Atarashii Mondai

14 5 0
                                    

Jangan panik. Jangan panik.

Lagi-lagi, Thalia mengucapkan kalimat mantranya. Terkadang, keadaan yang buruk memang bisa menjadi lebih buruk.

Saat ini, di Canon Plaza yang berada di Ginza, seluruh semangat dalam diri Thalia seolah menguap. Lensa telephoto-nya bisa diperbaiki selama—kurang-lebih—dua minggu, tetapi kunjungannya di Tokyo tidak sampai dua minggu lagi. Dan, acara-acara yang harus diliputnya tidak bisa menunggu.

Sedikit gontai, Thalia menjejakkan kakinya di eskalator yang membawanya turun ke lantai satu. Ia membawa kembali lensa telephoto-nya. Tidak mungkin juga ia minta bantuan Dean. Ia tidak terbiasa meminta. Tetapi, ia butuh lensa sekarang. Pandangannya kosong. Pikirannya buntu. Thalia tidak menemukan satu cara pun.

"Berapa nomor rekening, Mbak?" Laki-laki asing yang menabraknya mengekori langkah Thalia.

Mendengar pertanyaan itu, Thalia menghentikan kedua kakinya, lantas berbalik dengan kening mengerut. "Nomor rekening?"

Laki-laki itu mengangguk. "Saya mau transfer uang buat ganti lensa Mbak."

"Lho, nggak bisa gitu dong! Saya butuh lensa buat liputan, jadi kamu harus bantu saya dapetin lensa baru!" tukas Thalia sebal melihat sikap tidak mau ikut ambil pusing laki-laki di hadapannya ini. Ia berusaha menahan amarahnya karena memikirkan nasibnya di Tokyo lebih penting. Nasib buruk yang disebabkan laki-laki asing itu. Laki-laki yang menabraknya. Laki-laki yang merusak lensa kesayangannya. Laki-laki yang merusak hari baiknya. Namun, emosi tidak akan menyelesaikan masalah. Thalia menahan diri mati-matian.

"Begini, Mbak, tadi Mbak udah denger sendiri, kan, kalau barang yang spesifikasinya sama harus pesan dulu—itu juga kalau ada—dan kalau lensa Mbak diperbaiki sekitar dua minggu?"

"Ya, ya." Thalia memutar bola matanya dan menjawab ketus. Emosinya mulai tersulut. "Terus, kalau tahu begitu, saya motret pakai apa?"

"Ya udah, biar kita sama-sama enak, saya kasih Mbak dua pilihan; saya transfer uang ke Mbak, terus Mbak sendiri beli lensa baru. Atau Mbak bisa pilih lensa yang ada di sini, nanti saya yang bayar." Laki-laki itu terlihat ikut menahan emosinya.

"Kamu seenaknya banget ya ngasih saya pilihan kayak gitu!" ujar Thalia tak sabar. Ia tidak peduli pada pengunjung lain yang melihat ke arah mereka begitu mendengar suaranya meninggi. "Oh, jelas, kamu nggak tahu arti lensa ini buat saya!"

Laki-laki itu menarik napas, mengumpulkan kekuatan agar tidak ikut tersulut emosinya. "Terus, Mbak, maunya gimana?"

"Kamu harus bantu saya cari lensa yang sama dengan punya saya!" tegas Thalia.

Laki-laki itu diam sejenak, tampak berpikir, lalu berkata, "Oke, gimana kalau kita coba cari di Akihabara, Mbak? Mungkin ada." Ia menawarkan.

Akihabara? Thalia melirik jam tangannya. Mungkin masih sempat sebelum ia memenuhi janji dengan seorang desainer untuk wawancara. Ia mengangkat bahu, menyetujui tawaran itu.

***

Kita adalah dua kutub yang berlainan,
yang saling mencari arah.

Hibiya Line yang membawa Thalia dan Tora dari Ginza, berhenti di Stasiun Akihabara.

Sekitar lima menit berjalan dari pintu keluar stasiun, keramaian dan hiruk-pikuk menyambut keduanya. Thalia mengedarkan pandangan saat melewati gedung-gedung di Akihabara. Ia sudah sering mendengar tentang distrik pusat penjualan elektronik terbesar itu, tetapi baru kali ini ia melihat secara nyata. Udara hangat musim panas terasa meski langit di atas Tokyo sudah gelap. Para penjual meneriakkan
dengan ramah.

Falling in TokyoWhere stories live. Discover now