2. The Old Town

103 21 3
                                    

Jalanan tidak ditutupi kabut, tetapi dengan lubang yang menganga lebar di mana-mana, aku terpaksa berkendara dengan sangat hati-hati. Kalau tidak, mungkin akan ditemukan dua orang tewas di kota ini–itu pun kalau kebetulan ada orang yang lewat. Salah-salah, bisa saja statusku hanya akan ditetapkan sebagai orang hilang.

Pepohonan rimbun memang menemani perjalananku, tetapi dengan bayangan wajah wanita tewas di dalam pikiranku, perasaan damai dan sejuk yang seharusnya kudapatkan berubah menjadi mencekam dan mengerikan. Setiap kali aku berpaling sesaat, melihat ke arah gelapnya lorong di antara pohon, satu-satunya pikiran yang ada di dalam otakku adalah bagaimana mayat wanita itu tergeletak, begitu saja, di tengah hutan yang gelap, kemudian bangkit dan menerjang tubuhku. Bukan sebuah imajinasi menyenangkan yang ingin kupertahankan.

Dinginnya udara masih menghujam tubuhku, menelusup masuk dari balik kemudi motor. Aku memang tidak mengenakan jaket, karena satu-satunya jaket yang kupunya sengaja kualihfungsikan sebagai terpal untuk menutupi mayat wanita itu–yang kutinggalkan di dalam hutan. Namun, aku tak menganggap hal itu sebagai sebuah masalah besar. Aku sudah terbiasa untuk hidup di lingkungan seperti ini, kan?

Aku tak dapat menjamin jika mayat wanita itu masih akan tergeletak begitu saja di dalam hutan begitu aku kembali. Namun, dengan ukuran jaketku yang cukup besar, setidaknya segala binatang liar yang menggantungkan kemampuan berburunya dengan penglihatan tak akan bisa langsung melihat mayat wanita itu. Memang, mungkin tak akan menghalau seluruh serangan yang mungkin terjadi, tetapi setidaknya hal itu dapat diminimalisasi, kan?

Jadi, aku hanya mengenakan celana panjang sebagai pakaian tambahan, berusaha untuk tetap terlihat sopan di kantor polisi nanti dengan kaosku yang sudah belel. Ya, walaupun sebenarnya tak akan menjadi masalah besar, sih, karena toh aku juga mengenal si kepala polisi yang bertugas di kota ini. Formalitas memang bukan sesuatu yang digembar-gemborkan di kota ini. Selama kau mengenakan pakaian lengkap, maka kau sudah menjadi manusia paling beradab di kota ini.

Selain itu, setelah beberapa pertimbangan, aku memang sengaja akan pergi ke kantor polisi, bukan akan menghubungi sang kepala polisi ketika sinyal ponsel sudah kudapatkan. Kurasa menjelaskannya secara langsung akan lebih mudah dilakukan daripada harus melakukan percakapan melalui telepon. Selain itu, aku juga bisa mengecek langsung keadaannya, apakah ia sedang sibuk atau tidak, yang padahal aku sendiri sudah memiliki dugaan: dia pasti tidak sibuk. Tentu tidak sibuk dalam masalah keprofesionalannya bekerja, bukan mengisi waktu dengan hal-hal pribadi.

Namun, eh, aku juga bisa salah, kan? Berapa kali aku terlalu percaya kalau di sekitar vilaku tak akan ditemukan kasus kejahatan? Buktinya, bahkan bukan hanya kasus pencurian, melainkan sampai pembunuhan–kalau analisisku benar. Aku yang terkadang meninggalkan vila dalam keadaan tak terkunci pun sekarang berulang kali mengecek seluruh slot sebelum aku pergi ke menuruni gunung.

Persimpangan pertama sudah berada di hadapanku, yang artinya perjalanan sudah kulalui selama kurang lebih tiga puluh menit.

Hampir sama dengan jalanan menuju vila yang biasa kulalui, jalanan yang berlubang bisa langsung kulihat ketika menengok kiri dan kanan. Bedanya, salah satu sisi dari masing-masing jalan tersebut sudah menghilang dimakan rumput liar. Bukan pemandangan yang aneh menurutku, tetapi jika seseorang ingin melakukan syuting film pasca kiamat, kurasa kota ini akan menjadi tempat yang paling tepat. Aku yakin, mereka tak akan bisa membedakan dunia pasca kiamat dengan kota ini.

Namun, persimpangan pertama itu bukan pertanda aku sudah sampai di pusat kota. Jalanan tersebut mengarah ke daerah pinggiran, di mana orang-orang dahulu–yang segenerasi dengan orang tuaku–biasanya tinggal. Sudah lama ditinggalkan orang-orang karena jaraknya yang cukup jauh dengan pusat kota jika harus ditempuh berjalan kaki.

Strelyat'Where stories live. Discover now