4.

3.6K 674 27
                                    

Halo! Maafkeun aku dua kali senin absen posting. Aku pergi ke dua negara untuk beberapa urusan dan baru sampai kemarin. Jadi, untuk hari ini, aku akan posting 3 bab sekaligus. Satu untuk pengganti minggu lalu, satu untuk jadwal minggu ini, dan satu lagi untuk permintaan maafku karena gak posting hehehhee .. Jadi hari ini sampai bab enam, ya ... Muach! 


**** 


"Lo gila?" Cintya setengah berteriak dengan wajah tak percaya? "Seumur-umur gue jadi sekretaris Surya Salim, gak ada sekali pun gue pengen jadi pacar pura-puranya dia." Ia berkacak pinggang seraya mengerjap tak habis pikir. "Dan lo ... sepakat pura-pura jadi pacar dia?"

Aldira yang sedang bersantai di sofa akhir minggu ini dengan satu kotak es krim neopolitan, hanya mengangguk santai. Ia lebih menyukai fokus pada segar dan manis es krim yang ia campur dengan strawberry dan kiwi dari kulkas Cintya alih-alih memperhatikan ekspresi sahabatnya itu.

"Gue udah paham banget tentang hidup seorang Surya Salim. Satu mingguan kerja di rumah dia dan berinteraksi dengan kehidupan pribadi dia, membuat gue tahu apa yang dia dan anak-anaknya butuhkan."

"Apa?" tanya Cintya dengan nada menantang. "Please don't say perempuan penghangat ranjang. Gue gak ikhlas lo jauh-jauh ke ibu kota dan kuliah sampai sarjana hanya untuk jadi tukang belai pria hidung belang."

"No." Aldira menggeleng santai seraya menyendok es krimnya. "Gue tidak melacur dan tidak akan menjual tubuh gue untuk siapapun. Menurut informasi yang gue gali dari pekerja rumah dia sampai anak-anaknya yang selalu bicara buruk tentang Pak Surya dan gue, gue tahu sebenarnya mereka itu adalah orang-orang yang rapuh. Anak-anak itu kesepian, butuh perhatian, malu, rendah diri, dan tak yakin dengan hidup mereka."

Cintya bergeming, mendengarkan penuturan Aldira dengan saksama. Ia tak lagi berkacak pinggang, berganti sedekap dada sambil menunggu apapun yang akan Aldira katakan tentang pekerjaan barunya.

Aldira menghela napas panjang sambil mengaduk es krimnya. "Mereka butuh penengah. Sosok yang bisa menjadi jembatan antara ayah dan anak-anak itu. Sosok yang bisa mendampingi mereka bertiga, memahami keinginan dan kebutuhan mereka, lalu mengkordinasikannya dengan Pak Surya." Ia mengernyit dengan mata yang menerawang pada langit-langit. "Ini tuh mungkin kayak ... corporate relations yang mencoba memahami kebutuhan karyawan dan potensi karyawan lalu melaporkan kepada atasan terkait agar tahu stratregi yang bagus dalam mengembangkan perusahaan."

"Please Dira, kita lagi gak bahas bisnis."

"Gue tahu." Aldira mengangguk. "Itu tadi cuma analogi. Pak Surya jarang punya waktu sama anak-anaknya. Sekalinya ada waktu, anak-anak itu gak mau mendekat pada ayahnya. Miris banget, kan? Jadi butuh komunikator diantara mereka dan gue mulai memahami beberapa cara agar bisa menjadi jembatan pemersatu mereka." Ia menatap Cintya nelangsa. "Mereka bahkan gak pernah mau berangkat sekolah bareng ayahnya. Apapun yang gue katakan, tetap mereka pilih Pak Diman."

Cintya menggeleng pelan. "Gue makin gak ngerti."

"Intinya, gue akan memposisikan diri di tengah-tengah mereka sebagai kekasih Pak Surya, bukan baby sitter yang posisinya mutlak di bawah mereka."

"Yang justru gue tangkap tuh satu." Cintya menyusul duduk di sebelah Aldira, lalu mengambil kotak eskrim dari sahabatnya dan mulai ikut menikmati. "Lo bukan jadi relations untuk mereka tapi memposisikan dirilo jadi ibu anak-anak itu dan istri Pak Surya."

"Ya enggaklah!"

Cintya mengangguk. "Yang gue tangkep justru itu, tapi ya terserah lo anggepnya gimana." Ia meletakkan sendok ke kotak, lalu mengembalikan kotak es krim itu ke Aldira. "Lo inget Evi? Temen SMP kita yang cupu dulu itu?"

Becoming Daddy SitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang