02 | Jajanan Klebengan

Start from the beginning
                                    

"Gapapa?" tanyanya sedikit ragu.

Lia mengangguk. "Iya, biar cepet. Saya kepengen buru-buru pulang soalnya."

Cowok itu meringis, langsung mengambil uang tersebut dari tangan Lia

Pembayaran selesai dan cowok itu bergeser ke samping kasir. "Saya tunggu sampe kamu kelar. Saya utang soalnya."

Lia mengangguk pelan. "Oke. Tunggu bentar, ya?"

Kasir yang berada di tengah keduanya tersenyum canggung. Mungkin merasa, bisa-bisanya dua orang asing ini terlihat saling percaya satu sama lain.

Seluruh belanjaan Lia sudah masuk ke tottebag belanjaan. Keduanya memutuskan untuk turun ke lantai satu terlebih dulu.

"Mbaknya bawa motor?" Kentara sekali kalau cowok itu bertanya hati-hati. Padahal Lia tidak semengerikan itu, kok.

"Enggak. Naik ojol tadi ke sini." Lia menjawab sekenanya. Cewek itu lebih fokus memperhatikan langkah kakinya saat menuruni satu per satu anak tangga di hadapannya.

"Kalo nggak keberatan, saya anterin." Cowok itu menawarkan. "Tenang. Nggak maksud aneh-aneh, anggep aja rasa terima kasih saya yang tadi."

Lia menoleh ke arah cowok itu. "Kita nggak saling kenal? Gimana kalo kamu ternyata orang jahat?"

Cowok itu mengusap tengkuk lehernya canggung. "Nggak, Mbak. Asli, saya bukan orang jahat, kok!"

"Kenapa nawarin pulang bareng padahal kita nggak kenal?"

"Karena saya nggak ada uang sepuluh ribuan sekarang. Sekalian saya anterin Mbaknya pulang. Saya juga mau mampir ke pom bensin, kok. Mau isi bensin, nanti kembaliannya kan recehan bisa saya bayar utangnya, Mbak. Gituuuu." Cowok itu berusaha menjelaskan agar tidak ada kesalahpahaman dengan Lia.

"Oh, gitu." Lia mengangguk mengerti. Keduanya sudah berada di parkiran motor. "Tapi saya nggak ada helm. Kalo kita kena tilang gimana?"

Cowok itu justru terkekeh. "Tenang, Mbak. Banyak jalan, kok. Kosnya Mbak di mana?"

"Saya di Monjali. Kebetulan rumah Tante saya di situ."

"Oh, oke. Kita lewat Sardjito aja, nanti sekalian mampir pom deket lampu merah itu. Baru nanti Mbaknya tunjukkin jalannya."

"Nggak ngerepotin Masnya, nih?"

Lagi dan lagi si cowok itu tersenyum tipis, bikin Lia agak salting dikit dalam hati soalnya manis banget. "Nggak, kok. Anggap aja rasa berterima kasih saya ke Mbaknya."

Lia hanya mengangguk pelan. Setelah si cowok itu menyalakan motornya, Lia duduk di belakang. Agak sedikit canggung juga karena benar-benar di luar ekspektasinya ketemu cowok asing di Mirota.

"Sama saya santai aja, Mbak. Beneran saya bukan orang jahat, kok."

"Eh, iya, Mas." Lia meringis, sebab dalam hati masih ada rasa khawatir karena dia tidak mengenal cowok di depannya ini.

Duh, kampret. Mana wangi banget lagi, ah. Nggak lucu juga kalo gue naksir perkara parfum.

"Mas, maaf boleh nanya?" Lia agak mencondongkan badannya, memberanikan diri untuk bertanya.

Kosan 210Where stories live. Discover now