Terlebih sang empunya apartemen sendiri tidak punya jawaban. Tidak tahu siapa yang datang pagi-pagi seperti ini. Mengingat dia tidak punya siapa-siapa yang mengetahui nomor kamar apartemennya selain papa, Jiel, ART, dan dirinya sendiri.

Jiel yang diselimuti rasa penasaran memilih untuk membukakan pintu. Jua Nacha, ikut mengekorinya di belakang.

"Nacha," sapa seorang pria tidak tahu diri, melangkah masuk ke dalam, menghampiri Nacha.

Sebelas tahun ditinggal sang mama pergi. Dijanjikan banyak hal manis yang malah berujung pahit. Wardhana memang tidak ingkar perihal segala jaminan hidup enak untuk Nacha. Uang ratusan juta selalu ditransfer ke rekeningnya setiap bulan. Tapi bagaimana untuk janji akan selalu ada? Janji akan selalu membahagiakan?

Belasan tahun. Pria itu malah ikut menghilang. Pergi entah ke mana. Hanya menitipkan Nacha seorang diri pada tetangganya, beralih pada ART-ART yang pria itu pekerjakan. Semua kemewahan ini, sedikitpun Nacha tidak membutuhkannya.

"Harusnya tadi gak usah dibukain, Jie." Cewek itu menatap nanar sang Papa.

"Kok kamu gitu, sayang. Papa dateng harusnya disambut, dong."

"Ngapain Papa ke sini? Kirain udah lupa kalau punya anak!"

"Papa dipanggil sama pihak sekolah kamu. Papa anterin kamu ke sekolah, ya?"

Nacha mendecih malas mendengarnya. "Tumben mau dateng. Biasanya juga nyuruh sekretaris atau anak buah Papa." Sejenak cewek itu memalingkan wajahnya, lalu kembali beralih pada Wardhana.

"Udah lah, Pah. Mending sekarang Papa pergi. Anggap aja kalo Papa udah gak punya anak! Nacha juga gak pernah lagi makan dari uang Papa, kok. Nacha udah punya Jiel. Kalo perlu Nacha juga bisa keluar dari apartemen ini."

Wardhana diam, sedikit menundukkan kepalanya. Lidahnya kelu untuk melontarkan kata lagi. Dia tidak pernah menyangka kalau kehadirannya akan ditolak dengan kasar. Padahal selama ini pria itu merasa sudah mengusahakan segalanya untuk sang putri tercinta.

"Om. Nacha biar bareng sama Jiel aja ke sekolah," Jiel bersuara.

Menghela napas berat, Wardhana akhirnya mengangguk paham. Ia lalu melenggang pergi keluar tanpa mengatakan sepatah katapun.

"Jie! Suruh bawa lagi nih semua! Gue gak butuh!" sarkas Nacha, menendang beberapa paper bag dengan berbagai jenis ukuran yang dibawa oleh Wardhana untuknya. Baju-baju branded, barang-barang berharga, tas mahal. Apapun itu isinya Nacha sama sekali tidak membutuhkannya.

Jiel tak mau menghiraukan seruan Nacha. Cowok itu memilih pergi mengikuti Wardhana yang membawanya ke basemen apartemen.

Di dalam mobil hitam mewah yang terparkir. Wardhana terdengar beberapa kali menghela napas. Terlihat ada begitu banyak yang sebetulnya ingin pria itu katakan, hanya saja tidak tahu harus memulainya dari mana.

Sedetik kemudian, "Makasih … kamu selalu mau menjaga Nacha. Om akan ganti semua uang yang kamu keluarkan untuk putri Om. Tolong jaga Nacha sampai Om dapat ART baru, ya, Jiel."

Jiel menoleh, menatap wajah pria paruh baya yang terlihat kalut. Pria yang biasanya ia lihat melalui video call, atau panggilan biasa, tapi kini hadir di depan mata.

"Bi Siti akan mengundurkan diri. Om sudah meminta ART-ART sebelumnya untuk kembali berkerja di sana. Tapi tidak ada yang mau. Sampai sekarang Om masih belum mendapatkan penggantinya. Kamu tahu sendiri bagaimana Nacha. Dia keras kepala, sulit di atur, dan tidak pernah ada yang betah menghadapi sikapnya---"

"Termasuk, Om?" sahut Jiel cepat. Membuat Wardhana terdiam kaku.

"Om. Pertama Jiel mau bilang, kalau Om gak perlu ganti uang Jiel. Terus, Nacha pernah bilang sama Jiel. Dia nggak butuh harta atau kehidupan yang sekarang dia miliki. Nacha gak peduli kalau harus tinggal di rumah kecil, asal itu bersama Om."

7P | MY JIE On Goingजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें