"Iya." Nyi Ambar duduk di kursi belakang. Tak lama kemudian, Mbak Rini ke luar sembari membawa tas besar. Kami pun berangkat menuju terminal. Setelah memastikan ia menaiki bus, aku bergegas pulang.

Sekitar pukul delapan malam, ayah sudah pulang ke rumah. Bergegas aku turun untuk menyambutnya. "Rin. Rini!" Ia berjalan ke ruang tengah sembari memanggil Mbak Rini.

Aku menuruni tangga, "Mbak Rini bilang ayah mau ada tamu?"

"Gak jadi."

"Hmm, padahal aku udah masak banyak."

"Kok kamu yang masak? Rini ke mana?"

"Ayah jangan pura-pura gak tau."

"Apa dia udah meninggal?"

"Belum."

"Loh, terus ke mana?"

"Aku suruh dia pulang kampung."

"Kok kamu gak bilang ayah dulu?"

"Sengaja. Aku gak mau nasib dia sama kaya pembantu yang lain."

"Ayah terpaksa ngelakuin itu, El."

"Terpaksa? Di luar banyak calon tumbal lain! Kenapa harus Mbak Rini?"

"Gilang udah bangun dari koma. Suatu saat dia pasti bakal berhadapan lagi sama sekte. Jadi kita harus siap-siap."

"Aku gak peduli sama dia, Yah. Ayah bebas mau numbalin siapa aja, asalkan bukan Mbak Rini. Dia udah kerja lama di sini. Aku juga cocok sama dia."

"Ayah gak sempet nyari tumbal lain, El."

"Pasien di sana kan banyak!"

"Sepi, El."

"Minta Ki Kendil aja yang nyari. Tuh kakek-kakek males amat!"

"Jaga omongan kamu, El!" Ayah marah. "Pokoknya apapun yang terjadi Rini harus tetep mati!"

"Berarti ayah harus berhadapan sama aku."

Ayah duduk di sofa. "Ayah gak mungkin ngelukain kamu, El," ucapnya.

"Kalau begitu, jangan ngelukain Mbak Rini juga," sahutku.

"Oke, tapi ayah mau nanya satu hal sama kamu, El."

"Apa?"

"Apa kamu berencana ninggalin sekte?"

"Sejauh ini belum."

"Jangan lakuin itu, El. Ayah takut kamu bakal diincer sama Mr X dan Haji Rofi."

"Aku juga udah tau itu, Yah."

"Sekarang sebagai gantinya, ayah mau kamu nyerahin satu tumbal, malam ini juga."

"Aku gak mau, Yah."

"Kamu harus mau. Kalau gak, ayah bakal kurung kamu."

"Ayah gak bakal bisa."

"Kata siapa?"

Aku membalikan badan, ternyata sudah ada Ki Kendil di hadapan.  "Turuti perkataan ayahmu, El," ucapnya.

"Saya gak mau!" tolakku.

"Kurung dia, Ki!" perintah Ayah.

Ki Kendil mendekat, "Jangan macem-macem!" gertakku. Ia mengayunkan tongkatnya hendak memukulku.

Duk!

Nyi Ambar tiba-tiba datang dan menahan tongkat itu. "Jangan kamu sentuh anak ini, Kendil," ucapnya dengan nada tinggi.

"Seharusnya kamu ajari anak ini untuk tidak melawan orang tuanya!" balas Ki Kendil.

"Setiap anak memiliki pilihan hidup sendiri. Jadi tidak sepantasnya orang tua memaksa anaknya untuk mengikuti pilihannya."

"Ambar, kamu tau apa yang akan anak ini hadapi nanti."

"Saya sangat tau dan saya akan tetap melindungi dia."

"Kamu tidak akan sanggup Ambar!"

"Saya tau itu."

"Sudah-sudah!" ucap Ayah. "Sekarang apa yang sebenernya mau kamu lakuin, El. Kamu gak bakal selamanya nolak nyari tumbal."

"Aku gak punya rencana apa-apa, Yah. Tapi untuk sekarang, aku gak berencana buat numbalin siapa-siapa. Jadi harusnya ayah bisa ngerti."

"Oke, ayah hargai itu. Sekarang kamu balik ke kamar."

"Awas!" Aku meminta Ki Kendil minggir. Kemudian melangkah ke kamar, ditemani Nyi Ambar. "Apa Mbak Rini aman?" tanyaku.

"Aman," balasnya. 

"Sip!" Malam ini aku bisa tidur dengan tenang.

BERSAMBUNG

Sekte - Para Pencari Tumbal [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now