Jae dan Sifatnya

81 17 11
                                        

Berawal sore itu, saya yang baru keluar dari kelas berharap mendung yang sudah sejak siang tadi tak benar-benar menumpahkan air matanya. Jae yang tiba-tiba menghampiri saya, dengan menenteng totebag yang isinya entah apa seutas senyum terukir ketika dia melihat saya.

Saya membalas senyuman itu dengan canggung, tepat hari ini adalah seminggu setelah Jae menyatakan perasaanya kepada saya. Saya kira waktu itu dia hanya bercanda dan hanya membual tentang perasaannya namun setelah dia benar-benar meyakinkan saya pada akhirnya saya luluh juga.

"Ayo aku anterin."

Seperkian detik ucapannya itu membuat sengatan kecil di perut saya, lalu saya mencoba kembali menetralkan diri.

"Ng-nggak."

Setelah balasan singkat saya yang di hadiahi tawa olehnya membuat saya agak bingung, saya takut jawaban saya yang sedikit terbata membuat Jae tahu bagaimana susah payahnya saya menyembuyikan perasaan saya yang masih canggung.

Seperti beberapa hari yang lalu ketika Jae menanyakan kegiatan saya, makanan kesukaan saya, acara favorit saya dan tentang teman-teman saya. Saat itu saya ketahuan canggung.

"Ayo aku anterin aja." Bujuknya lagi kepada saya. "Hemat."

"Nggak usah, Jae."

Tangan kirinya yang bebas kemudian menggenggam pergelangan tangan saya, menarik saya lembut untuk mengikuti langkahnya. Salah satu sifat Jae yang baru saya tau adalah Jae suka memaksa.

Hujan benar-benar turun setelah beberapa saat Jae melajukan motor maticnya, Jae menawarkan saya untuk berteduh sebentar, sifat kedua yang saya tau tentang Jae adalah dia selalu bertanya tentang hal-hal kecil yang tentu saja dia sudah tau jawabannya, pernah sekali saya tanya kenapa dia suka bertanya hal-hal sepele kapada saya dan jawabanya "Kalau kita lagi berdua, berarti aku nggak boleh egois tanpa harus tanya kamu dulu."

Di halte pojok kota saya dan Jae duduk menunggu hingga hujan reda, Jae yang memang lebih cerewet daripada saya medominasi obrolan kami, Jae bercerita tentang dia yang kesal karena jam mata kuliahnya yang diundur karena dosennya telat dan banyak lagi hal-hal yang dia ceritakan.

"Kuliah kamu lancar?"

"Lancar."

Jae kembali tersenyum, menatap saya dengan lekat beberapa saat hingga senyum di wajahnya itu berubah dengan tawa yang lebih keras, saya pukul lengannya sambil menggangkat alis bertanya mengapa.

"Kalo ngomong jangan setengah-setengah, yang panjang jangan canggung sama aku kita kan udah pacaran."

"Siapa yang canggung, enggak kok!"

"Satu lagi, jadi orang jangan bikin gemes."

Saya sesegera mungkin memalingkan wajah darinya, sebelum pipi saya yang sudah seperti kepiting rebus ini ketahuan oleh lelaki berhoodie abu di samping saya ini.

"Biasanya aku benci hujan, tapi kali ini hujan bikin aku seneng Ra. Kata orang hal yang paling di tunggu itu ketika hujan udah reda adalah pelangi tapi baru kali ini aku nggak mau liat pelangi."

Hal ketiga, yang paling saya tau tentang Jaenandra Stiyoso adalah manusia tukang ngardus yang sayangnya semua ucapanya yang terlalu manis membuat saya lupa kalau yang keluar dari mulutnya hanya gombalan semata.

"Dangdut banget kamu."

"Beneran, suwer deh."

Saya tersenyum kecil melihat raut wajahnya yang serius dan dua jarinya yang membentuk peace.

Hujan kali ini benar-benar reda saya dan Jae sama-sama terdiam sama-sama larut akan pikiran, Jae yang kemudian menggengam tangan saya membuat desiran hangat di lubuk hati saya.

Sayup-sayup langit yang masih terlihat mendung menemani sore saya dan Jae di atas motor matic merahnya.

"Yah, dua belokan lagi udah sampai rumah kamu."

Helaian nafasnya bisa saya dengar, saya eratkan tangan saya yang melingkar di pinggangnya agar nanti jika saya benar-benar pulang, Jae tidak merasa usahanya mengantar saya sia-sia.

"Langsung mandi, ganti baju, kalo panas atau nggak enak badan langsung telpon aku."

"Iya."

"Iya apa?"

"Langsung mandi, ganti baju, kalo panas atau nggak enak badan langsung telpon kamu."

"Pinter, eh tapi beneran langsung telpon ya, kalo nggak sakit apa demam telpon juga. Harus ngasih kabar."

"Iya Je, iya."

Tangannya mencubit gemas pipi saya matanya yang sipit sekarang hanya terlihat segaris senyumnya yang lebar membuat saya urung untuk segera pergi dari hadapannya, rasanya saya ingin kembali memeluknya.

"Udah ya, aku pamit."

"Iya." Seutas senyum saya berikan kepadanya, dibarengi dengan lambaian tangan saya. Jae dan motor matic merahnya benar-benar pergi.

Sekarang hanya tinggal saya dan jantung saya yang berdetak lebih cepat tak sesuai ritme biasanya.

Jae cerewet.

Tapi saya suka.




All About Jaenandra [END]Where stories live. Discover now