CHAPTER 1

6 2 0
                                    

"Mulai hari ini dosis alprazolam kamu naik menjadi 1 mg, Tama,'" Ucap dr. Ratna "Minum obat ini 3 kali setiap harinya, dosis pertama ketika kamu bangun tidur, dosis kedua diminum minimal 8 jam setelah dosis pertama, dan dosis terakhir diminum sesaat sebelum tidur untuk mengatasi gangguan tidur yang kamu alami, jangan minum lebih dari 3 kali per harinya."

"Baik, dok." Aku mengangguk kepada dr. Ratna.

"Untuk obat lainnya tetap mengikuti resep sebelumnya tanpa adanya perubahan. Seperti biasanya kamu bisa menebus obatnya di resepsionis, ya." Sekali lagi dr. Ratna mengingatkanku untuk obatnya "Oh, iya, sebelum kita akhiri sesi hari ini, jangan lupa kamu harus nulis jurnal harian kamu, minggu depan kamu bisa ceritakan di depan saya.

Aku kembali mengiyakan pernyataan dari dr. Ratna, entah mengapa dia terus mengingatkanku di mana letak pengambilan obat setiap sesinya. Bagaimana mungkin aku bisa lupa tempat itu, resepsionis adalah tempatku kehilangan Rp. 300.000 dari uangku setiap minggunya. Untungnya ada bantuan ansuransi negara, jika tidak, mungkin saja aku harus menghamburkan seluruh nominal uang bulananku ke tempat ini.

Akhirnya sesi kali ini berakhir setelah hampir sejam penuh aku menghabiskan waktu hanya berbincang hal yang membosankan bersama dr. Ratna. Aku mulai menegakan kakiku untuk bangun dari sofa putih yang menahanku beberapa saat lalu. Kata terima kasih aku ucapkan sebelum akhirnya aku mulai melangkahkan kakiku keluar dari ruangan ini.

Tepat setelah aku membuka pintu keluar, dr. Ratna mengucapkan kalimat semangat kepadaku dengan senyum lebar yang sudah terukir di wajahnya "Semangat terus, Tama!!! Sampai jumpa minggu depan, yah."

Aku pun juga akan sebahagia dia, atau bahkan aku bisa memamerkan senyum yang lebih lebar dan mengucapkan kalimat semangat yang lebih keras, jika ada orang yang mau membayarku hanya untuk menjadi teman bicara seperti dirinya. Hatiku kesal namun ku harus membalasnya walau dengan senyum yang sedikit terpaksa. Setelah kedua kakiku menapakan diri keluar ruangan itu, aku kembali menutup pintu tersebut, tertutupnya pintu itu bagaikan menjadi penanda jikalau sesi terapi hari ini secara resmi telah benar-benar selesai.

***

Sekarang aku harus kembali berjalan pulang ke kosanku. Tanpa kendaraan pribadi, berjalan kaki merupakan satu-satunya pilihan jika aku memang ingin tetap makan dan bertahan hidup untuk bulan selanjutnya. Lagipula 30 menit berjalan kaki dari Rumah sakit menuju kediamanku tidak akan membunuhku, tetapi pasar sore yang menungguku dalam beberapa meter kedepan mungkin saja. Bukan pasarnya yang aku takutkan, tetapi kerumunan orang orang yang berkumpul di tempat itu membuat gangguan kecemasanku seperti akan muncul. Suara-suara tanpa wujud akan mulai terdengar dari belakangku, jika gangguan kecemasanku kambuh. Setiap suara yang terdengar seperti akan menghakimiku atas kesalahan-kesalahanku.

"Masih hidup ajah tuh anak!"

"Gak tau malu yah dia."

"Mati aja lu!"

...

Yang kutakutkan pun akhirnya terjadi, suara-suara itu mulai muncul dengan masuknya aku ke area pasar, suara-suara itu terdengar semakin jelas dengan bertambahnya kerumunan orang di pasar. Jantungku pun perlahan berdegub semakin kencang, lalu napasku menjadi semakin berat, diikuti dengan pandanganku yang kian kabur, langkah kakiku menjadi tidak teratur, ku coba memandangi lingkungan sekitar, kulihat tatapan orang-orang yang memandang rendah ke arahku, tatapan orang-orang terlihat seakan mereka memandang hama. Kini kulihat kabut hitam datang menyelimuti pandanganku, pandanganku menjadi semakin gelap hingga akhirnya hanya warna hitam pekat yang kulihat.

Aku bukan hama, aku juga manusia seperti mereka. Tanganku ada dua seperti mereka, kakiku juga sepasang seperti mereka, mataku lengkap, bahkan aku tidak mengenakan kacamata, apa yang berbeda dariku? Apa ini karena dosaku? Manusia mana yang tidak berbuat dosa. Omong kosong jika ada manusia suci di dunia ini.

"Mas... mas... masnya gak papa?" Suara seorang wanita dengan sedikit tepukan lembut di pipiku perlahan mulai menyadarkanku.

