Chapter 3

1 1 0
                                    

Aku melepas kalung itu, ku letakan di dalam loker mejaku, aku berharap dengan ini aku bisa melupakan kejadian itu. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, ku dongakan kepalaku menghadap langit-langit kamarku. Banyak retakan terbentuk di atas sana, sama seperti kehidupanku sekarang, banyak sekali retakan yang timbul sejak hari itu. Aku berharap bisa kembali ke waktu itu dan mengubah keseluruhan cerita.

Berbicara tentang waktu, hampir saja aku lupa, aku baru saja membeli sebuah baterai untuk jamku yg mati itu. Aku berdiri dan mengambil kursi untuk menopangku mengambil jam dinding yang terpaku di atas tembok. Ku buka penutup baterai di belakang jam itu, ku ambil baterai lama yang sudah mati lalu ku ganti dengan baterai yang baru saja kubeli, ku balikan jam itu dan kulihat jarum jam masih tidak menunjukan adanya tanda tanda pergerakan, ku pukul-pukul bagian belakang jam tersebut dengan harap jam itu bisa kembali hidup secara ajaib. Namun sayangnya ke ajaiban tidak pernah datang sekalipun ke hidupku, jam itu tetap mati seperti awalnya, sedikit ada rasa sesal dariku karena ku harus mengeluarkan uang untuk mengganti baterai jam usang yang ternyata memang sudah rusak.

TOK..TOK..TOK..

Hampir ku jatuh dari kursi tempatku berdiri ketika seseorang secara tiba-tiba menggedor-gedor pintu kos ku dengan keras. Aku meletakan kembali jam dinding di tanganku ke tempat semula. Segera ku turun dari kursi dan membuka pintu dengan suasana hati yang masih merasa kesal dan kaget. Kagetku pun bertambah setelah membuka pintu, 2 orang berbadan besar dengan setelan hitam sudah menunggu di depan pintu itu, kenapa orang ini harus datang di saat aku sudah hampir kehabisan uang bulananku.

Salah seorang dari pria itu dengan rambut terkuncir mendorong diriku yang berdiri membeku untuk masuk ke dalam kamar kosku, sedangnya temannya yang tak memiliki rambut bertugas menutup pintu. Pria yang mendorongku menarik kursi yang kugunakan untuk mengambil jam tadi, lalu dia mendudukanku di atas kursi tersebut. Dua pria itu kini berdiri di depan tempatku duduk sambil mereka menyilangkan tangannya.

"Di mana uang bulan ini?" Si pria gondrong menjadi orang pertama yang berbicara.

"Gak ada, bang," Jawabku dengan nada gelagapan.

"Di mana uang bulan ini?" Si botak bergantian menanyaiku pertanyaan yang sama.

"Bulan depan saya bayar, bang," Jawabku

"Di mana uang bulan ini?" Kini mereka mulai menggunakan tamparan sambil menanyaiku.

Pertanyaan yang sama itu terus berulang berkali-kali hingga ku tak dapat lagi menghitungnya, dan setiap pertanyaan itu selalu ku jawab dengan jawaban senada bahwa aku sedang tidak memiliki uang saat ini. Pertanyan yang diiringi tamparan perlahan digantikan dengan pukulan keperutku, mereka trus memukuli perutku hingga akhirnya arah pukulan mereka mulai berubah haluan menuju ke arahku, pukulan yang bertubi-tubi terus dilayangkan ke tubuhku hingga akhirnya aku tak sanggup membuka mataku, semua yang ku lihat hanyalah kegelapan.

***

Kenapa orang-orang ini menangis dengan dimasukannya mayat itu kedalam lian kubur. Kenapa mereka menangisi mayat dari orang biadab itu. Aku, akulah yang seharusnya kalian tangisi, bagaimana bisa kalian menagisi orang yang meninggalkanku untuk hidup sendiri, orang yang membunuh dirinya sendiri dikala aku yang merupakan anaknya baru saja mengalami kejadian tak menyenangkan. Sebulan ini aku harus berhadapan dengan traumaku tapi orang itu malah menambah beban mentalku dengan membunuh dirinya sendiri, orang seperti itu tak pantas disebut sebagai Ayah.

Baru saya aku pulang ke kediamanku dari pemakaman ayah, kini ku disambut kembali dengan penampakan tak mengenakan, kenapa orang-orang itu mengangkut barang-barang ku keluar dari rumah. Terlihat ada salah seorang dengan pakaian rapi seperti sedang menyuruh orang-orang yang mengangkut barangku keluar, aku berasumsi bahwa dialah yang bertanggung jawab. Aku memberanikan diri untuk menghampirinya dan menanyainya tentang maksud dari semua ini.

Sesaat setelah ku sampai di sampingnya dia menoleh kearahku dan menunjukan senyum seakan dia sudah mengenalku, "Oh, mas tama. Kenapa mas kok keliatan kaget gitu? Pak Anton belum bilang ke kamu, yah? Sebulan lalu dia baru aja pinjam uang ke bos saya, jadi maaf ya, sepertinya mulai sekarang kamu harus cari tempat tinggal baru, soalnya rumah ini dan seisinya harus dilelang buat bayar utang ayah kamu." Dia mengahiri kalimatnya dengan senyum tipis diiringi tawa ringan, seakan semua ini hanya hal kecil.

***

Aku perlahan mulai sadar kembali setelah kurasakan ada air mengalir dari kepalaku, ku liat si gondrong itu sedang menuangkan air ke atas kepalaku untuk membangunkanku, sedangkan si botak di belakangnya sedang memegang lembaran uang nominam seratus ribu sebanyak 5 lembar, sambil mengipaskannya untuk menunjukannya kepadaku.

"Ini ada uangnya, harusnya bilang dari tadi, dong. Jadi kan gak harus bonyok," Ucap si botak.

"Oh, iya, jangan lupa, in masih bunganya, jangan lupa bayar angsuran wajibnya bulan depan, sekalian sama jatah bulan depan. Itu juga kalau masih mau dua bola mata lu utuh." Kedua penagih hutang itu melangkahkan kaki keluar kamarku.

Tak sadar kini tetesan air mata mulai mengucuri pipiku, aku terus menangisi kehidupanku yang hancur ini. Kapan kesialan ini akan berhenti menghampiriku, aku juga ingin hidup dengan tenang layaknya kehidupan yang dijalani orang lain. Hutang yang ayahku tinggalkan seperti tidak ada habisnya meskipun telah kubayar setiap bulannya. Dasar ayah bangsat!!!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 27, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Cursed LoopWhere stories live. Discover now