"Raa! Ini hari Senin, kamu ga upacara? Hari ini bertugas kan?"

Wanita paruh baya dengan celemek khasnya berdiri tepat di depan pintu kamar anak semata wayangnya. Dia Mentari, Yugo, suaminya baru meninggal satu tahun lalu karena penyakit diabetes. Menjadi keluarga satu-satunya yang dimiliki anaknya tidak mudah untuk Mentari. Untungnya suaminya meninggalkan harta yang lebih dari cukup menghidupi Mentari dan anaknya.

"Iya, Bu. Ini aku sudah siap" jawab anak Mentari padanya.

Naray, modis, tinggi 163 cm diikuti berat badan yang ideal, Naray juga terkenal angkuh. Tapi dengan sikap itu, Naray berhasil menjabat wakil ketua PMR di sekolahnya. 

Sekarang Naray duduk bangku kelas 11 SMA sebagai murid biasa. Tidak ada yang spesial selain aktif dan menjadi wakil ketua PMR.

Naray keluar dengan seragam khas PMR nya, dengan tanda pengenal, slayer kuning, topi biru bertuliskan PMR di tangannya, dan ranselnya.

Tidak ada yang salah dengan seragam Naray kali ini, dia dan angkatannya akan bertugas sebagai tim medis upacara seperti biasanya.

"Bu, Ara bawa ini ya" izin Naray sementara tangannya sibuk memasukkan beberapa roti ke dalam kotak bekal yang lumayan besar ukurannya. Beda lagi bekal untuk dirinya sendiri.

"Emang gitu kan tiap hari Senin?" Sindir Mentari.

Naray hanya cengengesan sambil memakan sarapannya.

"Bu, Ara berangkat!" Pamitnya.

Semua orang tahu, Naray adalah pewaris tunggal salah satu perusahaan besar di kotanya yang bergerak di bidang penerbitan. Perusahaan itu masih terus berjalan di bawah pimpinan adik Mentari, satu-satunya yang dipercaya mendiang Yugo untuk melanjutkan perusahaannya sampai Naray mendapatkan pendamping, yang memenuhi syarat pastinya.

Jika ditanyakan kenapa bukan Naray saja yang melanjutkan, selain Naray masih sekolah, Naray berencana melanjutkan karirnya menjadi dokter, sebab itu kenapa Naray memilih PMR sebagai organisasinya.

Setelah turun dari mobilnya, Naray menghirup kasar udara pagi khas sekolahnya. Mendapati murid-murid setengah berlari menuju pintu gerbang yang hampir tertutup. Gerbang otomatis yang tidak ada ampun untuk keterlambatan murid dan pegawai.

Melihat itu, setelah berterima kasih kepada supirnya, Naray ikut berlari kecil dan berhasil masuk dengan aman.

Tidak langsung ke kelasnya, Naray berjalan menuju UKS, mempersiapkan perlengkapan dari tandu, kotak P3K, dan roti yang dia bawa dari rumah.

Sudah hafal dengan penyakit umum peserta upacara di sekolahnya, Naray lebih memilih membawa sarapan dari rumahnya untuk pasiennya daripada harus membuat laporan penggunaan dana hanya untuk sarapan mereka.

"Na lihat Cakra ga?" Alexa, salah satu teman seperjuangan Naray di PMR dan lumayan dekat dengan Naray.

"Ga lihat, gue juga baru dateng" Jawab Naray

Mengangguk mengerti dengan panik Alexa kembali pergi mencari Cakra.

Kalau Naray wakil ketua PMR, Cakra yang dicari Alexa ini adalah ketua mereka. Semua orang tahu Cakra suka sama Naray kecuali Naray. Kembali diingatkan, Naray gadis angkuh ditambah tidak peka.

Upacara sudah di mulai, Naray dan satu temannya berjaga di belakang barisan angkatannya. Dari sudut pandang ini Naray bisa melihat kalau-kalau ada temannya yang butuh pertolongannya.

Mata Naray menangkap sosok laki-laki yang bisa Naray pastikan keadaannya tidak baik-baik saja.

"Ja, lihat deh. Kelas 11 MIPA 1 barisan cowok nomor 2 dari belakang. Periksa gih" Naray berbisik ke Eja. Meminta Eja sebagai sesama laki-laki memeriksa keadaan sosok yang mencuri perhatian Naray.

Naray terus memperhatikan perdebatan antara Eja dan Laki-laki itu. Tidak mau membuat keributan, Naray menghampiri Eja untuk menyudahi perdebatan mereka.

"Gue bilang, gue gak mau!" Tekan laki-laki itu.

"Halo, gue tim medis sekolah, dari tadi ngeliatin lo kayak lagi gak enak badan" ucap Naray sambil mendongak memperhatikan wajah pucat berkeringat yang sedang memperhatikannya juga. Laki-laki ini jauh lebih tinggi dari pada Eja, terlebih Naray.

"180cm mungkin?" Batin Naray

"Gue ga butuh" jawab laki-laki itu.

"Kalau pingsan juga yang susah gue sama tim gue, Lo mah enak tinggal baring doang" Sarkas Eja

Naray diam. Memang benar apa yang dikatakan Eja.

Laki-laki itu masih bersikeras untuk tidak ikut dengan Eja ke UKS. Sedangkan Naray masih memperhatikan laki-laki itu dari atas dan berhenti di dadanya,

'Yura Dewangga'

.

A RuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang