Segera saja Seungcheol duduki bangku itu, walau membuat jarak diantara dirinya dan Jisoo.

Ada kesunyian di antara mereka. Tak ada satu pun yang betul-betul berniat untuk berbicara. Seungcheol sibuk mencari topik dan Jisoo tenggelam dalam pikirannya. Namun, kesunyian itu tak berlangsung lama saat Seungcheol membuka pembicaraan, "Kamu... gimana perasaan kamu selama ini?"

Dapat Seungcheol dengar suara pulpen yang bergerak di atas kertas mendadak berhenti. Itu pertanda bahwa Jisoo akan berbicara. Seungcheol pasang telinganya baik-baik setelah melihat Jisoo menutup bukunya.

"Gimana... perasaan aku? Aku juga bingung mau jelasinnya gimana." Baru pertama ini Seungcheol dengar suara Jisoo sepudar itu. Nampaknya, Jisoo menangis terlalu lama sampai-sampai suaranya nyaris menghilang.

"Jelasin aja... Kamu sedih atau marah atau apapun itu..."

Jisoo menghela nafas, "Nggak marah... Tapi, kecewa." Ujung mata Seungcheol dapat melihat tangan Jisoo yang tertaut. "Aku kecewa sama diriku sendiri, tapi aku nggak pernah kecewa sama Seokmin. Aku yang maksa dia buat tetap bersama," lanjut Jisoo.

"Aku minta maaf."

Seungcheol terkejut, mengapa Jisoo meminta maaf? "Kenapa minta maaf, Shu? Kamu nggak salah," bela Seungcheol. Dia bergerak, mendekatkan dirinya pada Jisoo dan berusaha untuk menatap kedua mata pemuda itu.

"Aku nyakitin dua hati orang... Papa sama Kak Cheol..."

Melihat bahu Jisoo yang mulai bergetar, Seungcheol segera mendekap pemuda itu demi tidak mendengar lagi ucapan permintaan maaf Jisoo. Tak semuanya merupakan salah Jisoo.

Ini juga salahnya, jatuh cinta pada Jisoo yang masih begitu menyayangi Seokmin. Mereka berdua sama-sama salah.

[✓] Lost Memories: Before That Day | CheolSooWhere stories live. Discover now