Setelah mataku terbuka lebar, aku melihat kanan dan kiriku, tanpa sadar aku sudah terkapar di atas trotoar di tengah tengah pasar, orang orang mengerumuniku dengan tatapan bingung, mulut mereka tak bersuara namun mata mereka secara tersirat bertanya-tanya apa yang sedang terjadi padaku. Aku yang sudah sepenuhnya sadar bergegas bangkit dan berlari meninggalkan kerumunan itu.

Aku berlari menuju ke toko acak untuk kabur dari orang- orang tadi. Entah ini kebetulan atau aku yang memang sengaja lari masuk ke toko ini, aku memang sedang membutuhkan jam baterai, dan beruntungnya aku masuk ke toko jam.

"Santai kali, bro. gak usah lari-lari, kalo tuh pintu rusak lu mau ganti, hah?" Pemilik toko menyambutku dengan wajah yang masam.

Memang ini salahku karena masuk dengan terburu-buru, tapi tetap kurasa pelanggan tidak layak mendapat sambutan seperti itu.

"Mo beli apa?" Pemilik toko kembali bersuara.

"Anu, pak. Itu, baterai jam AA 1 bii." Tanganku menunjuk baterai yang terpampang rapi di dalam rak yang berada di belakang pemilik toko

"3000." Pemilik toko menyodorkan baterainya padaku.

Langsung setelah baterai itu sampai ditanganku, kubayarkan selembar uang 2000, dan dua keping koin 500 perak. Ingin ku langsung bergereak kembali menuju kosan, namun kejadian sebelumnya sudah membuatku sedikit lelah. Sebenernya aku enggan, tapi kucoba memberanikan untuk meminta izin tuk beristirahat sebentar di tokonya. Awalnya kukira pemilik toko akan menolak karena melihat sifatnya kepadaku sebelumnya, tetapi justru ia memperbolehkanku untuk duduk.

Sembari beristirahat, aku memandangi lanskap toko itu, jam dengan berbagai jenis terpampang rapi di sekeliling tembok di dalam toko itu. Tatanan toko tersebut membuatku kagum, sepertinya si pemilik toko memang benar mencintai tokonya, mungkin sebab itu dia memarahiku karena tidak berhati-hati saat memasuki toko ini.

"Mau teh gak?" Suara pemilik toko memecah lamunanku

"Eh, boleh, pak." Aku mengiyakan tawaran pemilik toko.

Ia kembali ke belakang untuk membuatkan teh setelah aku mengiyakan. Tak lama kemudian dua gelas teh pun datang, kita berdua meminum teh tersebut sambil berbincang-bincang ringan untuk mengisi kekosongan. Obrolan kami diawali dengan menanyakan nama masing, Pak Ta'im, itu nama si pemilik toko, nama yang cocok untuk seorang penjual jam. Obrolan kami diisi pertanyaan pertanyaan ringan yang bahkan sebenarnya tidak penting dan tidak ada pengaruhnya bagiku maupun Pak Ta'im. Namun sekali lagi oboran itu terjadi memang hanya untuk mengisi kekosongan, bukan untuk wawancara kerja. Perbincangan kecil kita terus berlanjut hingga akhirnya teh di kedua gelas kita sudah habis. Rasa lelahku sekarangpun sudah terasa hilang, kini ku berpamitan ke pada Pak Ta'im untuk kembali pulang. Ternyata dibalik wajahnya yang garang, kumis putihnya yang tebal, dan cara bicara yang menusuk hati, dia memiliki hati yang hangat.

***

Pintu kayu yang nampak ringkih, dengan banyaknya serbuk-serbuk kayu hasil kerja rayap, kini telah berdiri di depanku. Walaupun begitu, pintu inilah yang akan mengantarkanku dari dunia luar yang kejam menuju tempat ranjangku bermukim, di balik pintu inilah aku bisa beristirahat mengisi tenaga yang sudah raib di terkam dunia luar. Jari-jemariku kini mulai bergerak dari kantung peristirahatannya menuju gagang pintu yang sudah rindu padaku. Kuputar gagang pintu itu lalu ku dorong untuk membukanya.

Kagetku tak terbendung ketika kulihat ada sesosok pria dengan rambut panjang yang menutupi matanya berada di balik pintu ini. Hingga kini masih dengan jelas terukir di ingatanku, pria itu adalah orang yang tertabrak mobilku hari itu. Tanpa sadar air mata menetes di pipiku, rasa penyesalanku sungguh besar, namun tak ada yang bisa ku lakukan. Ku usap tetesan tangis yang keluar dari mataku, sesaat setelah akun membalikan pandangan padanya, sosok itu hilang. Aku bergegas masuk ke dalam kamar kosku dan langsung menutup pintu. Aku mengambil posisi untuk bersandar di atas ranjangku.

Kuraih kalung yang menggantung di leherku, ku tarik keluar dari balik bajuku, terlihat liontin yang berbentuk seperti seorang penari wanita dan pita yang mengelilingi tubuhnya membentuk angka delapan secara horizontal. Kupandangi liontin tersebut dengan penuh sesal, seharusnya ku bawa pria itu ke rumah sakit, dan bukannya membawa kabur kalung ini.

Cursed LoopOnde histórias criam vida. Descubra agora