Motor Bebek C-70

77 10 0
                                    

Seseorang baru menyadari arti kehilangan saat orang yang dicintainya pergi untuk selama-selamanya. Begitu yang dirasakan wanita paruh baya, biasa dipanggil Mak Ipah.

Sejak Abah-suaminya-yang meninggal dua minggu yang lalu, dia merasakan hidupnya hampa dan separuh jiwanya hilang.

Awal-awal kepergian sang suami, Mak Ipah masih terbawa-bawa melakukan rutinitas, seperti menyediakan kopi dan menyiapkan sarapan. Ketika sadar, dia terduduk lemas seraya menahan isak.

Wanita itu merindukan kebiasaan suami yang dulu menjengkelkan dan tidak disukainya.

Sekarang, dia tidak pernah melihat lagi handuk basah di atas kasur, sandal di depan pintu, dan tiap pagi ikut panik mencari kunci motor. Ternyata, kunci itu ada dalam saku celana suaminya.

Akan tetapi, dari sekian kebiasaan yang menjengkelkan, Mak Ipah paling tidak suka melihat suaminya berlama-lama dengan motor buatan Jepang yang selama ini menemani hari-harinya. Kecintaannya kepada motor bebek C-70 itu terlalu berlebihan. Abah bisa berjam-jam menghabiskan hari liburnya bersama motornya. Teras rumah sudah seperti bengkel motor kalau sang suami sedang membongkar motor.

"Diapain lagi, sih, Bah."

"Dibersihin," jawab Abah singkat seraya mengelap onderdil seukuran ibu jari.

"Jual aja, Bah. Modelnya sudah ketinggalan zaman meskipun mesinnya terawat."

"Kamu nggak tahu, ini banyak sejarahnya. Abah akan lepas kalau harganya bisa buat ongkos kamu ke Mekah."

Mak Ipah mencebik. "Ya mana mau orang beli motor jadul seharga ongkos ke Mekkah. Aku aja kalo beduit, nggak mau beli motor jadul semahal itu. Itu mah, alasan Abah aja, nggak mau jual motor." Abah melepas kekehannya mendengar ucapan Mak Ipah.

"Suatu saat, kamu akan ke Mekkah dari jual motor ini." Mak Ipah mencebik mendengar kalimat abah.

Pernah juga suatu hari, suaminya membuat tensi Mak Ipah naik. Gegara asik mengoprek motor, abah lupa mengangkat jemuran. Saat itu Mak Ipah pergi menghadiri maulid nabi di masjid. Sebelum berangkat, dia berpesan kepada suami untuk mengangkat jemuran sebelum Zuhur. Cuaca minggu-minggu ini tidak dapat diprediksi. Terkadang pagi awan cerah. Namun, awan-awan itu menyimpan ancaman kosong datangnya hujan pada menjelang siang.

Sekarang, setiap kali Mak Ipah memandang motor merah, dia tidak dapat menahan kesedihannya. Semua tentang abah ada di sana

Pernah juga saat mengelus motor suami, Mak Ipah tertawa kecil kala mengingat kejadian lucu. Abah pernah tidak sengaja meninggalkan Mak Ipah di mall. Abah mengira Mak Ipah sudah naik di atas sadel. Abah baru menyadari saat Mak Ipah tidak menjawab setiap pertanyaan yang Abah lontarkan sepanjang perjalanan.

Abah pun kembali ke mall. Selama jalan yang dilaluinya, pria itu bertanya pada setiap warung pinggir jalan, "Apakah ada wanita jatuh dari motor?

Akhirnya, abah sampai juga di lobi mall, dia lega melihat Mak Ipah berdiri tegak meski wanita itu berwajah masam menyambutnya.

"Aku kira sudah naik. Tadi, sepanjang jalan menuju ke sini, aku bertanya pada tiap pedagang pinggir jalan. Apa ada wanita jatuh dari motor?" kata Abah tidak sanggup menahan tawa.

Motor itu juga pernah mengantarkan mereka ke kampung halaman suami di Purwokerto. Mak Ipah masih ingat raut mertuanya menyambut kedatangan mereka. Ada raut bahagia dan bangga kepada suaminya karena dinilai sudah sukses di kota besar. Zaman itu tidak semua orang di kampungnya pulang membawa kendaraan, apalagi motor saat itu termasuk kendaraan mahal.

****

Setelah berpikir panjang dan demi kebaikan Mak Ipah. Sang anak memutuskan untuk menjual motor kesayangan abahnya, bukan karena perlu uang, kalaupun dijual tidak ada nilai harganya. Dia hanya ingin ibunya tidak bersedih berkepanjangan saat memandang motor itu.

Awalnya, Mak Ipah bersikeras tidak ingin dijual karena banyak kenangan dari motor itu, baik suka maupun duka. Pada akhirnya, Mak Ipah pun dengan berat hati menyetujui.

****

Pagi itu, mendung menggantung, langit kelam, lalu gerimis perlahan turun. Mak Ipah bersama anaknya duduk di beranda rumah menunggu seseorang yang akan melihat motor.

Mak Ipah menyambut pria seumur suaminya. Pria itu memperkenalkan diri, namanya Ahmad.

Ahmad memeriksa kondisi motor didampingi anaknya Mak Ipah. Ekspresi raut Ahmat cukup puas melihat motor bebek itu. Meskipun sudah berumur, motor itu terawat. Suara mesinnya masih halus, menandakan si pemilik merawat motor itu.

"Jadi, mau dilepas berapa?" tanya Ahmad.

Mak Ipah dan anaknya saling bertatapan. Mereka bingung menentukan harga. Niat mereka menjual bukan karena butuh uang, hanya ingin menghilangkan kenangan Abah agar Mak Ipah tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

"70 juta. Deal, ya!" kata Ahmad.

Mak Ipah dan anaknya menatap tidak percaya kepada Ahmad.

"Saya cuma bisa kasih harga segitu," kata Ahmad. Pria itu salah sangka menafsirkan ekspresi raut Mak Ipah dan anaknya, dikiranya mereka tidak setuju dengan harga yang ditawarkan.

"Iya, Pak. Kita deal," kata anak Mak Ipah gugup.

Sementara Mak Ipah masih diam. Hatinya campur aduk seperti nasi rames. Seharusnya rasa senang mendominasi hatinya, kan? Namun, rasa sedih paling dominan menggelayut hatinya.

Setelah Ahmad memberi uang, dia pun pamit dengan membawa motor suami Mak Ipah di tengah rintik hujan.

Mak Ipah masih duduk di teras, matanya menganak sungai sambil memeluk amplop cokelat saat motor itu hilang dari pandangannya.

"Nil ..., besok cari travel umroh. Kita berangkat umroh," kata Mak Ipah. Pandangannya masih lurus ke depan ke arah pintu pagar.

Sejenak Mak Ipah teringat ucapan suaminya. Kalau boleh mengulang waktu, Mak Ipah tidak akan menjawab ucapan Abah dengan mencebik.

"Amin ... semoga uangnya bisa buat ongkos kita berdua ke Mekah." Bukankah itu yang seharusnya dikatakan?

Mak Ipah menyeka sudut matanya. Uang ini bisa ongkos ke Mekah. Kalau Abah masih hidup, bisa buat berdua.

Hujan telah reda, menyisakan rumput dan tanah yang basah, seperti hati Mak Ipah yang berkabut dan basah.

-Selesai-

================

Kumpulan CerpenМесто, где живут истории. Откройте их для себя